jpnn.com - Agustina Dewi Susanti memilih setia menjadi guru honorer, meski sebenarnya sebenarnya dia punya peluang bekerja di perusahaan besar untuk memperoleh banyak uang. Dia adalah seorang sarjana jurusan kimia dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Dia pun tetap produktif berkarya meski kesejahteraannya belum terjamin.
IMAM NASRODIN - Malang
BACA JUGA: Ada Kabar Baik Nih untuk Insentif Guru Honorer
”Kalau bukan panggilan hati, ya sulit. Padahal, bebannya sama (dengan guru aparatur sipil negara atau ASN), tapi apa yang didapatkan itu berbeda,” kata Agustina Dewi Susanti kepada Jawa Pos Radar Malang di ruang tamu SMKN 3 Batu, beberapa hari lalu.
Kalimat itu menjadi alasan mendasar perempuan kelahiran 19 Agustus 1978 ini tetap bertahan sebagai guru honorer hingga 9 tahun.
BACA JUGA: Guru Honorer Ditusuk Tepat di Dadanya
Di ruang sekitar 5x6 meter itu, perempuan yang biasa disapa Agustin ini bercerita. Dia berprofesi sebagai guru honorer sejak 2009 silam. Bahkan, hingga saat ini, dia sudah mengajar di tiga sekolah, yakni SMKN 3 Batu, SMKN 2 Batu, dan SMP Tamansiswa Batu. ”Dinikmati saja, memang sudah hobi (mengajar) sejak kuliah dulu,” ungkapnya.
Agustin juga tidak tahu alasannya, tiba-tiba saja dia ingin mengajar. Tepatnya saat semester V ketika menempuh pendidikan di salah satu kampus terbaik di Indonesia itu.
BACA JUGA: Krisis Guru, Usul Honorer Diangkat jadi CPNS
Padahal, jika Agustin mau, saat lulus kuliah, relatif banyak tawaran kepada dia untuk bekerja di perusahaan, di mana dari segi gaji jauh lebih mantap dibanding berprofesi sebagai guru honorer.
Bahkan, teman-teman kuliahnya juga ada yang merasa ”aneh’ dengan keputusannya. Karena sebagian besar dari teman-temannya bekerja di perusahaan besar.
”Secara matematika memang kecil (gaji guru honorer), tapi ada sesuatu yang nggak bisa didapatkan di profesi lain. Jadi guru itu ilmunya lebih bermanfaat,” terangnya.
Agustin juga tak hanya mengajar siswa, tapi juga ikut membantu dalam kegiatan di sekolah, seperti kegiatan Pramuka. Juga membantu kegiatan lain yang bersifat melibatkan siswa dan guru.
”Ngajar itu nggak harus melulu soal pelajaran, ikut kegiatan sekolah juga termasuk belajar. Belajar ngajari anak-anak dalam menjaga kekompakan misalnya,” ungkap alumnus SMAN 1 Kota Batu ini.
Selain aktif di kegiatan Pramuka, Agustin juga aktif menulis buku. Total sudah ada 7 buku yang dia hasilkan. Rinciannya, dua novel dan lima karya lainnya berupa buku pelajaran.
”Buku pertama terbit pada 2012. Judulnya Galang The Scout, novel untuk anak-anak,” ucapnya. Sedangkan untuk novel lainnya berjudul Repihan Terakhir.
Sedangkan lima buku pelajaran itu berjudul Yuk..! Kebut Semalam Kuasai Matematika, Matematika Dekat dengan Kita, Aurora: Ensiklopedia Fenomena Alam, Ensiklopedia Columnar Basalt, Genius Pocket Book Kimia untuk SMA Kelas X, XI, XII.
Novel anak dipilih karena masih relatif sedikit buku yang khusus anak-anak waktu itu. Jadi, dia ingin memberikan pegangan bagi para ibu yang memiliki anak hobi membaca. ”Harus disesuaikan dengan umurnya, jangan sampai anak-anak membaca buku novel untuk masyarakat umum,” imbuh alumnus SMPN 1 Kota Batu ini.
Sedangkan buku pelajaran yang dia buat juga bukan tanpa alasan. Agustin sadar betul pelajaran yang dia emban menjadi ”momok” bagi sebagian besar siswa, yaitu kimia. Apalagi bahasa di dalam buku-buku pelajaran yang ada itu terlalu formal sehingga terasa berat bagi para siswa.
”Akhirnya bikin buku pelajaran kimia yang bahasanya lebih sederhana. Biar pelajaran kimia nggak menakutkan seperti apa yang anak-anak bayangkan,” terangnya.
Tak hanya itu, Agustin juga pernah punya pengalaman saat mengajar kimia di sekolah kala itu. Tepatnya saat ada ulangan kimia dan matematika di hari yang sama. Jadi, siswanya membuat ”guyonan”: Kiamat alias kimia-matematika.
Tapi, Agustin bisa menerjemahkan maksud dari siswanya. ”Mungkin memang berat sungguhan. Ini juga alasan saya membuat buku pelajaran untuk anak-anak tadi,” ujar ibu dua anak ini.
Agustin mengaku hobi menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Waktu itu, dia sering menulis agendanya setiap hari di dalam buku diary. Di mana kebiasaan ini sudah sulit ditemui pada anak-anak zaman sekarang karena kalah dengan mainan berbasis teknologi terkini (gadget).
”Waktu kecil punya buku diary. Suka nulis di situ. Mungkin anak-anak sekarang nggak kenal dengan buku itu (diary),” tambahnya.
Lalu, berapakah gaji untuk guru honorer? Agustin tak langsung menjawab. Tiba-tiba dia menghentikan ceritanya. Lalu, dia mengambil napas panjang, dalam-dalam. Seolah-olah pertanyaan ini paling berat untuk dia jawab.
Karena dulu, dia pernah digaji di bawah rata-rata, meski mengajar hingga 24 jam pelajaran (JP) dalam seminggu, seperti guru berstatus ASN. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, nasib guru honorer sudah relatif diperhatikan.
”Saya cuma bisa bilang, banyaknya harta nggak bisa menjamin kebahagiaan orang. Seperti tadi, (profesi guru) ini bukan hitung-hitungan matematika,” jelasnya.
Tak hanya itu, soal pengangkatan status honorer menjadi PNS atau istilah sekarang ASN, Agustin juga tidak bisa berharap banyak. Karena sebagai putri daerah, Agustin cukup memahami kondisi Kota Batu.
”Saya realistis saja. Saya cuma ingin bermanfaat untuk daerah saya,” ungkap perempuan asal Temas, Kecamatan Batu, ini.
Ke depan, Agustin akan tetap menjalani profesi mulia tersebut. Sebab, profesi guru sudah menjadi impiannya. ”Ingin terus berbagi ilmu dan menulis buku,” harapnya. (*/c2/riq)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaji Ngadat 6 Bulan, Guru Honorer Harus Kembalikan Honor
Redaktur & Reporter : Soetomo