jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Gerindra DPR RI menyampaikan sejumlah catatan terkait Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disetujui dewan menjadi UU.
Kapoksi Gerindra Komisi XI DPR Heri Gunawan mengatakan konstruksi harmonisasi peraturan perpajakan di RUU HPP mencakup sepuluh poin, yaitu pemberlakuan NIK sebagai NPWP, penguatan administrasi perpajakan, asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal.
BACA JUGA: Menteri Keuangan Sebut RUU HPP Berpihak Pada Rakyat Kecil
Kemudian, penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, implementasi tindak pidana perpajakan, pengaturan PPh, pengaturan PPN, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan penegasan prinsip ultimum remedium pada tindak pidana cukai.
Menurut Hergun -sapaan Heri Gunawan, kesepuluh kebijakan tersebut tidak mudah diimplementasikan karena beberapa di antaranya masih terkait dengan wewenang kementerian atau lembaga lain, bahkan negara lain sehingga dibutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan pihak lain tersebut.
BACA JUGA: 5 ASN Kemenkumham Dipecat, Kasusnya Memalukan, Duh
"Selain itu, beberapa isu, seperti penerapan NIK sebagai NPWP, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, penambahan layer tarif PPh, perlu disosialisasikan secara masif dan komprehensif agar bisa dipahami dan diterima semua kalangan," ucap Hergun menyampaikan pandangan akhir Fraksi Gerindra di sidang paripurna DPR, Kamis (7/10).
Dalam pandangan akhir fraksi, Gerindra menyampaikan sejumlah catatan. Pertama, kebijakan perluasan basis perpajakan dengan penerapan NIK sebagai NPWP perlu dipersiapkan dengan matang dan juga sosialisasi yang luas.
BACA JUGA: 7 Polisi Ini Dipecat oleh Irjen Risyapudin Nursin, Ada Bripka Raniandini Yasa
"Perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat bahwa pemberlakuan NIK sebagai NPWP tidak serta merta akan menyasar seluruh warga menjadi sasaran pajak. Ada ketentuan batas penghasilan dan pengecualian-pengecualian tertentu yang tidak dikenakan pajak,"tutur Hergun.
Catatan kedua, sejumlah penguatan administrasi dan kebijakan perpajakan lainya perlu dipersiapkan secara matang, disosialisasikan secara luas, serta didukung dengan penguatan digitalisasi sistem.
Berikutnya, ketiga, asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal perlu diperkuat dan diperluas.
Keempat, pemberlakuan pajak karbon memiliki dua makna penting yaitu sebagai upaya penambahan penerimaan pajak dan sekaligus pengurangan bencana perubahan iklim.
Wakil ketua Fraksi Gerindra itu mengatakan pajak karbon merupakan hal baru sehingga penerapannya perlu strategi khusus agar tidak mengguncang perekonomian.
Oleh karena itu, katanya, tarif pajak karbon harus ditetapkan secara moderat. Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram, atau Rp 30 ribu per ton ekuivalen dengan 2 dollar Amerika (asumsi 1 USD : Rp 15 ribu).
Hergun juga menegaskan terkait dengan rancangan kebijakan yang akan menyasar pajak sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, Fraksi Gerindra telah menolaknya.
"Sehingga, sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial tetap tidak dikenakan PPN," ujar anggota Komisi XI DPR itu.
Terhadap rencana penghapusan diskon pajak UMKM, tambah Hergun, Fraksi Gerindra juga menolaknya. Sebab, UMKM adalah penopang ekonomi kerakyatan dan layak menerima keringanan tarif pajak.
"Itulah komitmen politik yang mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara dengan tetap memberi perlindungan kepada rakyat. Negara wajib hadir di tengah-tengah rakyat," tandas legislator asal Sukabumi itu. (fat/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam