jpnn.com, JAKARTA - KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengingatkan, jangan sampai kebijakan tarif cukai rokok memberikan peluang munculnya praktik oligopoli di industri hasil tembakau (IHT).
Pasalnya, perusahaan asing besar yang kini menikmati tarif cukai rendah bertarung langsung dengan perusahaan-perusahaan rokok kecil.
BACA JUGA: Upaya Serius Mendikbud Tingkatkan Kesejahteraan Guru Honorer K2
Komisioner KPPU Kodrat Wibowo menjelaskan, kebijakan yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel akibat oligopoli.
“KPPU melihat dua sisi. Kalau pelaku usaha melakukan oligopoli, atau bangkrut atau malah monopoli mereka bersekongkol tanpa perjanjian sekalipun. Industri UKM juga bermain secara sehat,” kata Kodrat di Jakarta Rabu (14/8).
BACA JUGA: Pintu Kamar Hotel Dibuka Paksa, Petugas Langsung Terperanjat
Dikatakan Kodrat, praktik oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok nasional. Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.
Apalagi, meski setiap tahun pemerintah cenderung menaikkan tarif cukai, tetapi beberapa kebijakan lain justru mendukung penjualan rokok dengan harga murah. Salah satunya adalah kebijakan diskon rokok yang memungkinkan pembeli mendapatkan harga 85% dari tarif yang tercantum dalam banderol.
BACA JUGA: Kemesraan PDIP - Gerindra Demi Proyek Jangka Panjang, Apa tuh?
BACA JUGA: Revitalisasi Kawasan Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar Ragunan Rp 419 M, Digarap Waskita Karya
Jika perusahaan rokok besar menggunakan kedua celah tersebut maka bakal membawa kerugian yang sangat besar baik dari sisi persaingan maupun upaya penurunan konsumsi rokok oleh masyarakat.
“Kalau makin sedikit (jumlah perusahaan) memang efisien. Tapi persaingan akan tidak sehat. Sangking kerasnya,” tegas Kodrat.
Para pemain asing besar umumnya memproduksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Persoalan kemudian muncul manakala para perusahaan asing tersebut memainkan batasan produksi sehingga tidak menyentuh angka tiga miliar batang di masing-masing kategori. Akibatnya, mereka menikmati cukai dengan tarif yang lebih rendah.
Padahal, jika produksi SPM dan SKM digabungkan maka jumlah produksi mereka jauh di atas tiga miliar batang, sehingga layak dikenai tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.
“Itu kan tujuannya untuk menambah penerimaan cukai. PMK itu diteruskan sesuai dengan desain agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan,” ungkap Kodrat.
Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
Produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp 370 per batang.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp 590 per batang.
Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 385 per batang. Sementara itu di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 180 per batang.
Sementara itu, di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp180 per batang. *Di segmen teratas, ada Dji Sam Soe (HM Sampoerna) di tarif golongan 1 sebesar Rp 365 per batang, serta GG Merah (Gudang Garam) dan Djarum Coklat (Djarum) di tarif golongan 1B sebesar Rp 290 per batang.
Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan agar pemerintah menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM, sehingga perusahaan besar akan dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.
Sebelumnya, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo juga mendesak pemerintah menerapkan kebijakan penggabungan produksi SPM dan SKM.
Kebijakan ini akan membuat harga beberapa brand rokok milik pabrikan besar asing menjadi lebih mahal karena mereka harus membayar tarif cukai golongan satu, sehingga sehingga tidak mudah dijangkau masyarakat, terutama anak-anak. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tina Toon Pilih Kuliah Hukum di UT karena Tidak Harus Rutin Tatap Muka
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad