jpnn.com - PUTUSSIBAU — Menemui sekelompok orang yang di duga terlibat organisasi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) di daerah Kapuas Hulu tidak sulit. Hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit dari pusat kota Putussibau sudah bisa menjumpai lima (5) kepala keluarga yang semuanya datang dari pulau Jawa itu.
Sehari-hari mereka bertani, menanam sayur dan jualan aneka kue keliling kota Putussibau.
BACA JUGA: MUI: Kami Kecolongan, Ini Kelemahan Kami
Walaupun tertutup dan curiga kepada setiap orang yang datang kelingkungan mereka, saya berhasil berdilog langsung dengan sejumlah kepala keluarga yang tinggal di daerah Kedamin Hulu kecamatan Putussibau Selatan.
Namanya Igit, pria beranak satu dan istrinya tengah hamil ini sehari-hari jualan pentol di kota Putussibau, namun satu bulan terakhir milih berhenti berjualan akan fokus berkebun.
BACA JUGA: Kena Razia, 4 PSK harus Bayar Rp 1,7 Juta
Igit bersama lima kepala keluarga lainnya sudah satu tahun tinggal di tiga unit rumah kontrakan milik kepala dinas cipta karya dan tata ruang Kapuas Hulum Nusantara Gawat. Dari tiga unit kontrakan di daerah menuju Pantai Baung tersebut, pria yang mengaku berasal dari Purwakerta ini tinggal bagian ujung dari tiga unit rumah itu. Satu bulan mereka membayar kontrakan rumah Rp 600 ribu per pintu.
"Di sini saya bersama teman-teman, hanya beda daerah. Sebelumnya saya di Tangerang, sejak kecil saya memang udah merantau, Tangerang, Jakarta ya, mutar-mutar gitu mas cari rejeki," cerita Igit kepada Pontianak Post(grup JPNN)
BACA JUGA: Ratusan Eks Gafatar Ada di Ketapang
Ia mengaku betah tinggal di Kapuas Hulu karena masyarakat ramah. Aktivitasnya selain berkebun juga berjualan pentol keliling kota Putussibau, naum belakangan pekerjaan berjualan pentol ia tinggalkan.
Igit memilih berhenti berjualan pentol karena ingin pokus bertani dan mengantar istrinya yang lagi hamil. “Ndak jual pentol lagi, krena kadang bawa istri ke Puskesmas,” jelasnya.
Igit mengaku sudah ada memegang kartu BPJS. menurutnya, kalau tidak ada kertu BPJS akan repot.“Kami bisa mengurus BPJS, karena kami membawa surat pindah dari jawa kesini dan kami juga lapor pak RT sini," ucapnya.
Igit mengaku kedatangannya bersama rombongan ke Kalbar menggunakan kapal laut dan pesawat, kemudian menuju Kapuas Hulu menggunakan kendaraan darat. "Kami ada yang pakai kapal laut, dan pesawat. Disini sekitar lima KK lagi,”. Dengan dealek sunda, Igit mengaku tidak tertarik dengan untuk masuk organisasi atau kelompok, karena tujuan merantau bukan berkelompok tatpi menjacri uang.
Sebelumnya, Igit dan empat kepala keluarga lainnya membayar kontrakan sistem tahunan, setahun rumah kontrak yang ditempati Igit dibayar Rp6 juta per tahun. Namun sekarang kata Igit dibayar perbulan sebesar Rp 600 ribu. "Kami mah patungan bayarnya. Satu rumah ada yang dua KK, karena ada dua kamar. Jadi agak ringan bayarnya.Kalau bayar sendiri satu rumah tak kuat duitnya," katanya.
Ia mengaku, dari hasil berkebun dan berjualan kue yang dilakukan ibu-ibu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. "Usahanya lumayan, lagi dirintis, secara bertahap. Masyarakat disini baik, tapi kalau masyarakat tergantung kita.Disini ramah-ramah, kalau habis panenan kami juga bagi-bagi hasil kebun pada masyarakat dan masyarakat menyambut baik keberadan kami disini," katanya.
Salah seorang warga Kedamin Hulu yang akrab disapa Pak Ani yang saya temui di kebun miliknya di Jalan Baung membenarkan sekelompok pendatang dari Jawa tempati tiga unit rumah kontrakan, persis tepi jalan menuju daerah Pantai Baung. "Udah lebih setahun. Disini mereka berkebun di tanah seberang sungai Kapuas, tanah yang mereka kelola milik warga tionghoa di Putussibau,” ungkap Ani.
Ani mengaku tidak tahu bagaimana sistem pengelolaan tanah tersebut antara pemilik dengan mereka, apakah sewa atau sistem lainnya. Menurut pria 65 tahun itu, keberadaan warga tersebut memang sedikit berbeda, karena tidak terlihat keinginan membaur dengan warga disekitar."Saya pernah tawarkan kalau ketemu, supaya main kerumah karena kita mau tukar pengalaman,” katanya.
Karena memang tradisi masyarakat Kapuas Hulu kalau ada yang baru datang, ditawarin main-main kerumah. Lelaki yang miliki kebun pisang dan kandang sapi ini mengatakan, sungai Dat yang tak jauh dari tempat usahanya itu sering menjadi tempat warga tersebut mandi kala musim kemarau."Kalau musim kemarau ada sungai yang ndak jauh dari kandang sapi saya mereka mandi situ,” ungkap Ani.
Ani mengatakan, sekelompok warga tersebut terlihat giat bekerja, seperti turun ke kebun subuh dan pulang ke kontrakan ketika hampir gelap."Malam kami jarang melihat mereka keluar, rumah mereka selalu tutup, paling kalau pagi jualan roti yang ibu-ibu, kemudian laki-laki turun ke kebun, pulangnya sudah mau malam," cerita Ani. Ada satu keluarga yang sedikit berbeda dengan warga yang lainnya. (aan/dkk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Suami yang Sangat Cinta Barang Haram, Istri Dipukul dan Dicekik
Redaktur : Tim Redaksi