Banyak Warga Kota Yogyakarta Alami Gangguan Jiwa

Rabu, 21 November 2018 – 08:15 WIB
Tugu Jogja. Foto: Radar Jogja

jpnn.com, YOGYAKARTA - Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mencatat sedikitnya 6.753 orang mengalami masalah gangguan kejiwaan. Sebanyak 914 penderita di antaranya masuk golongan kejiwaan berat. Data tersebut tercatat sejak awal 2018 hingga September lalu.

“DIJ bahkan menempati urutan kedua di Indonesia dalam masalah gangguan jiwa,” ungkap Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Jogja Agus Sudrajat, seperti diberitakan Radar Jogja (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: TunaiKita Mengedukasi Masyarakat Yogya soal Inklusi Keuangan

Menurut Agus, kasus gangguan jiwa warga Kota Jogja merupakan yang tertinggi. Dibanding empat kabupaten di DIJ.

Warga perkotaan ditengarai mengalami krisis ketenangan. Akibat tekanan mental dalam siklus kehidupan sehari-hari. Seperti kemacetan, pekerjaan yang menumpuk, ketidakharmonisan keluarga, hingga bullying.

BACA JUGA: Diduga Hendak Culik 2 Bocah, Wanita Gangguan Jiwa Diamankan

Kondisi itu diperparah minimnya dukungan sosial dan kepedulian dari orang-orang terdekat penderita. “Seseorang yang mengalami masalah itu secara kontinyu dikhawatirkan akan terguncang kejiwaannya,” tutur Agus.

Gejala gangguan jiwa sebenarnya bisa di deteksi sejak awal. Seseorang bisa dikatakan mengalami gejala ketika sering depresi dan marah tanpa sebab yang jelas. Gangguan tidur dan sering tidak memperhatikan kondisi diri sendiri dan orang lain (cuek) juga bisa menjadi pemicu gangguan jiwa. Di sisi lain, banyak orang yang mengalami gejala tersebut justru membiarkannya. Tidak mau berobat. “Itu lama-lama bisa timbul sakit jiwa. Jika dibiarkan,” ingatnya.

BACA JUGA: Sumarti Tewas, Polisi Tunggu Hasil Tes Kejiwaan Juariah

Jika seseorang telah divonis mengalami gangguan jiwa, kata Agus, biaya perawatannya cukup mahal. Pengobatan per bulan bisa menghabiskan dana Rp 1 juta – Rp 2 juta.

Gangguan jiwa bisa dialami siapa pun. Sebagian besar justru menimpa usia produktif. Umur 20 - 45 tahun. Ini lebih disebabkan karena kondisi lingkungan yang abai. Juga faktor pendidikan sejak masa kanak-kanak.

Berawal pendidikan yang salah di tingkat keluarga. Sehingga memicu depresi yang berlarut-larut hingga anak ketika menginjak dewasa. "Itulah kenapa keluarga berperan penting dalam hal pengentasan gangguan jiwa," tegasnya.

Sarana hiburan juga bisa memicu gangguan jiwa. Video games dan media sosial, misalnya. Terutama yang kontennya mengandung unsur kekerasan. Pecandu video games tersebut dikhawatirkan terpengaruh. Untuk mengimplementasikan apa yang dia mainkan. Diterapkan di dunia nyata. Hal ini berpotensi menimbulkan pengaruh negatif pada kehidupan sosial si pelaku. Dan merugikan orang lain.

"Sebut saja klithih. Anak-anak berani menyakiti orang lain. Temasuk gangguan jiwa juga itu,” ucapnya.

Langkah pencegahan bisa diawali di lingkungan terdekat. Keluarga. Meluangkan waktu untuk berkumpul bersama anggota keluarga bisa menjadi obat mujarab. Untuk menenangkan diri. Sekaligus mencegah risiko gangguan jiwa berat.

Lantas bagimana peran pemerintah? Menurut Agus, Pemkot Jogja berupaya menekan angka kasus gangguan jiwa lewat program rencana aksi daerah kesehatan jiwa. Berupa sosialisasi menyeluruh. Tentang bahaya gangguan jiwa. Pelaksanaan program lintas sektoral. Melibatkan dinas sosial, dinas pendidikan, kementerian agama, dan relawan.

“Kami sedang gencarkan program di tingkat dasar lewat sekolah-sekolah,” ujar Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Iva Kusdyarini.

Pemilihan sekolah sebagai target sosialisasi bukan tanpa alasan. Agar masalah gangguan jiwa bisa diatasi sejak dini. Pelaksanaannya, dinas mengkader guru dan kepala sekolah. Agar bisa menjadi konselor kejiwaan bagi anak didik mereka. (cr5/yog)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumarti Tewas di Tangan Tetangganya yang Alami Gangguan Jiwa


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler