Banyak Pemuda Menganggur & Putus Sekolah, Bonus Demografi Jadi Malapetaka?

Sabtu, 15 Juli 2023 – 08:19 WIB
Para peserta, pemateri, pembahas dalam seminar dengan tema Antisipasi Capaian Outcome pada Bonus Demografi besutan Badan Pengurus Pusat Observasi Kesehatan Indonesia di Universitas Yarsi. Foto Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Wendy Hartanto mengungkapkan fakta menarik soal bonus demografi. Dari hasil telaah terhadap proyeksi penduduk setiap sensus untuk 30-40 tahun ke depan, dia membeber peluang bonus demografi untuk Indonesia.

Seharusnya, ketika penduduk Indonesia makin menua, maka ada populasi baru dengan penambahan anak-anak. Misalnya, setiap orang tua diganti dua anak.

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Dinilai Ikut Menentukan Kesuksesan Bonus Demografi

Nah, ini ada tanda-tanda di masing-masing provinsi sekarang ada yang tidak dua anak, sehingga makin menurun populasinya. Akibatnya yang menurun usia produktif, sedangkan lansia makin banyak sehingga itu menjadi beban.

"Jadi, hilanglah bonus demografi itu dan justru ketergantungan makin tinggi," kata Wendy dalam seminar dengan tema Antisipasi Capaian Outcome pada Bonus Demografi besutan Badan Pengurus Pusat Observasi Kesehatan Indonesia di Universitas Yarsi baru-baru ini.

BACA JUGA: Polemik Calon Pj Bupati Bombana, DPRD Didemo Masyarakat

Dia melanjutkan jumlah lansia ini makin banyak dan mengompensasi menurunnya usia 0-18 tahun. Oleh karena itu, Indonesia perlu memberikan perhatian kepada para pemuda karena bonus demografi itu tercapai kalau pemudanya produktif.

Dari data yang ada, ujar Wendy, banyak pemuda menganggur, tidak sekolah serta tidak mendapat training. Itu dinilai berbahaya, apalagi jumlahnya 25 persen lebih dari total pemuda usia 16-30 tahun.

BACA JUGA: Langsung Angkat 87% Honorer Teknis jadi PPPK, Cueki Saja Passing Grade

Melihat fakta tersebut Rektor Universitas Yarsi Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D., mengatakan bonus demografi jangan-jangan bisa jadi malapetaka karena ternyata usia yang seharusnya produktif malah tidak produktif, apalagi karena cara pikirnya. Kemudian, didera penyakit cukup banyak sehingga mengganggu produktivitasnya.

"Nah, stunting adalah hulunya," cetus Prof. Fasli.

Dia menyebutkan banyak negara berguguran karena angka pengangguran yang tinggi. Misalnya, Arab Spring karena adanya pengangguran tinggi akhirnya ada revolusi. Hal ini harus dicegah.

Sebagai solusinya, Prof. Fasli mengatakan dimulai dari 1.000 hari pertama. Sejak remaja, calon pengantin dipersiapkan. Kapan persiapan hamil sampai melahirkan dan itu periode yang harus diamankan.

Intervensinya sudah jelas, misalnya ibu hamil harus minum tablet zat besi sekian kali agar tidak kekurangan zat besi. Jadi, indikatornya jelas dan mudah diprogramkan. Kalau tidak hati-hati, maka bayi akan lahir dengan berat badan (BB) rendah.

"Sebanyak 1-15 bayi mengalami BB rendah dan kalau tidak diatasi segera akan menjadi stunting," ucap Prof. Fasli.

Lebih lanjut dikatakan apakah Indonesia akan menikmati bonus demografi, tergantung pada kita sendiri. Apakah bisa memanfaatkan atau tidak, karena kita tahu apa saja yang mengganggu itu nanti, seperti dari kesehatan, pendidikan, keterampilan, pelatihan, transisi dari sekolah ke dunia kerja.

"Kalau kita tahu untuk memanfaatkan itu, maka harus melakukan intervensi, apalagi programnya sudah ada. Jadi, ini bukan hal baru, hanya kita kurang serius saja," ucap Prof. Fasli. (esy/jpnn)


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler