Sebagian besar warga Australia mengatakan sekarang ini masih banyak masalah rasisme. Sementara para pakar mengatakan mengakui masalah rasisme barulah sebuah permulaan.
Sebanyak 76 persen warga Australia yang bukan keturunan non Eropa melaporkan pernah mengalami diskriminasi.
BACA JUGA: Mahasiswa Internasional Tidak Adanya Kepastian dari Pemerintah Australia
Seperti yang pernah dialami Mohammad Al-Khafaji.
Ia tiba di Australia sebagai pengungsi ketika dia berusia 13 tahun setelah keluarganya mengungsi dari Irak untuk mencari perlindungan politik.
BACA JUGA: Wabah COVID-19 di Melbourne Belum Mencapai Puncaknya
Dia sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya tinggal di Australia, namun pengalamannya baru-baru membuatnya kesal.
Seorang pria tidak dikenal mengikutinya di bandara Adelaide, ibu kota Australia Selatan dan berteriak "pulanglah ke negeri asalmu."
BACA JUGA: Imigrasi Australia Diminta Persulit Pendatang yang Tak Mahir Berbahasa Inggris
"Ini membuat saya sangat marah dan kecewa," kata Mohammad.
"Saat seseorang meminta saya pulang ke negeri asal saya, ini merupakan penghinaan, namun juga menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan saya di Australia, sesuatu yang sangat mendasar tapi sangat berbekas."
Dalam survei 'Australia Talks' yang dilakukan ABC tahun ini, disimpulkan tiga dari empat warga di Australia yang bukan berasal dari Eropa merasa mereka pernah menghadapi diskriminasi karena latar belakang etnis mereka.
Survei tersebut juga menemukan mayoritas warga Australia, dari semua latar belakang ras dan pandangan politik, mengatakan rasisme masih marak sekarang ini, kecuali pendukung Partai One Nation.
Bagi Mohammad yang sekarang menjadi direktur eksekutif badan multibudaya Federation of Ethnic Communities' Councils of Australia, statistik yang ada konsisten dengan apa yang dialaminya.
"Ini tidak mengejutkan saya, penting sekali bagi kita untuk membicarakan masalah ini, mengenai rasisme apa yang terjadi, tidak harus berupa ancaman fisik di jalanan, bisa saja dengan komentar selintas yang muncul," katanya. Terkejut semakin banyak mengakui adanya rasisme
Rasisme juga dialami oleh pemilik toko roti di Sydney Mohammad Makki.
Ketika perang sipil terjadi di Lebanon di tahun 1970-an, orang tuanya mengungsi ke Sydney untuk mencari kehidupan lebih baik.
Walau lahir di Australia, Makki tidak bisa menghindar dari cemoohan karena dia adalah seorang pria Muslim asal Timur Tengah.
"Sudah hampir 20 tahun lalu, 11 September, warga Muslim di seluruh dunia mengalami persekusi dan jadi sasaran," katanya.
"Kita semua mengalami rasisme, pada akhirnya kita semua menilai orang lain berdasarkan penampakkan mereka."
Survei Australia Talks juga menemukan bahwa 64 persen warga percaya bahwa sebagian besar warga Australia berprasangka buruk terhadap warga aborigin, terlepas mereka menyadari atau tidak.
Akademisi asal University of Queensland, yang juga warga Aborigin dari suku Munanjahli, Chelsea Watego mengatakan dia terkejut rasisme masih begitu tinggi.
"Kita hidup dalam masyarakat di mana sudah sedemikian lama kita mengatakan rasisme itu tidak ada, jadi agak mengejutkan semakin banyak warga Australia mengakui bahwa ini memang ada,"katanya.
Tetapi dia mengatakan mengakui adanya rasisme barulah permulaan dalam perjalanan mencapai kesetaraan.
"Langkah berikutnya adalah menentukan apa yang harus kita lakukan, dan sayangnya masih ada penentangan terhadap usaha menangani rasisme di negeri ini." Pakar menyerukan adanya strategi anti rasisme
Menurut mantan komisioner diskriminasi rasial Australia, Tim Soutphommasane, pandemi COVID-19 telah memperburuk masalah rasisme yang sudah jadi masalah besar di Australia.
Dia mengatakan tidak saja komunitas Asia di Australia yang mendapat banyak cemoohan, namun kelompok lain juga menjadi sasaran.
"Kita tahu akan ada dampak bila permusuhan rasial ditujukan ke satu kelompok tertentu bisa menular ke yang lain," katanya.
"Bila rasisme muncul maka bisa ditujukan ke satu kelompok yang dengan cepat menyebar ke kelompok lain, karena orang merasa mereka berhak untuk menyampaikan kebencian kepada yang lain."
Profesor Soutphommasane yang sekarang menjadi akademisi meminta Pemerintah Federal Australia untuk berbuat lebih banyak guna memerangi rasisme.
Sejak tahun 2015 tidak ada lagi strategi nasional anti rasisme dan dia mengatakan Australia tertinggal dari negara lain.
Komisi HAM Australia sudah membuat kerangka kerja anti rasisme nasional yang baru di bulan Maret, termasuk meningkatkan pengumpulan dana mengenai rasisme, serta mengkaji hukum guna memastikan perlindungan bagi semua warga.
Dalam pernyataannya, Kejaksaan Agung Australia mengatakan pemerintah menyambut baik usulan tersebut dan bekerja sama erat dengan komisioner diskriminasi rasial guna mengembangkan sebuah strategi.
"Pemerintah yakin Australia adalah negara multibudaya paling berhasil di dunia saat ini dan percaya warga harus diperlakukan sama terlepas ras dan agama mereka," katanya pernyataan tersebut.
"Karenanya, Pemerintah mengecam rasisme dan diskriminasi berdasarkan ras, dan percaya pada masyarakat yang harmoni, sejahtera dan melibatkan siapa saja di mana tidak ada tempat sama sekali bagi adanya rasisme."
Tetapi Professor Soutphommasane mengatakan perubahan harus langsung dari Pemerintah.
"Jika saja kita memiliki lebih banyak keberagaman kepemimpinan politik dalam masyarakat Australia, saya kira para pemimpin politik akan memperlakukan rasisme agak berbeda," katanya.
"Memerangi rasisme memerlukan kepemimpinan, jadi kita memerlukan pemimpin politik dan pemimpin lainnya dalam komunitas untuk mengirimkan pesan jika diskriminasi apa pun tidak bisa ditolerir.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Friends: The Reunion Ditayangkan 27 Mei