jpnn.com - JAKARTA – Kementerian Keuangan masih sulit menagih utang pajak perusahaan teknologi multinasional seperti Google.
Padahal, besaran pajaknya diperkirakan mencapai Rp 5,5 triliun dalam lima tahun terakhir.
BACA JUGA: Persentase Kenaikan Diatur, Keuntungan Pengembang Tipis
Menkominfo Rudiantara mengakui, kasus penagihan tunggakan pajak Google tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Pemerintah harus lebih dulu membuat aturan yang dapat memastikan Google memenuhi kewajiban pajaknya. ’
BACA JUGA: Industri Perhiasan Hasilkan Devisa Rp 43 Triliun
’Masalah Google jangan dipaksa harus selesai besok. Jangan dipaksa begitu,’’ jelasnya.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dikabarkan sedang merancang aturan perpajakan bagi penyedia layanan aplikasi atau konten melalui internet (over the top). Penyusunan aturan masih menunggu perhitungan besaran pajak dari Kemenkeu. ’’DJP nanti pasti punya strategi untuk menetapkan cara dan besarannya (pajak, Red),’’ katanya.
BACA JUGA: Astra Seriusi Bisnis Listrik dan Tambang Emas
Mantan wakil dirut PLN itu mengusulkan mekanisme penarikan pajak dilakukan secara sederhana.
Misalnya, pengenaan pajak penghasilan (PPh) secara final, bukan pajak progresif atau pajak berdasar keuntungan.
’’Pakai saja PPh final biar tidak ribet dan mudah. Kalau mudah, orang lebih cenderung mau bayar pajak,’’ ungkapnya.
Selama ini, mekanisme pemungutan pajak untuk perusahaan teknologi seperti Google sangat rumit.
Karena itu, perusahaan OTT lebih cenderung melarikan keuntungan ke luar negeri daripada mencatatkan laba yang menjadi dasar pengenaan pajak di dalam negeri.
Pengamat perpajakan Darussalam menilai pemerintah seharusnya lebih agresif menjajaki upaya untuk memajaki Google.
Dia mencontohkan, pemerintah Inggris membuat satu aturan perpajakan baru berupa diverted profit tax atau pajak atas keuntungan yang dibawa ke luar negeri. Aturan itu berhasil memaksa Google membayar pajak secara sukarela.
Google disebutnya lihai membuat perencanaan perpajakan untuk menghindari pembayaran pajak.
Google yang berbasis di Amerika Serikat mendirikan perusahaan intellectual property dengan menganut hukum Irlandia.
Namun, kantor pusat perusahaan intelectual property tersebut berada di Bermuda. Keuntungan Google dari seluruh dunia diklaim digunakan untuk membayar intelectual property, namun lantas dilarikan ke surga pajak.
Untuk kasus Indonesia, Google mendirikan anak usaha di Singapura yang mengelola kegiatan operasional transaksi iklan di Indonesia.
Google dengan sengaja menghindari pembentukan bentuk usaha tetap di Indonesia demi bebas pajak.
’’Mereka menggunakan skema double irish with dutch sandwich tax planning yang merupakan metode perencanaan pajak secara agresif. Itu merupakan strategi Machiavelli, jadi harus dilawan,’’ tutur Darussalam. (ken/c5/noe/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BI Imbau Perbankan Turunkan Suku Bunga Kredit
Redaktur : Tim Redaksi