jpnn.com - Banyak kasus poligami justru berawal dari perselingkuhan. Namun, banyak juga alasan memilih untuk beristri lebih dari satu.
TIM PELIPUT: DINA ANGELINA, MUHAMMAD RIZKI, RADEN RORO MIRA
BACA JUGA: Kasus Poligami: Istri Jaga Buah Hati, Suami ke Luar Kota dengan Perempuan Lain
“MENGABULKAN permohonan pemohon untuk melakukan poligami dengan seorang perempuan (sambil menyebutkan nama). Serta membebankan biaya perkara kepada pemohon,” ucap Rusinah, hakim Pengadilan Agama Balikpapan November lalu.
Ketukan palu sebanyak tiga kali oleh Rusniah menandai babak baru rumah tangga antara Amelia (bukan nama sebenarnya) selaku termohon dengan Gilang (bukan nama sebenarnya) sebagai pemohon.
BACA JUGA: Ribuan Janda akan Bertebaran Sebentar Lagi
Amelia, perempuan berusia 29 tahun, harus rela dimadu oleh suaminya dengan Sefti (bukan nama sebenarnya). Sefti adalah janda yang menginjak usia 37 tahun.
Setelah melewati persidangan selama tiga kali, Gilang yang berpenghasilan Rp 10 juta per bulan akhirnya memiliki dua istri. Kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group), Rusniah menuturkan, ada banyak hal yang menjadi perhatian majelis hakim ketika menangani perkara poligami. Khususnya saat pembacaan putusan.
BACA JUGA: Ustaz Palsu Aktif di Pengajian Penganjur Poligami, Ternyata Tukang Tipu
“Tapi, hakim memeriksa perkara menitikberatkan pada izin dari istri pertama. Izin dari istri pertama sangat penting,” ungkapnya.
Sebelumnya, sambung dia, majelis hakim telah meminta keterangan kepada istri pertama untuk memastikan apakah siap dipoligami.
“Kami beri nasihat. Kalau perlu, tidak poligami. Permohonannya dicabut. Namun (istri pertama) ikhlas,” katanya. Dirinya khawatir, ketika permohonan tidak dikabulkan, akan muncul masalah baru. Yakni poligami tidak sehat.
Juga terjadi nikah siri hingga perselingkuhan. Karena itu, izin dari istri pertama sangat penting dan menjadi acuan majelis hakim.
Menurutnya, minimnya kasus poligami yang tercatat di pengadilan agama bukan berarti kasus poligami rendah. “Karena nikahnya di bawah tangan, tidak sah. Tanpa persetujuan istri. Ketika ketahuan istri pertama akhirnya bercerai. Itulah poligami yang menjadi penyebab perceraian,” tuturnya.
Menukil data Pengadilan Tinggi Agama Samarinda, sepanjang 2018 terdapat 7.191 kasus perceraian. Adapun kasus perceraian paling tinggi periode 2013-2018 tercatat pada 2016. Jumlahnya 8.817 perceraian. Atau rata-rata dalam sehari, ada 24 pasangan suami-istri yang memutuskan bercerai.
Menengok Pasal 116 UU 1/1974 tentang Perkawinan, ada delapan poin alasan putusnya perkawinan atau perceraian.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Samarinda, M Manshur menjelaskan, alasan paling umum, yaitu poin f. Berbunyi, antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
BACA JUGA: Kasus Poligami: Istri Jaga Buah Hati, Suami ke Luar Kota dengan Perempuan Lain
Namun, dalam rekapitulasi faktor-faktor penyebab perceraian pada Pengadilan Agama (PA) di Kaltim, terdapat alasan poligami. Sebab, tidak akan hakim mengabulkan perceraian hanya alasan istri tak ingin dimadu.
“Kecuali, poligami ini terjadi dan menimbulkan perselisihan, jadi cekcok, kemudian ke PA dan hakim melihat alasan perselisihan itu cocok. Kemudian ditulis bahwa asal-muasal perceraian itu karena poligami, berujung perselisihan,” jelas Manshur.
Melihat data yang menunjukkan faktor perceraian, yaitu poligami di Samarinda menduduki peringkat teratas, Manshur tak berani berkomentar banyak. Perlu dilihat lebih jelas di PA terkait, apakah benar poligami.
“Apa memang suami mengaku sudah menikah tanpa sepengetahuan istri pertama. Berarti itu poligami liar atau tidak sehat, tidak ada kekuatan hukum,” sambung Manshur, ditemui di kantornya, Jalan MT Haryono Samarinda.
Sejatinya, poligami dilegalkan dan diatur oleh hukum. Secara umum, di dunia terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa istri dalam waktu bersamaan), poliandri (sistem perkawinan yang membolehkan seorang perempuan mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu bersamaan), dan pernikahan kelompok (group marriage), yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun poligami merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
Di Indonesia, istilah poligami dibatasi dalam arti yang sama dengan poligini. Hal itu muncul karena lembaga perkawinan di Indonesia hanya mengizinkan poligini, tidak poliandri. Hal ini sesuai ketentuan mengenai poligami di Indonesia yang diatur dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
“Hukum kita sudah cukup saklek dalam hal itu,” tambah Panitera Muchammad Jusuf. Beberapa syarat seperti surat keterangan penghasilan dilampirkan. Kemudian surat keterangan berlaku adil. “Bagaimana implementasi perlakuan adil itu, ya kembali ke orangnya,” kata Jusuf.
Tidak akan pengadilan agama mengeluarkan izin poligami jika syarat tidak terpenuhi. Disebutkan, salah satu syarat, yaitu persetujuan istri pertama. Namun dalam beberapa kasus, jika istri tidak mau memberikan persetujuan, PA tetap bisa memberi izin poligami kepada suami.
“Dengan syarat, melihat kondisi lagi. Misal ternyata dalam rumah tangga itu memang tidak dikaruniai anak hingga bertahun-tahun. Istri tetap tak ingin dimadu, hakim bisa mengabulkan dan memberi izin. Sebab syarat alasan yang memungkinkan suami kawin lagi itu terpenuhi, tidak adanya keturunan itu,” papar Manshur.
Hukum dan alurnya sudah jelas. Dibuktikan dengan alasan kuat mengapa ingin beristri lagi. Kembali ke persoalan cerai akibat poligami. Alasan hakim mengabulkan perceraian tidak murni hanya karena istri tak ingin suami menikah lagi.
“Efeknya itu yang bisa jadi alasan. Sederhananya seperti suami dicerai karena berjudi, ternyata itu akar yang membuat istri sering marah, akhirnya bertengkar, pisah rumah, tapi dicatat faktornya karena judi,” pungkas Manshur. (tim kp)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Hukum: Laporan PA 212 terhadap Ketum PSI Sebaiknya Diabaikan
Redaktur & Reporter : Soetomo