Begini Cara Predator Anak Eksis di Facebook, Ngeri!

Sabtu, 18 Maret 2017 – 16:32 WIB
Ilustrasi. Foto: AFP

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia digegerkan penangkapan sejumlah pengguna Facebook yang menggunakan media sosial tersebut sebagai ajang berbagi dan berburu anak di bawah umur untuk memuaskan hasrat seks mereka.

Setidaknya, lima tersangka yang diduga menjadi admin grup Facebook pedofilia tersebut sudah ditangkap aparat kepolisian.

BACA JUGA: LPAI Imbau Polri Tutup Akun FB Aksi Bunuh Diri

Para tersangka diancam pasal prostitusi anak, pasal 27 ayat 1 juncto pasal 45 ayat 1 UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 4 ayat 1 juncto pasal 29 dan atau pasal 4 ayat 2 juncto pasal 30 UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Lima pelaku ini "menjajakan" 99 anak usia 2-10 tahun lewat grup Facebook "Official Loly Candys Group 18" dengan tarif Rp 1,2 juta. Para tersangka tidak mengenal satu sama lain, dipertemukan di Facebook dan punya kelainan yang sama. Ditengarai mereka bertemu di forum pedofilia, baik di medsos maupun di forum-forum online lainnya.

BACA JUGA: Duh, Masih Bocah Sudah Ikut Grup Pedofil di Facebook

Menanggapi itu, pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa untuk penyebarannya mereka menggunakan Facebook Group yang tertutup. Sehingga setiap akun Facebook yang mendaftar masuk ke grup tersebut akan dilakukan screening lebih dulu.

Mereka tertangkap karena aparat menyamar menjadi pembeli dan melakukan upaya pemesanan untuk menangkap pelaku.

BACA JUGA: Kiai Said Dihina di Facebook, Ansor Bekasi Lapor Polisi

“Praktek prostitusi anak umumnya memakai Facebook Group tertutup, di sana mereka berbagi dan juga bertransaksi satu sama lain. Dari bukti yang ada, bahkan mereka merencanakan menculik beberapa anak yang mereka sukai,” kata mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini, Sabtu (18/3).

Dia menambahkan, kini banyak juga dipakai beberapa aplikasi pesan instan yang bisa memberitahu "calon pembeli" bahwa ada "anak penghibur" yang siap dalam area beberapa kilometer. Lalu mereka bisa saling kontak dan menawarkan real time saat itu juga.

“Aplikasi chat dengan model base location ini mulai banyak dipakai, dan nampaknya juga digunakan oleh para predator anak. Tidak hanya bertransaksi, mereka juga mengincar pemakai aplikasi yang masih di bawah umur,” ujar chairman lembaga keamanan siber, CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

Para predator anak ini biasa mencari mangsanya lewat media sosial dan aplikasi chat. Karena itu orangtua sudah sepantasnya membatasi akses anak ke perangkat gadget. Bila terpaksa memakai, anak harus dipahamkan bahayanya.

Untuk mencegah hal ini terus berulang memang tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Upaya pemerintah juga harus dilengkapi dengan edukasi dan sosialisasi keamanan bermedia sosial berinternet. “Tidak hanya pada anak sebagai korban, tapi jauh lebih penting pada para orang tua,” tuturnya.

Pratama melihat ini menjadi kerja besar pemerintah. Dalam wilayah siber yang relatif susah dipantau dan borderless atau tanpa batas wilayah, para pelaku bisa dari mana saja bahkan luar negeri. Karena itu pemerintah harus melakukan pendekatan kultural di masyarakat untuk bisa lebih luas menjangkau dan meningkatkan kesadaran keamanan cyber di seluruh lapisan.

Pratama menambahkan, penting bagi pemerintah untuk mendorong developer lokal membangun media sosial maupun aplikasi chat lokal. Karena dengan pemakaian medsos dan aplikasi chat lokal oleh masyarakat, pemerintah lebih bisa bertindak tegas bila terjadi pelanggaran maupun kejahatan hukum di tanah air.

Selama ini pemerintah kesulitan bertindak, karena layanan internet baik media sosial maupun aplikasi chat hampir semuanya dari luar. Kalau mau bangun server dan taat bayar pajak sebenarnya tidak masalah, tapi yang terjadi sebaliknya. “Sehingga saat pemerintah mau bertindak tegas, mereka berani melawan karena kita tak ada layanan serupa sebagai pengganti bila dilakukan blokir,” terangnya.

Konten memang jadi masalah tersendiri, seperti salah satu aplikasi yang dianggap mempromosikan pornoaksi. Akhirnya pemerintah bisa bertindak tegas. Namun untuk layanan seperti Facebook dan WhatsApp yang banyak mengambil data dari masyarakat, cenderung pemerintah sulit bertindak.

Sebenarnya dia menegaskan, aplikasi lokal harus sesuai norma dan budaya tanah air. Karena itu, sebaiknya memang orangtua harus melek teknologi, minimal mengerti bagaimana mengaktifkan parental control di gadget anak. “Sehingga mereka tidak terkoneksi dengan orang luar yang berbahaya,” jelas pria asal Cepu, Jawa Tengah ini. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenal Aplikasi Tapaleuk Karya Anak Kupang


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler