Beberapa warga dan relawan di kawasan terdampak gempa di Cianjur, Jawa Barat, mengeluhkan fenomena relawan dadakan serta bantuan yang tidak layak, seperti pakaian robek.
Menurut data hingga Selasa malam kemarin korban meninggal sudah mencapai 372 orang dan sekitar 100 ribu warga terpaksa mengungsi.
BACA JUGA: 1 Desember 2022, Gereja di Sejumlah Negara Serukan Boikot Produk Indonesia
Di tengah mengalirnya bantuan dari pemerintah maupun individu, muncul pula fenomena"relawan dadakan" yang membawa dan memberikan bantuan langsung kepada korban, bahkan merekamnya di jejaring sosial.
Solehudin, warga Cianjur yang juga mengkoordinir bantuan, menyesalkan hal tersebut terjadi di tengah suasana bencana.
BACA JUGA: Bunda Merah Putih Berikan Trauma Healing kepada Anak Korban Gempa Cianjur
"Memang bantuan dari relawan dan donatur sangat membantu, namun sangat disayangkan ada teman-teman dan donatur dalam tanda kutip yang datang untuk mengambil keuntungan, untuk mendapatkan konten," kata Solehudin kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
"Yang saya lihat langsung, ada donatur yang ketika datang tidak terlebih dahulu mengetahui situasi bantuan apa yang diperlukan, pokoknya beri bantuan dan mengambil keuntungan untuk konten media sosial mereka."
BACA JUGA: Lahan Relokasi Korban Gempa Cianjur Berada Dekat TPA, Bupati Bilang Begini
Solehudin mengaku tidak semua donatur melakukannya, tapi kedatangan mereka yang berbondong-bondong juga menganggunya pendistribusian bantuan.
"Sebagian terasa mengganggu karena saya lihat ada bantuan yang sebenarnya bisa dibawa oleh satu atau dua orang saja, namun rombongan yang datang sampai 5 atau 10 orang," kata Soleh.
Abdul Muhari dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui adanya kedatangan banyak orang yang ingin memberikan bantuan, terutama di akhir pekan.
"Permasalahannya di lapangan, Cianjur ini jalannya kecil-kecil, jadi kalau semua bawa mobil, itu cuma untuk menempuh 8 kilometer saja, perlu waktu 4 jam," ujarnya kepada Hellena Souisa.
Abdul menyesalkan banyak orang yang sebenarnya tidak perlu berada di lapangan, tapi datang ke lokasi bencana dan menjadikannya seperti tempat wisata dengan berfoto-foto.
“Dari awal, sejak hari kedua sudah seperti itu … ya, mari kita pertebal empati dan bukan kebanggaan pribadi. Empati dan simpati itu harus di depan, mengalahkan mungkin keperluan kita untuk kebanggaan pribadi.”
Abdul juga melihat "bendera-bendera" dan atribut lainnya dari sejumlah kelompok.
"Kita bisa lihat sendiri [mereka] bangun tenda dan segala macam, dengan merek dan label yang kemudian tidak sesuai atau kurang bisa diterima, kemudian buntutnya panjang dan kita menghabiskan energi cukup banyak untuk ngurusin ini."Perlakukan korban sebagai subjek
Dinda Dwarawati adalah psikolog dari Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia) Jawa Barat yang baru saja mengunjungi Cianjur selama beberapa hari untuk membantu warga dari sisi kesehatan mental.
Dinda sudah sering mengunjungi daerah bencana untuk memberikan dukungan psikososial.
Ia melihat sebagian yang memberikan korban hanya melihat korban sebagai "objek" yang harus dibantu.
"Kita lihat ada mobil membawa bantuan, tidak membuka jendela, namun kemudian warga berkumpul mengelilingi mobil, dan bantuan dibagikan begitu saja," katanya.
Menurtnya meski ada niat yang baik dari lembaga maupun individu untuk membantu, para relawan atau donatur sebaiknya mengetahui apa yang dibutuhkan oleh para korban bencana, ketimbang "sok tahu" soal apa yang mereka butuhkan.
"Kadang korban, yang sekarang kita lebih suka menyebut sebagai penyintas, dijadikan objek, bukan subjek," jelasnya.
"Kita harus melibatkan mereka sebagai orang yang nantinya menjadi bagian dari usaha untuk bangkit kembali.
"Menurut saya ini yang belum terlalu dipahami sehingga ada ego sektoral di beberapa pihak, mereka belum terbiasa bekerja di bidang kemanusiaan," kata Dinda.Bantuan tidak disalurkan kepada yang membutuhkan
Abdul dari BNPB mengatakan para donatur tidak perlu khawatir karena bantuan yang telah diberikan akan diterima para korban paling lambat dua hari.
"Kami pastikan setelah itu barang sudah akan sampai di tangan warga," ujarnya.
Tapi sejumlah relawan mengaku masih ada birokrasi yang menyulitkan untuk mendapatkan bantuan.
"Bantuan yang turun kebanyakan lewat perangkat Desa, ke RW dan RT dan saya menemukan berdasarkan laporan warga banyak banyak kasus penimbunan," ujar salah satu relawan yang keberatan namanya dipublikasikan.
Mohamad Andika, relawan lainnya, kini menampung sekitar 30 keluarga di rumahnya yang rusak dan letaknya jauh dari jalur logistik.
"Kondisi masih agak timpang, mereka yang di jalur logistik dapat bantuan dan yang di agak jauh ke belakang minim bantuan."
Menurut Andika sejauh ini bantuan yang mereka dapatkan cukup membantu, namun sebagian pakaian yang ada tidak layak pakai.
"Saya agak marah sebenarnya dengan hal ini, kita menerima baju yang punggungnya bolong. Saya tidak habis pikir apakah penyumbangnya melihat bahwa kita pantas memakai baju seperti itu," kata Andika.
Ia merasa sebagian penyumbang bantuan menjadikan "tempat bencana ini seolah-olah tempat pembuangan".
"Karenanya sebagian pakaian itu akhirnya kita jadikan keset."
Menurut Andika memasuki minggu kedua setelah gempa besar, yang dibutuhkan oleh warga sekarang bukan lagi kebutuhan dasar seperti beras atau mi instan.
"Yang saya sedang usahakan adalah kebutuhan protein seperti daging, juga sayuran, minyak goreng, gas untuk masak karena warga berhasil menyelamatkan kompor tapi tidak lagi persediaan gas," katanya.
Sementara itu di salah satu posko di Desa Cibeureum, ada 552 keluarga yang mengungsi, lebih dari 300 diantaranya adalah balita dan anak-anak.
Yana, salah seorang warga di Desa Cibeureum mengatakan bentuan yang dibutuhkan saat ini adalah fasilitas toilet umum serta bantuan medis yang hanya tersedia selama seminggu.
"Dalam dua hari terakhir ini cuaca dingin, hujan terus, sebagian warga demam, ya sementara kita kasih obat-obatan yang ada di posko."
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Relokasi Korban Warga Gempa Cianjur, Lahan 16 Hektare Disiapkan untuk RISHA