jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus bereaksi atas langkah Bareskrim Polri yang menolak laporannya terkait persoalan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) Pemilu 2024.
“Aneh dan tidak masuk diakal sehat publik ketika Bareskrim Polri mengarahkan para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara melapor ke Bawaslu atau Gakumdu dengan alasan persoalan Sirekap masuk yurisdiksi Bawaslu/Gakumdu,” ujar Petrus Selestinus, Kamis (7/3).
BACA JUGA: Diagram Real Count Perolehan Suara dalam Sirekap Mendadak Hilang, Alamak!
Petrus menilai kekuasaan yang bersumber dari semangat dinasti politik dan nepotisme saat ini telah melanda suprastruktur politik pada lintas lembaga tinggi negara dan diperkuat dengan kroni-kroni kekuasaan di lembaga negara.
Dia menilai hal tersebut merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan rakyat dan sistem demokrasi.
Menurut Petrus, Pemilu yang luber dan Jurdil merupakan asas pemilu yang dijamin konstitusi dan UU Pemilu.
Bahkan pemilu dinyatakan sebagai sarana mewujudkan prinsip "kedaulatan berada di tangan rakyat" dan dilaksanakan menurut UUD, sehingga wajib dijunjung tinggi oleh siapapun juga.
BACA JUGA: Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Diprediksi Layu Sebelum Berkembang
“Ketika hasil Pemilu dicoba dimanipulasi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan motif politik dan/atau ekonomi, demi memenangkan Paslon tertentu, maka di situlah kejahatan politik terjadi dan mengancam "daulat rakyat" dengan "daya rusak" yang tinggi terhadap sendi-sendi demokrasi,” ujar Petrus.
Kualifikasi Delik Biasa.
Petrus mengatakan Sirekap sesungguhnya sebuah rekayasa teknologi Informasi Elektronik yang diduga dirancang dengan kemampuan memanipulasi penghitungan suara, sebagaimana dikonstatir oleh UU ITE dan diyakini publik sebagai biang kerok pembajakan suara rakyat secara masif.
Dengan demikian Sirekap itu, menurut Petrus, tidak tunduk pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan karena itu tidak tunduk pada yurisdiksi Bawaslu/Gakumdu. Sebab, ia dikualifikasi sebagai delik biasa.
Begitu pula dengan publisitas yang masif dan terus-menerus melalui Sirekap, jelas sebagai aksi "post truth" yang berdampak membangun persepsi publik agar percaya terhadap berita yang diduga sebagai berita bohong dan berpotensi menimbulkan keonaran di tengah rakyat.
“Faktanya, saat ini rakyat sudah turun ke jalan, berhadap-hadapan antara yang pro dan yang kontra, terjadi polarisasi antara yang pro dan kontra di lapangan berhadapan dengan Polri,” ujar Petrus.
Muruah Kedaulatan Rakyat
Di dalam Pasal 1 angka 1 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikatakan bahwa Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD, secara luber dan jurdil dalam Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, ketika Daulat Rakyat yang disublimasikan di TPS-TPS pada 14/2/2024 dan di Sirekap pada tahap penghitungan suara, terdapat dugaan manipulasi melalui Sirekap oleh oknum KPU, dan Pihak lain di luar, maka tidak beralasan hukum bagi Bareskrim Polri menokak Laporan Polisi dari Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara.
“Mengapa? Karena substansi yang akan dilaporkan adalah tentang dugaan Penyebaran Berita Bohong melalui Sirekap KPU dan dugaan korupsi dalam proyek pembuatan Aplikasi Sirekap yang melibatkan aktor lain di luar KPU,” ujar Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara ini.
Ke Mana Muruah Polri?
Petrus mengatakan TPDI dan Perekat Nusantara merasa hak atau kewajiban berdasarkan UU untuk melapor kepada Polri telah dilecehkan oleh Barsekrim Polri dengan alasan yang berbeda dan bertentangan satu dengan yang lain.
Hal itu mendorong Petrus mempertanyakan ke mana muruah Polri.
Petrus menilai sikap Bareskrim Polri terkesan seolah-olah menggadaikan sebagian wewenangnya terkait tindak pidana yang berkaitan dengan aktivitas kepemiluan kepada Bawaslu.
Padahal kedudukan Polri di Bawaslu sebagai "subordinasi", ia berada dalam organ Gakumdu yang secara struktur melekat di bawah Bawaslu (Pasal 476 UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu).
Di sinilah runtuhnya muruah Polri, karena hanya demi Pemilu menolak Laporan Masyarakat dan mengarahkan Masyarakat melapor ke Bawaslu, seolah-olah seluruh atau sebagian wewenang Polri tergadaikan dan menjadi subordinasi dari Bawaslu.
Yurisdiki Bareskrim
Petus mengingatkan kejahatan menyebarkan berita bohong menggunakan ITE, tunduk pada sejumlah pasal perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP. Karena itu, ia tidak tunduk pada UU No. 7 Tahun 2017 Tantang Pemilu.
Begitu pula dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tidak mengecualikan berlakunya beberapa pasal terkait ketentuan Pidana di dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu soal kewenangan penanangan kejahatan "Penyebaran Berita Bohong" termasuk berita bohong melalui ITE yang merupakan tindak pidana biasa.
Fakta lain, di dalam BAB II, UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, terdapat 67 pasal (488 s/d 554), mengatur tentang "Ketentuan Pidana Pemilu", tidak ada satu pasalpun yang mengatur tentang kejahatan Penyebaran Berita Bohong dengan menggunakan Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Pemilu.
“Dengan demikian, penolakan Laporan Polisi dari TPDI dan Perekat Nusantara, tidak berbasis pada alasan yuridis, tetapi lebih kepada alasan politis. Suasana kebatinan Polri selama Pemilu 2024 dicurigai sebagai tidak netral atau memihak pada Paslon Capres-Cawapres tertentu,” ujar Petrus.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari