Bawaslu Harus Serius Menangani Pelanggaran Calon Petahana

Kamis, 25 Januari 2018 – 12:53 WIB
Direktur Eksekutif KomunaL (Komunitas Untuk Penataan Kebijakan Publik) Hery Susanto. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Terhitung dalam enam bulan sebelum penetapan Paslon pilkada Kota Cirebon, Nasrudin Azis petahana Kota Cirebon melakukan mutasi aparatur sipil negara (ASN) secara massal sebanyak dua kali.

Pertama, menggelar mutasi, promosi dan rotasi pegawai pada Senin 6 November 2017 untuk pejabat eselon II, III, dan IV. Dalam mutasi ini, ada tujuh pejabat PNS atau ASN yang dimutasi, menyusul 36 jabatan lainnya.

BACA JUGA: Bawaslu: Mahar Politik Merusak Segalanya

Mutasi kedua pada 19 Januari 2018. Kali ini, mutasi dilakukan terhadap 105 pegawai eselon III dan IV, kepala dan pengawas TK, kepala SD, kepala SMP, auditor di Inspektorat, hingga perawat di RSD Gunung Jati.

“Kedua mutasi PNS ini patut diduga melanggar Pasal 71 ayat 5 UU Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pilkada,” kata Direktur Eksekutif Komunitas Untuk Penataan Kebijakan Publik (KomunaL) Hery Susanto dalam surat tertulis ditujukan kepada Panwaslu Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (25/1/2018).

BACA JUGA: DUH! Petahana Terancam Tak Dapat Dukungan

Selain Hery, pengurus KomunaL Wilayah Cirebon yakni Aris Syuhada (Koordinator) dan Yudi Hadi Surahman (Sekretaris) juga ikut menandatangani surat yang ditujukan kepada Ketua Panwaslu Kota Cirebon itu.

Kajian Peraturan Perundang-Undangan

BACA JUGA: Sejumlah Pihak Berpotensi Jadi Penyebab Konflik Pemilu

Hery menjelaskan tentang pijakan hukum atau norma yang mengatur larangan Bagi Calon petahana untuk melakukan mutasi. Hal itu dapat ditemukan dalam Pasal 71 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan:

“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.”

Ganjaran atas perbuatan mutasi yang dilakukan oleh petahana adalah sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 71 ayat 5 UU 10 Tahun 2016 yang bertitah:

“Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Selanjutnya, kata Hery, ketentuan lain yang mengatur larangan mutasi bagi calon petahana adalah Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017.
Pasal 89 (1) Bakal Calon selaku petahana dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan.

(2) Bakal Calon selaku petahana dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan Pemerintah Daerah untuk kegiatan pemilihan 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon Terpilih.

(3) Dalam hal Bakal Calon selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), petahana yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Kajian Empirik dan Yurisprudensi

Pada kesempatan itu, Hery menyampaikan kajian empirik dan yurisprudensi sekaligus contoh dari implementasi kasus Mutasi PNS 6 Bulan Sebelum/Sesudah Penetapan Calon Pilkada.
Menurutnya, Pemilihan kepala Daerah pertama yang menjadi “korban” penerapan aturan ini adalah pemilihan Bupati Kabupaten Boalemo. Petahana dicoret oleh KPU Boalemo karena perintah Putusan Mahkamah Agung No 570 K/TUN/Pilkada/ 2016.

Dalam putusan tersebut petahana terbukti melakukan mutasi ASN sehingga harus dibatalkan sebagai calon bupati dan wakil Bupati kabupaten Boalemo Tahun 2017. Putusan ini adalah putusan Mahkamah Agung pertama mengenai Pembatalan calon kepala daerah karena melakukan mutasi.

“Agar menjadi pelajaran bagi calon petahana kedepannya Mahkamah Agung menjadikannya sebagai Yurisprudensi,” kata Hery.

Contoh lainnya, menurut Hery, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengeluarkan surat rekomendasi pembatalan kepersertaan calon bupati Jayapura, Mathius Awitauw kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Alasannya, calon petahana di Pilkada kabupaten Jayapura itu melanggar Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Karena mengganti pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura.

Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan bahwa ia menerima laporan terkait pelanggaran calon bupati dengan nomor urut 2 itu pada (5/9/2017) lalu dari calon bupati nomor urut 3 Jayapura Godlief Ohee.

Atas laporan itu, Bawaslu pun melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait, antara lain pelapor, terlapor, saksi serta meminta pendapat ahli dari akademisi.
Setelah tim Bawaslu RI mengumpulkan fakta fakta, melaukan kajian dan melakukan pleno. Putusan atas laporan itu, Mathius Awitauw melanggar ketentuan pasal 71 ayat (2) UU 10 tahun 2016.

Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada itu menyatakan bahwa gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati dan wali kota atau wakil wali kota dilarang melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Bawaslu RI mengambil kesimpulan, bahwa dugaan laporan itu memenuhi syarat. Sanksinya rekomendasi pembatalan peserta ke KPU RI.

"Sikap Komunitas Untuk Penataan Kebijakan Publik (KomunaL) atas kasus tersebut di atas menegaskan bahwa Demi Keadilan Hukum: BAWASLU RI dan KPU RI harus menyeriusi untuk menangani dugaan kasus pelanggaran administrasi oleh Nasrudin Azis sebagai calon petahana Kota Cirebon karena telah melakukan mutasi massal PNS sebanyak dua kali dalam kurun waktu enam bulan sebelum penetapan calon. Ini sesuai amanat Pasal 71 ayat 2, 3 dan 5 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada,” tegas Hery.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yakin Koalisi Merah Putih Bisa Tumbangkan Petahana


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler