jpnn.com, JAKARTA - Tokoh muda Nahdatul Ulama (NU) yang juga politikus Partai Golkar Nusron Wahid mengajak semua pihak untuk makin peduli pada maraknya radikalisme. Nusron menyampaikan harapannya guna merespons hasil survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation yang menunjukkan bahwa 23,4 persen responden dari kalangan mahasiswa serta 23,3 persen responden pelajar SMA setuju dengan jihad untuk menegakkan syariat Islam ataupun khilafah.
“Saya sebetulnya speechless (kelu, red), karena satu orang saja melakukan bom bunuh diri atas nama pejihad di Indonesia sudah menyusahkan banyak orang. Apalagi di level mahasiswa dan pelajar mencapai angka 23 persen,” kata Nusron yang juga menjadi pembicara dalam rilis hasil survei Alvara di Jakarta, Selasa (31/10).
BACA JUGA: Warning! 23% Mahasiswa dan Pelajar Terjangkiti Radikalisme
Nusron hadir dalam diskusi itu dalam kapasitasnya sebagai pembina Mata Air Foundation. Selain Nusron, pembicara lainnya adalah Ketua Ikatan Alumni Universitas Diponegoro Ahmad Muqowam, Direktur Kemahasiswaan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Didin Wahidin, serta CEO Alvara Hasanuddin Ali.
Lebih lanjut Nusron mengatakan, Bangsa Indonesia saat ini dalam kondisi save our soul (SOS) ideologi. Menurutnya, hal itu perlu menjadi perhatian serius demi membenahi kurikulum pendidikan agama agar tak memberi ruang bagi radikalisme.
BACA JUGA: Nusron Wahid: Santri Harus Masuk ke Instansi Strategis
“Kurikulum pendidikan agama kita harus direvisi secara total,” ujarnya.
Lebih lanjut mantan ketua umum GP Ansor itu mengatakan, pendekatan agama secara doktriner selama ini ternyata tidak mampu menjawab masalah. Buktinya, pelajar dan mahasiswa masih mempunyai pemahaman yang tak utuh tentang konsep negara.
BACA JUGA: Kampus Harus Jadi Pelopor Lawan Radikalisme
Selain itu, kata Nusron, pemahaman yang dangkal atas Alquran dan hadis juga bisa menimbulkan kesalahan dalam penafsiran. Padahal, katanya, Alquran dan hadis justru bersifat transformatif.
Namun, sambung Nusron, sering kali ayat-ayat Alquran dipahami secara harfiah. Akibatnya, ayat-ayat Alquran yang dipahami secara harfiah tanpa pemahaman yang baik justru bisa mendorong tindak kekerasan.
“Padahal maksudnya tidak begitu. Ini menjadi refleksi total terhadap kurikulum agama yang ada. Ini PR teman-teman di Kemenag, juga PR (pekerjaan rumah, red) bangsa Indonesia. Karena teks itu ada ruang dan waktu dan berbeda. Karena itu kalau di dalam Alquran ada asbabul nuzul kalau dalam hadits ada asbabul wurud. Tetapi kontekstualisasi kita melihat asbabaul nuzzul suatu ayat itu atau asbabul wurud suatu hadits itu disampaikan, tidak pas dalam penerapannya. Teksnya tidak salah tapi pemahamannya tidak pas,” terangnya.
Nusron pun meyakini kalangan yang getol menyuarakan khilafah dan jihad adalah kelompok yang suka membidahkan dan mengafirkan gologan lain. "Dugaan saya, mayoritas yang punya pemahaman jihad, penegakan ideologi Islam, pasti didominasi responden yang mempunyai pemahaman bahwa amalan kultural itu bidah," ungkapnya.(rmo/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yenny Wahid: Jihad Harus Bisa Membawa Kebaikan
Redaktur & Reporter : Antoni