jpnn.com - MENTERI Perindustrian MS Hidayat meresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan pabrik baja khusus (super low carbon nickel titanium special steel) milik PT Resteel Industry Indonesia di Batam.
Pembangunan pabrik baja khusus ini merupakan terobosan baru. Sebab, dimana bahan baku nikel ore, iron sand dan bauksit akan diolah menjadi super low carbon nickel titanium dan spesial steel untuk kebutuhan alutsista dan perkapalan.
BACA JUGA: Galang Dana Murah, Bank Berbagi Hadiah
"Kapasitas yang dihasilkan memang kecil, namu memiliki nilai tambah yang tinggi dan produk yang dihasilkan pun spesial," kata MS Hidayat dalam peletakan batu pertama, Jumat (30/5).
Selain membangun pabrik baja di Batam, perusahaan patungan PT Shanxi Haixin and Steel Group dan PT Trinusa Group itu juga membangun pabrik sejenis di Tojo Una Una, Provinsi Sulawesi Tengah.
BACA JUGA: Sebagian Pindah Ke Halim, Kepadatan Bandara Soetta Berkurang 2 Persen
Hidayat berharap Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Sulawesi Tengah dapat memfasilitasi dan turut mengawal agar investasi ini dapat terlaksana dengan baik, sehingga pada akhirnya memberikan menfaat seluas-luasnya bagi Indonesia.
"Kemenperin dan Kementerian ESDM mendukung investasi dan mendukung investasi ini dan menyampaikan ucapan selamat kepada Resteel Industry Indonesia, semoga apa yang sedang diupayakan dapat tercapai dan sukses," ujarnya.
BACA JUGA: Jumlah Penerbangan di Bandara Halim Terus Meningkat
Seperti diketahui, perusahaan baja asal Tiongkok, PT Shanxi Haixin and Steel Group, siap menggelontorkan dana sebesar USD 500 juta dolar AS untuk membangun dua pabrik besi baja di Indonesia. Untuk memuluskan rencananya tersebut, Shanxi dipastikan mengandeng perusahaan lokal yaitu PT Trinusa Group.
Dengan status Penanaman Modal Asing (PMA), dua perusahaan tersebut sudah membentuk satu perusahaan joint venture dengan nama PT Resteel Industry Indonesia.
Hidayat menuturkan, Resteel dianggap memenuhi kebutuhan baja di Indonesia. Pembangunan pabrik baja Resteel tersebut akan menjadi bagian dari subtitusi impor yang selama ini dilakukan Indonesia.
Kata dia, selama ini total kebutuhan baja Indonesia lebih dari 11 juta ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya bisa memasok lebih kurang 6 juta ton per tahun dan sisanya dipenuhi melalui impor. "Nah ini bagian dari memperkecil kesenjangan dari ekspor dan impor itu," imbuhnya.
Komisaris Resteel Achmad Fadhillah mengatakan, pembangunan dua pabrik besi baja tersebut nantinya akan terfokus di dua wilayah yaitu Batam dan Tojo Una Una (Sulawesi Tengah). "Kami akan mulai commisioning enam bulan kemudian sejak groundbreaking, atau sebelum akhir tahun sudah bisa menghasilkan produk," katanya.
Achmad menuturkan, kedua pabrik tersebut ditargetkan bisa menghasilkan produk super low carbon nickel titanium special steel dengan kapasitas 100 ribu metrik ton per tahunnya untuk satu line produksi. Saat ini produk dari super low carbon ini banyak digunakan untuk industri militer di Tiongkok, seperti kapal dan tank.
Namun itu untuk tahap awal, perusahaan patungan tersebut berencana menambah line produksinya sebanyak 10 line, apabila proyek kedua pabrik tersebut tengah rampung pada 2015.
"Satu line produksi kita investasikan sebesar USD 50 juta, jadi kalau 10 line sekitar USD 500 juta. Ke depan, pemerintah juga seharusnya memberikan insentif kepada kami dengan melihat nilai investasi sebesar itu," katanya.
Menurut Achmad, yang membedakan produk baja yang dihasilkan Resteel dengan pabrik baja lain yaitu sistem produksinya menghilangkan dua proses pengolahan.
"Jadi dari iron ore (batu besi,red) bisa langsung menjadi baja. Inilah mengapa dikatakan baja tersebut disebut special steel. Hasil dari teknologi yang memerlukan energi gas ini memiliki kualitas lebih bagus dan tidak memerlukan power plant baru, hemat energi serta ramah lingkungan," katanya.
Keuntungan lain dari proyek pembangunan pabrik besi baja ini, menurut Fadillah, akan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta pendapatan daerah. Mengingat kedua pabrik diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 2.000 orang.
Atas alasan tersebut, Achmad berharap industri pertambangan di Indonesia yang semakin berkembang pesat ini dibarengi dengan sistem regulasi yang tidak tumpang tindih. "Sebaiknya regulasi yang dikeluarkan pemerintah memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya para pekerja tambang," ucapnya. (mas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Telkomsel Berlakukan Tarif Paket BB Sesuai Lokasi
Redaktur : Tim Redaksi