Basarah Koreksi Kekeliruan Anggapan soal Bung Karno dengan Buku

Rabu, 21 Juni 2017 – 23:28 WIB
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menghadiri haul ke-47 Bung Karno sekaligus peluncuran buku bertajuk Bung Karno, Islam Dan Pancasila karya Ahmad Basarah. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Haul ke-47 Soekarno alias Bung Karno yang diselenggarakan Fraksi PDI Perjuangan di MPR tak hanya untuk mengenang presiden pertama Indonesia itu.

Acara yang digelar di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR, Rabu (21/6) itu juga disisipi peluncuran buku bertajuk Bung Karno, Islam Dan Pancasila karya Ahmad Basarah.

BACA JUGA: Ada Julukan Profesor Pancasila untuk Anak Buah Bu Mega

Acara itu juga dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oesman Sapta, Ketua MK Arief Hidayat, Menko PMK Puan Maharani, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Yasonna H laoly.

Selain itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan jajaran pimpinan Fraksi PDI Perjuangan juga menghadiri acara tersebut.

BACA JUGA: Analisis Ketua MK soal Pancasila, Bung Karno, Megawati dan Jokowi

Dalam pidatonya bertajuk Pledoi untuk Bung Karno dan Pemikiran-Pemikirannya, Basarah menyinggung tiga peristiwa penting bagi Bung Karno selama Juni.

Pertama, hari kelahiran Bung Karno pada 6 Juni 1901. Kedua, Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945. Momen terakhir adalah meninggalnya Bung Karno pada 21 Juni 1970.

BACA JUGA: Megawati: yang Penting Mbak Puan Menko

"Oleh karena itu, dalam internal keluarga besar PDI Perjuangan kami selalu memperingati bulan Juni ini sebagai Bulan Bung Karno," kata ketua Fraksi PDIP di MPR itu.

Basarah menambahkan, Bung Karno wafat karena penyakit yang diderita pada 47 tahun lalu.

Penyakit itu merupakan imbas akibat tekanan psikis dan politik oleh penguasa pada waktu itu.

Bung Karno wafat dalam status sebagai tahanan politik setelah diisolasi dari dunia luar di Wisma Yaso, Jakarta.

“Bung Karno pergi meninggalkan kita semua dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Sebab, dia telah dituduh berkhianat kepada bangsa dan negara yang beliau dirikan sendiri bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya," ujarnya.

Pemerintah Indonesia, sambung Basarah, baru menyadari kekeliruannya setelah melewati masa yang sangat panjang, yakni 45 tahun.

Koreksi terhadap keputusan politik negara yang keliru melalui TAP MPRS XXXIII tahun 1967 itu akhirnya dilakukan lewat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno.

Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 83 tahun 2012 tanggal 7 November 2012.

Di sisi lain, Basarah mengatakan, bukunya berisi tentang sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan Bung Karno.

Khususnya pemikiran tentang Islam dan nasionalisme serta keterkaitannya dengan proses sejarah, eksistensi dan kedudukan hukum Pancasila dalam sistem hukum nasional.

Selain itu, juga penggunaan Pancasila sebagai tolok ukur dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945 di Mahkamah Konstitusi.

“Pilihan judul buku yang bertajuk Bung Karno, Islam dan Pancasila juga sengaja kami pilih untuk menggambarkan secara umum substansi materi buku tersebut. Uraian tentang dimensi keislaman Bung Karno kami ulas dalam rangka meletakkan kembali secara proporsional tentang jati diri, perkembangan pemikiran, orientasi, sikap serta warisan-warisan keislaman Bung Karno yang selama ini banyak tidak diketahui dengan baik oleh masyarakat Indonesia,” beber Basarah.

Basarah menambahkan, materi tentang dimensi keislaman Bung Karno juga sengaja dijadikan judul buku sebagai jawaban atas berbagai tuduhan terhadap presiden pertama Indonesia itu.

Sebab, hingga saat ini, Bung Karno masih dituding sebagai sosok yang sekuler, antiagama, dan komunis.

“Pendapat bahwa Bung Karno adalah seorang santri memang sangat tepat. Sebab, terbentuknya konstruksi pemikiran awal kenegaraan Bung Karno justru dibentuk oleh pemikiran Islam,” ujarnya.

Menurut Basarah, momentum itu diperoleh ketika ayah Bung Karno, Raden Sukemi Sosrodihardjo menitipkan Soekarno remaja di rumah tokoh Islam besar dan pendiri organisasi Sarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Saat itu, Soekarno masih berusia 16 tahun. Di pondok itulah Bung Karno rajin berdiskusi dan membaca buku-buku tentang Islam.

Bung Karno juga rajin berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam pejuang kemerdekaan lainnya yang sering berkunjung ke rumah HOS Tjokroaminoto.

Basarah mengatakan, saat dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Ende Flores tahun 1934-1938, Bung Karno melengkapi dahaga keislamannya dengan membaca buku-buku tentang Islam.

Bung Karno juga berkorespondensi dengan Ahmad Hassan yang merupakan tokoh Persis dari Bandung.

Bahkan, ketika diasingkan pemerintah Belanda ke Bengkulu, Bung Karno diangkat menjadi ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu pada 1938-1943.

Setelah itu, Bung Karno melakukan penggalian terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Hasil penggalian terhadap nilai-nilai asli kepribadian bangsa Indonesia itulah yang kemudian dikonseptualisasikan dan dipersembahkan sebagai mutiara terpendam kepada bangsa dan negara Indonesia.

Mutiara terpendam itu kemudian disampaikan dalam pidato di sidang BPUPK pada 1 Juni 1945.

Sidang tersebut berisi agenda pembahasan dasar negara Indonesia merdeka.

Saat itu, Bung Karno memberi nama lima dasar falsafah Indonesia merdeka itu dengan nama Pancasila.

Mengacu gagasan Bung Karno, sambung Basarah, golongan Islam dan nasionalisme ibarat dua rel kereta api yang harus berdampingan dengan kukuh dan seimbang.

Jika salah satu rel patah, kereta api yang berada di atasnya tidak dapat mengantarkan penumpangnya sampai ke tujuan.

"Kalau Islam dan nasionalisme dipisahkan atau diadu domba, maka hancurlah Indonesia," tutur wasekjen PDIP itu.

Karena itu, kata Basarah, bangsa Indonesia patut bersyukur karena diwarisi sebuah dasar dan ideologi negara yang kualitasnya telah melampaui ideologi bangsa-bangsa lain di dunia.

"Pancasila lebih baik dari manifesto komunis karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila lebih baik dari paham liberalisme/kapitalisme karena punya sila keadilan sosial. Pancasila juga lebih baik dari sistem khilafah karena punya sila persatuan Indonesia," jelasnya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cegah Horor Tol Brexit Terulang, Lima Helikopter Disiagakan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler