DUA gundukan bukit cukup besar berdiri memanjang di belakang Pendapa Kabupaten Banyuwangi. Di bawahnya tersembunyi kamar-kamar. Bukan bungker, “bukit” itu adalah wajah anyar guest house (rumah tamu) pemerintah kabupaten paling timur di tanah Jawa tersebut.
DOAN WIDHIANDONO, Banyuwangi
BACA JUGA: Fasilitasi Anak Pedagang, Enam Tahun Miliki 115 Santri
Abdullah Azwar Anas masih ingat betul atmosfer tempat itu sekitar tiga tahun lalu. “Kotor, kumuh, pesing. Pokoknya segala macemlah. Kandang ayam segala. Waduh,” ujarnya.
Tangannya menunjuk area di sisi barat Pendapa Kabupaten Banyuwangi, tempat tinggalnya sebagai bupati Banyuwangi. Sesekali tangan tersebut juga mengarah ke area utara, bagian belakang pendapa. Tapi, susah betul membayangkan bahwa pernah ada tempat kumuh di wilayah Pendapa Sabha Swagata Blambangan itu.
BACA JUGA: Kisah Di Balik Kebangkitan Perinus Sorong
Sebab, pendapa tersebut kini elok sekali. Menyambangi tempat tinggal Azwar Anas itu serasa tidak seperti mengunjungi rumah pejabat yang birokratis dan feodal. Pendapa tersebut terasa sangat homey, membikin orang serasa di rumah. Betah.
Rasa itu men jadi semakin kuat tatkala menyaksikan perubahan wajah guest house di belakang pendapa. Ya, guest house itu sejatinya bangunan lama. Ia terletak memanjang di sisi barat belakang pendapa, di kanan pringgitan, bangunan utama yang kini jadi kediaman Anas dan keluarganya.
BACA JUGA: Enam Bulan Petugas Berteman Nyamuk Malaria
“Bentuknya ya kamar- kamar berjajar,” cerita Iwan Hari Wibowo, Kasubbag Rumah Tangga Sekreta riat Daerah Banyuwangi.
Iwan ada di bawah bagian umum, bagian yang di antaranya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan Pendapa Kabupaten Banyuwangi. Meskipun namanya guest house, kamar-kamar itu tak difungsikan sebagai tempat menerima tamu.
Fungsinya, sejatinya, enggak jelas. Ada bagian yang jadi gudang. Pernah juga jadi mes Persewangi, klub sepak bola milik pemkab. Ujung guest house juga pernah jadi kandang ayam. Campur-campur, pokoknya.
Sejumlah foto menunjukkan bahwa guest house lawas itu serupa rumah-rumah petak kelas bawah. Tiang-tiang kurus bercat biru menyangga plafon dan atap yang reyot menunggu roboh. Kusam. Semua itu kini lenyap. Bagian belakang pendapa menjelma menjadi sebuah lanskap hijau unik.
Rerumputan menghampar. Pohon-pohon juga berdiri. Ada mangga, kelengkeng, sawo kecik, belimbing wuluh, palem, asam jawa, hingga kopi salah satu komoditas kebanggaan Banyuwangi. Ada pula pohon kepel yang langka. Budayawan Banyuwangi Slamet Utomo bilang, kepel di areal pendapa itu sudah cukup tua.
Pohon dengan batang penuh tonjolan bonggol itu adalah hadiah dari Keraton Jogjakarta pada awal abad ke-19. Artinya, pohon dengan buah mirip sawo itu sudah seabad berdiri di halaman belakang tersebut. Pohon-pohon itu memang dipertahankan.
Sebab, dalam merenovasi kompleks pendapa, Anas mewanti-wanti agar tidak ada sebatang pohon pun yang ditebang. Tidak ada setangkai pun yang dipindah dari tempatnya. “Pembangunan yang harus menyesuaikan alam. Membangun harus bisa merangkul alam,” tutur Anas. *** Ingatan tentang guest house yang kumuh itu memang sudah harus dikubur dalamdalam.
Sebab, rumah tamu tersebut memang sudah dikubur timbunan tanah. Ia kini menjadi bukit setinggi sekitar 4 meter dengan lereng miring dengan rumput yang rapi. Di lereng-lereng bukit kecil itu muncul cerobong batu dengan tutup kaca. Mirip sumur pendek berbentuk kotak.
Cerobong itulah yang menjadi lubang cahaya serta lubang hawa bagi kamar-kamar guest house di perut bukit tersebut. Mirip Teletubbies, karakter gendut-imut dalam film anak-anak, yang hidup di bawah bukit. Mirip pula dengan para Hobbit dalam film The Lord of the Rings yang punya rumah-rumah imut dengan pintu melengkung di bawah gundukan tanah berumput.
Bedanya, bungker, eh guest house itu bisa dimasuki lewat lorong cantik dengan dinding berlapis batu yang menembus perut bukit. Dan di dalamnya, perubahan tersebut terasa kian nyata. Jajaran kamar kumuh itu sudah menjadi kamar-kamar elok dengan standar hotel berbintang.
Perut bukit tersebut menyimpan tujuh kamar utama. Lalu ada lagi enam kamar yang lebih kecil, biasanya untuk ajudan atau driver para pejabat yang menginap. Di ujung utara ada dapur besar yang sedang dirapikan untuk acara Thanksgiving oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia dua bulan lagi.
Meski berada di dalam timbunan tanah, kamar-kamar beserta lorongnya sama sekali tidak gelap atau pengap. Berkas-berkas cahaya masih bisa masuk melalui “sumur-sumur” di punggung bukit itu. Dinding-dindingnya yang dominan putih membuat ruangan kian terang.
Maka, tak perlu ada lampu menyala saat siang hari di bawah tanah tersebut. Itu sesuai dengan cita-cita Anas. “Bangunan harus green. Hemat energi,” ujarnya. Adalah Adi Purnomo, arsitek nasional, yang digandeng Anas untuk mengubah wajah guest house serta lanskap belakang pendapa tersebut hingga rampung pada 2012.
Memang, dalam membangun Banyuwangi, Anas tak segan menggandeng para arsitek papan atas. Selain Adi Purnomo, ada Andra Matin, Yori Antar, Budi Pradono, serta Ahmad Djuhara. “Pemimpin yang pernah menggandeng arsitek untuk pembangunan itu hanya Bung Karno,” kata Anas.
Dengan mengajak para arsitek, bangunan-bangunan yang muncul bakal lebih timeless, tak dibatasi waktu. Abadi. Guest house Kabupaten Banyuwangi pernah diapresiasi Mark, majalah dunia dalam bidang arsitektur, edisi Juni-Juli 2013. Pada website-nya, Adi Purnomo menyebut perubahan guest house itu sebagai mengganti atap bangunan lama menjadi landscape rumput.
Dengan demikian, ruang hijau akan bertambah. Kompleks pendapa akan menjadi taman hijau yang bisa dikunjungi orang pada waktuwaktu tertentu. Lalu, lereng bukit itu juga bisa menjadi sekat yang memisahkan privasi para penghuni guest house dengan halaman belakang pendapa.
Dulu orang di halaman belakang itu akan langsung memandang pintu-pintu kamar. Seperti rumah petak yang minim privasinya. Alasan lain, rumput bisa membuat kondisi udara di dalam bangunan lebih dingin. Ia juga menghindarkan pantulan radiasi atap bagi lingkungan di sekitarnya. Begitu ulas Adi Purnomo.
Mengimbangi perubahan wajah guest house tersebut, gedung PKK dan Dharma Wanita di bagian timur pendapa pun diubah menjadi “bukit Teletubbies”. Karena itu, area terbuka hijau di halaman belakang pendapa pun kian luas. Ada dua bukit panjang yang mengapit halaman belakang tersebut. Semuanya berhias rerumputan yang hijau.
“Jadinya kan sejuk. Coba rasakan. Ini angin yang mengalir seperti air,” kata Anas yang pernah menjadi anggota MPR saat berumur 24 tahun. Tangannya bergerak-gerak seperti hendak merasakan udara. *** Bagi Azwar Anas, pembangunan guest house itu tak hanya dimaksudkan untuk mengubah wajah.
Bukan pula sekadar olah arsitektur untuk mempercantik areal pendapa di masa kepemimpinannya. Pembangunan tersebut adalah bagian dari upaya menjadikan pendapa kembali sebagai rumah rakyat. Tidak hanya membuka diri, pernik-pernik di dalam kompleks pendapa dan guest house juga dijadikan etalase karya seni tingkat tinggi warga Banyuwangi.
Rabu malam itu (3/8) saya dan rekan pewarta foto Jawa Pos Yuyung Abdi bermalam di guest house. Rasanya seperti menginap di hotel. Standar tempat tidurnya bukan seperti asrama. Penataan interiornya pun apik. Minimalis. Bersih. Kami tidur ditemani aroma bunga sedap malam.
Tangkainya yang segar ditanam pada sebentuk vas yang bersih. Di sampingnya ada tiga buah yang jadi andalan Banyuwangi: manggis, salak, dan jeruk. Air minum kemasannya pun produk lokal, yakni AiRolas, air minum kemasan produk PT Perkebunan Nusantara XII. Malam itu kami memejamkan mata di dalam “bungker”, di bawah timbunan tanah berumput yang membentuk bukit kecil. Nun di atas sana, bulan yang masih separo menyorotkan cahayanya… (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lepas Jilbab, Berdandan Klimis, Ngaku Punya Teman Dekat
Redaktur : Tim Redaksi