Beban Ekonomi Akibat Kasus Demam Berdarah di Indonesia

Senin, 06 November 2023 – 18:50 WIB
Seorang anak dirawat akibat menderita DBD. Foto: Antara/Kornelis Kaha

jpnn.com, JAKARTA - Kasus demam berdarah dengue (DBD) yang menyerang individu dapat memberikan dampak jangka panjang menyangkut kualitas hidup seseorang hingga tekanan pada keluarga.

Hal tersebut menjadi bahan diskusi penting dalam InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 yang digelar di Jakarta.

BACA JUGA: Basmi DBD di Indonesia, Pandawara Group Ajak Masyarakat Jadi Dengue Patrol

Selain itu juga terkait aspek penanganan dari sisi sistem perawatan kasus DBD, hingga ke dampaknya pada perekonomian di Indonesia.

Kasus DBD sebagai salah satu dari ancaman kesehatan masyarakat yang ada di dunia termasuk Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak.

BACA JUGA: Kasus DBD Makin Tinggi, Kemenko PMK, Godrej & KlikDokter Tancap Gas

Oleh karena itu, dirasa pentingnya memberikan pencerahan terkait 'awareness' atau kesadaran terhadap kasus DBD kepada seluruh pihak dalam penyusunan strategi penurunan angka kerugian hingga kematian dari kasus DBD.

Pada sesi tersebut terdapat beberapa panelis yaitu dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI diwakili dr. Asik Surya, MPPM, dengan topik “The Dengue Challenge in Indonesia: Understanding, Prevention, and Mitigation”.

BACA JUGA: Wabah DBD di Bangladesh Tak Biasa, Jumlah Kematian Mengerikan

Kemudian, ada dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H. selaku Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM dengan topik "Societal and Humanistic Impact of Dengue in Indonesia: A Community Perspective".

Dr. Asik Surya juga membahas lebih lanjut terkait bagaimana uraian prevalensi dan insidens penyakit DBD di Indonesia beserta pola epidemiologinya.

Kemudian dibahas bagaimana upaya dan kebijakan yang telah disusun dan diimplementasikan dalam menurunkan kasus DBD di Indonesia pada jangka pendek dan panjang.

Selain itu, bagaimana tantangan utama yang dihadapi dalam penanganan kasus DBD di Indonesia dari sisi masyarakat maupun penyedia pelayanan.

Dalam presentasinya, dr. Asik menyampaikan bahwa interaksi agent, host, dan lingkungan pada DBD merupakan suatu penyakit yang menempatkan semua orang memiliki risiko untuk tertular, dengan golongan tertinggi untuk penderita DBD adalah usia 0-14 tahun sebesar 49,8%.

Kasus DBD diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Menanggapi situasi itu, dr. Asik menyampaikan terdapat beberapa strategi nasional dalam menanggulangi DBD di Indonesia menuju zero dengue death 2030.

"Seperti Koalisi Bersama Lawan Dengue yakni pemberantasan Sarang Nyamuk 3Mplus, melalui G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik) dan Pokjanal DBD menggerakan G1R1J," kata dia dalam keterangannya, Senin.

Inovasi terkini ialah pertama, teknologi Nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia sebagai upaya pelengkap Strategi Penanggulangan DBD.

Kedua, vaksin dengue yang telah disetujui Badan Pengelola Obat dan Makan (BPOM).

"Saat ini, vaksinasi dengue dapat diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 6-45 tahun berdasarkan rekomendasi dokter," dr. Asik.

Namun, strategi tersebut masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan upaya bersama, seperti dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat.

Lalu, dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H. selaku Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM membahas lebih lanjut terkait dampak sosial langsung maupun tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat penyakit DBD serta tingkat keparahannya.

Dibahas pula bagaimana tantangan dan hambatan akses pelayanan DBD di masyarakat terutama pada kelompok marjinal, serta bagaimana rekomendasi kebijakan pencegahan dan penanganan DBD yang komprehensif yang perlu diimplementasikan oleh pemerintah.

Dr. Nandyan memaparkan bahwa kasus dengue mengalami kenaikan yang dramatis.

Per tahun, diestimasikan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, di mana diestimasikan ada sekitar 7.8 juta kasus DBD.

Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat.

Dia juga memaparkan pilihan lain untuk intervensi DBD, seperti pertama, protokol observasi praktikal yang bisa melalui data pengawasan dengan sampel yang kecil, tetapi representatif dari rumah sakit di daerah tersebut.

Kedua, penggunaan nyamuk yang dimasukkan bakteri Wolbachia, dengan keuntungan bisa mengurangi kasus DBD, tetapi tergantung dengan seberapa luas daerah untuk biayanya.

Kota di indonesia yang menjadi prioritas program ini adalah Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Denpasar, dan Mataram.

Ketiga, vaksin DBD yang bisa mengurangi kasus DBD, tetapi tergantung dengan seberapa banyak individu yang terlindungi untuk biayanya.

Kota di Indonesia yang menjadi prioritas program ini adalah Banda Aceh, Batam, Padang, Samarinda, dan Manado. (rdo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DBD Powder Berkomitmen Mendukung Barista Muda


Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler