jpnn.com - Mardani H. Maming menjadi salah satu politikus dengan prospek cerah di Indonesia.
Dalam usia 40 tahun, dia sudah memegang sederet posisi mentereng dan bergengsi.
BACA JUGA: Mardani Maming Dicekal KPK, Sekjen PDIP Buka Suara
Dia menjadi ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Bendahara Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).
Sebelummya dia pernah menjadi bupati dua periode di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
BACA JUGA: Bendum PBNU Mardani Maming Dicekal KPK, Gus Yahya Buka Suara
Akan tetapi, nasib berbicara lain. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa Mardani dilarang bepergian ke luar negeri, dan namanya dinyatakan sebagai tersangka.
Kasus yang membelitnya berkaitan dengan izin usaha penambangan ketika dia masih menjadi bupati.
BACA JUGA: Belum Disurati KPK, Mardani Respons Kabar soal Status Tersangka
Kasus Mardani menunjukkan korelasi yang rumit antara bisnis dan politik di Indonesia.
Mardani memegang posisi-posisi strategis di organisasi besar dan memegang posisi penting juga dalam berbagai bisnis yang menyokong kiprah politiknya.
KPK sudah hampir berusia 20 tahun, tetapi berbagai tindak korupsi masih terus bermunculan.
Almarhum Syafii Maarif menyebut korupsi di Indonesia ibarat kanker stadium 4.
Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta menyebut korupsi sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia.
Selama hidupnya, Bung Hatta sangat terkenal bersikap zuhud dan hidup sangat bersahaja.
Sebuah kisah yang masyhur menyebutkan Bung Hatta ingin membeli sepasang sepatu Bally yang diiklankan pada sebuah surat kabar.
Bung Hatta menempelkan guntingan foto sepatu itu di meja kerjanya dan menabung berbulan-bulan sebelum bisa membeli.
Ketika berkuliah di Rotterdam, Belanda, pada 1920-an Bung Hatta tidak bisa mendapatkan besa siswa penuh dan karenanya terpaksa harus berutang kepada sebuah lembaga di Belanda.
Utang itu baru bisa dibayar lunas oleh Bung Hatta melalui gajinya setelah menjadi wakil presiden.
Bung Hatta menuai protes ketika menyebut korupsi sudah membudaya di Indonesia.
Budaya seharusnya berasosiasi dengan hal-hal positif.
Misalnya, pertanian adalah budaya karena melibatkan kebiasaan masyarakat mengolah tanah, bercocok tanam, dan menghasilkan produk yang bermanfaat.
Akan tetapi, korupsi sebagai budaya? Yang dimaksud oleh Bung Hatta adalah budaya kita menunjang suburnya korupsi, terutama budaya feodal warisan zaman kerajaan yang kemudian makin disuburukan oleh penjajah Belanda.
Seorang pejabat harus bersifat benevolent, loman, dermawan kepada teman, sahabat, kerabat, dan handai tolan.
Dia harus menolong dan membantu memberi pekerjaan dan menolong orang sekitar dan banyak menyumbang kegiatan sosial dan keagamaan.
Karena itu, setiap ada pejabat yang dicokok karena korupsi, tetangga-tetangga yang diwawancarai media selalu mengatakan bahwa sang koruptor orang baik nan dermawan
Almarhum Adam Malik memopulerkan istilah “Semua Bisa Diatur” yang sampai sekarang masih dikutip oleh semua orang dan menjadi frasa yang khas dalam khazanah Bahasa Indonesia.
Adam Malik yang berlatar belakang wartawan adalah menteri luar negeri legend yang sangat piawai dalam diplomasi luar negeri meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal diplomasi.
Ketika wartawan asing menanyakan terjemahan Inggris dari kalimat “Semua Bisa Diatur” Adam Malik menjawab sambil tersenyum lebar “All are Aturable”.
Tentu saja Adam Malik yang fasih berbahasa Inggris dan lancar beberapa bahasa Eropa tahu terjemahan leterlijk frasa itu.
Akan tetapi, penerjemahan harfiah tidak akan tepat menggambarkan konteks kalimat itu.
“All are Managable” bukan terjemahan tepat, makanya Malik menyebutkan “All are Aturable”.
Yang dimaksud mengatur bukan me-manage.
Mengatur punya makna konotatif menyiasati atau malah mengakali dan membohongi aturan.
Laws are made to be broken, aturan dibuat untuk dilanggar. Begitu kata pepatah Inggris. Aturan hukum memang ada, tetapi aturan itu bisa diatur lagi supaya lebih teratur.
Adam Malik yang kemudian menjadi wakil presiden mendampingi Pak Harto dikenal sebagai pejabat yang jujur dan bersih.
Ungkapan itu mungkin bisa disebut sebagai otokritik terhadap Orde Baru yang ketika itu banyak digerogoti kasus megakorupsi seperti korupsi Ibnu Sutowo.
Malik tentu paham bahwa mengritik rezim Pak Harto adalah tindakan yang melanggar fatsun politik karena ia bagian dari rezim.
Salah satu cara otokritik yang tepat adalah menyindir rezim dengan frasa semua bisa diatur.
Para pemburu rente, rent seeker, seperti ini menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi di Indonesia.
Mereka menjadi bandar politik yang menjadi bohir membayari proyek politik yang mahal, dan sebagai imbalannya mereka menerima proyek dengan memanipulasi proses tender.
Jual beli demokrasi ini disorot oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and State in Indonesia” (2019).
Biaya politik menjadi sangat mahal karena partai politik meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan.
Biaya makin mahal karena ada operasi vote buying, jual beli suara, dan money politics, politik uang yang dioperasikan oleh tim sukses.
Tidak ada sumber dana yang paling mangkus untuk membiayai operasi politik ini kecuali menggadaikannya kepada para bandar politik dengan imbalan proyek.
Praktik klientelisme seperti ini menjadi praktik standar yang berlaku di seluruh Indonesia.
Mahfud MD mengakui adanya praktik bandarisme dan klientelisme itu.
Mahfud menyebut hampir 80 persen pilkada di daerah melibatkan pemodal atau bohir yang menjadi bandar yang menyediakan biaya politik.
Bandar politik ini disebut sebagai oligarki yang sudah melakukan transaksi ijon dengan calon kepala daerah dari berbagai level.
Pada saat calonnya menjabat pimpinan tertinggi di eksekutif saatnya mengirim tagihan.
Dan sang kepala pemerintahan akan membayarnya dengan berbagai proyek yang didanai oleh uang negara.
Prof. Chusnul Mariyah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa panggung politik Indonesia dipenuhi oleh para aktor politik yang terdiri dari bandar, bandit, dan badut.
Tiga karakter itu menjadi pemain dominan dalam percaturan politik Indonesia.
Bandar adalah para oligarki yang menguasai akses ekonomi dan melakukan monopoli terhadapnya.
Pada bandar ini kemudian memanfaatkan kekayaannya untuk membiayai proyek-proyek politik.
Para bandar ini bermain dalam kontestasi politik mulai level daerah sampai ke level nasional.
Para bandar menjadi bohir politik dalam berbagai pilkada daerah dengan membayar ongkos politik calon kepala daerah.
Setelah calonnya menang, sang bandar akan menerima imbalan berupa proyek daerah maupun berbagai konsesi perizinan.
Para bandar tidak hanya menjadi bohir calon kepala daerah, tetapi juga mengongkosi calon-calon anggota legislatif yang berkontestasi.
Praktik ini berlangsung dari level daerah sampai pusat.
Para bandit menggarong anggaran negara dengan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan para penguasa.
Para bandit menggerogoti uang rakyat dengan memonopoli proyek-proyek pemerintahan.
Para bandit mendapatkan berbagai macam konsesi seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, karena kedekatannya dengan penguasa.
Para bandit berkolusi dengan penguasa dan keluarganya untuk membentuk perusahaan yang mengerjakan berbagai proyek pemerintahan.
Pada bandit memastikan bahwa tender akan direkayasa dengan mulus untuk memenangkan perusahaannya.
Para bandit ini menjadi orang-orang kepercayaan penguasa dan menjadi tim bayangan yang sangat berpengaruh.
Berbagai kasus korupsi yang menjerat elite politik Indonesia beberapa waktu belakangan ini menjadi bukti baru bahwa trio bandar-badut-bandit masih beroperasi dengan bebas. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror