jpnn.com - AWAL 2015, begitu semarak perburuan berbagai jenis batu akik, termasuk di Sulawesi Utara. Demam batu akik meluas. Pedagang meraup banyak untung. Belum genap setahun, kini sudah meredup.
Erlin Ipo - Kendari
BACA JUGA: Karya Kepuasan Intelektual Doktor Gerabah Timbul Raharjo, Harganya Rp 100 Juta
Raungan mesin gerinda bersahut-sahutan, memekakan gendang telinga terdengar dari hampir separuh kawasan MTQ Square. Pemandangan orang yang duduk dengan telaten menggosok batu akik, yang kemudian hasilnya dipajang di etalase dagangannya, terasa sangat jamak.
Para pecinta dan pemburu batu akik, hilir mudik melihat seksama, kalau ada batu yang menarik untuk bisa dijadikan koleksi baru. Transaksi dilakukan, ekonomi berputar. Pedagang meraup banyak untung.
BACA JUGA: Kisah Reno, Usai Digigit Anjing Kini jadi Paranormal Kondang
Tapi itu dulu, dari akhir 2014 hingga di enam bulan pertama 2015. Kawasan MTQ Sguare di depan Kantor Wali Kota Kendari menjadi ajang berkumpulnya ratusan pedagang batu yang memajang koleksi batu mulianya dari berbagai wilayah di Indonesia.
Puluhan wajah-wajah penasaran yang memadati satu persatu pengrajin kini sudah terurai entah kemana. Tren batu akik tidak mampu bertahan lama. Tidak sampai setahun, kemilaunya sudah memudar.
BACA JUGA: Kegigihan Pejuang Sanitasi di Biak Numfor agar Warga Tak Buang Apuy Sembarangan
Selepas Idul Fitri 2015, raungan mesin gerinda itu perlahan jadi sepi. Apalagi sejak Pemkot Kendari memindahkan lokasi berjualan batu akik di Paddys Market. Animo masyarakat juga mulai menurun.
Topik pembicaraan di kantor-kantor, di sela-sela makan siang, atau di warung kopi, yang dulunya hanya soal batu, kini tak lagi terdengar. Omset pedagang semakin menurun dan mereka pun terancam bangkrut karena kreatifitas mereka tak laku terjual.
“Sekarang, sudah syukur kalau laku Rp 200 ribu sehari,” kata Ajis, salah satu pedagang yang mengaku sudah jarang membuka lapaknya karena sepi pembeli, saat ditemui di Paddy’s Market, kemarin. Ia mengaku bingung karena mau ditutup modal belum kembali, sedangkan untuk bertahan juga sudah susah karena sudah jarang orang datang. Alih-alih membeli, melihat saja sudah sangat jarang yang datang.
Dia mengaku, hampir setahun bergelut usaha batu akik. Saat pengunjung ramai, dalam sehari dia mampu mengumpulkan omzet hingga 5 sampai 10 juta sehari. Tetapi, seiring waktu, omzet penjualannya terus merosot, hingga dirinya mulai berpikir untuk menutup usahanya.
"Dulu sampai kita tidak tidur kerja pesanan, kita tetap semangat karena harganya masih mahal, sekarang sudah turunpun orang sudah jarang memesan," kisahnya.
Jika direfleksi, penjualan batu akik merajai pasar pada Maret hingga Juli 2015. Saat itu kompleks akik di Kota Kendari masih dipusatkan di area Eks MTQ. Pedagangnya berasal dari berbagai daerah mulai dari Jawa Sumatra dan Sulawesi Selatan yang berbaur dengan pedagang lokal.
Demikian juga dengan batu yang diolah, selain dari luar daerah, batu lokal Sultra pun kerap menjadi incaran para peminat. Sebut saja Batu Ereke, Batu Maligano dan Batu aspal dari Buton yang berwarna hitam pekat, tapi bersinar hijau saat disenter.
Setiap harinya, pedagang mulai membuka lapak pukul 08.00 pagi hingga 12.00. Sepanjang hari itu pengrajin terus menggenggem gerinda untuk mengolah bongkahan menjadi cincin dan kemudian dibanderol dengan harga cukup tinggi bahkan mencapai puluhan juta. Tak jarang para pecinta batu permata itu menjadi penyebab kemacetan jalan raya.
Tidak hanya itu, banyak warga yang juga mencoba kerajinan itu di rumah. Mereka membeli batu bongkahan dan mengerjakannya sendiri. Apalagi caranya pun terbilang tidak terlalu sulit.
Namun keadaan itu mulai berubah memasuki Ramadhan kemarin, pasar akik yang pernah tren hingga di kalangan pejabat ini mulai menurun. Pemindahan pedagang dari Sentra MTQ menuju Pasar PKL menjadi moment tak mengenakan para pedagang. Tak ayal, demi tetap mempertahankan pasarannya, para pedagang mulai berpencar, ada yang menuruti arahan pemerintah untuk berjualan di Pasar PKL, adapula yang memilih membangun lapak tunggal di lokasi tertentu. Sayangnya, cara ini tetap tak bisa mempertahankan kilau batu akik dimata masyarakat.
Orda, salah satu pedagang batu akik di Paddy Market menilai turunnya nilai jual batu akik karena peminat batu alam itu sudah memiliki koleksi cukup banyak. Sehingga para pedagang di kawasan itu tinggal mengandalkan pendatang dari luar daerah saja.
"Pas banyak kegiatan nasional itu kita sempat rame juga di sini, banyak pendatang yang cari batu Ereka dan batu aspal, karena memiliki corak khas," jelasnya.
Makanya Orda sangat berharap agar ada peran serta pemerintah untuk membantu memulihkan kembali pasar batu akik yang juga menjadi mata pencarian kebanyakan orang.
"Kalau bisa sering-sering saja ada acara yang mendatangkan orang luar kesini biar kita bisa bangkit seperti dulu lagi," ujarnya.
Cara lain yang bisa dilakukan pemerintah menurut dia dengan menggelar festival batu akik.
Kelesuan pasar batu akik ternyata tidak hanya terjadi di Kendari atau di Sultra. Hal serupa juga dialami oleh pedagang di semua daerah di Indonesia. Itu artinya tren batu akik memang sudah meredup. Animo masyarakat terhadap batu yang sebagian dianggap sakti itu sudah berkurang. Namun sebagian pedagang masih meyakini bisnis tersebut dan tetap bertahan dalam aktivitas itu sehari-harinya.
Kelesuan akan animo batu akik juga dibenarkan seorang kolektor batu mulia ini, Aladin. Pria yang juga anggota DPRD Kota Kendari itu mengaku sebagai pecinta batu akik, melihat turunnya pamor batu akik lebih disebabkan oleh tidak adanya jenis batu terbaru yang menarik minat masyarakat dan bukan karena pemerintah yang tidak menggelar festival promosi batu permata itu.
Dulu, kata dia warga selalu dibuat penasaran dengan berita tentang batu unik dari berbagai daerah di Indonesia. Kini semua jenis batu populer telah dikoleksi oleh peminatnya.
"Untuk apa lagi mau beli kalau sudah ada, saya saja di rumah hampir semua daerah ada jenis batunya itu, di manapun saya dengar ada yang unik saya langsung pesan, sekarang sudah ada jadi untuk apalagi," katanya.
Kehadiran batu akik di tengah-tengah masyarakat dinilai sebagai tren sesaat saja. Karena itu ia mengimbau kepada warga yang menggantungkan hidupnya pada bisnis batu akik untuk segera mencari mata pencaharian lain. Jika tidak maka mereka akan gulung tikar pada waktunya nanti.
"Batu akik itu bukan beras yang dibutuhkan terus oleh masyarakat, jadi biar kita beli berapa tetap akan habis. Nah kalau batu akik orang-orang kan sudah bosan, sudah jarang yang pake di tangannya, paling hanya jadi hiasan si rumah saja ," tambahnya.
Sementara Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Kendari, Nahwa Umar mengaku sudah memberikan perhatian lebih kepada para pedagang batu akik dengan menyiapkan lahan khusus di Pasar PKL. Disana para pedagang tidak dimintai biaya apapun selaian retribusi Rp5000 perhari. "Kalau waktu di MTQ itu mereka malah membayar sampai puluhan ribu per harinya, jadi kita bantu mereka dipindah di Paddys Market. Itu juga demi melindungi kawasan umum kita," katanya.
Terkait omset mereka yang turun drastis Nahwa menilai itu sebuah konsekuensi perdagangan. "Rezeki orang itu kan sudah ada yang atur, berusaha saja, kita sangat mendukung sebenarnya," tambahnya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Rutan Guntur seperti di Tanah Suci, SDA sebagai Guru Mengaji
Redaktur : Tim Redaksi