jpnn.com, JAKARTA - Orang tua Tiara Debora Simanjorang, yakni Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang mengadu ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (11/9). Pengaduan ini dilakukan terkait meninggalnya sang anak.
Seusai melakukan pertemuan dengan KPAI, kedua orang tua Debora memberikan penjelasan terkait meninggalnya sang anak. Awalnya, Debora mengalami pilek seminggu.
BACA JUGA: Kasus Kematian Bayi Debora Pelajaran bagi Pemerintah
Karena tak kunjung sembuh, Henny membawa anaknya ke RS Cengkareng karena rekam medis ada di sana. Kemudian, dokter menyarankan Debora diberikan nebulizer.
"Saya lakukan perawatan terhadap anak saya. Nebulizer dua kali sehari dan diberi obat. Namun, anaknya tidak membaik dan ada batuknya," kata Henny.
BACA JUGA: Komisioner KPAI: Membentuk Karakter Tak Cukup dengan Perpres
Henny menjelaskan, anaknya sempat agak nyenyak ketika tidur malam. Namun, Debora keringatan. Saat Henny ingin mengganti alas bantal, Debora tampak mengalami sesak nafas.
Tidak pakai pikir panjang, Henny dan suaminya langsung membawa ke RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, karena lokasinya paling dekat. Dokter di sana memberikan pertolongan pertama kepada Debora.
BACA JUGA: KPAI Dukung Perpres Penguatan Pendidikan Karakter
"Mereka berikan pertolongan pertama seperti kasih oksigen dan penyedotan dahak. Saya tidak bilang dokter melakukan pembiaran," ujar Henny.
Namun, Debora ternyata mengalami gangguan pernafasan dan harus masuk ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Orang tua setuju. Akhirnya, mereka mengurus administrasinya.
Saat itu, pihak administrasi RS menyatakan, tidak menerima BPJS. Orang tua Debora tidak masalah membayar secara tunai.
"Disodorkan secarai kertas, untuk ruang picu biayanya Rp 19,8 juta. Kamar Rp 900 ribu per hari. Enggak masalah yang penting anak saya masuk ruang PICU. Petugas admin enggak bisa kalau enggak ada DP," tutur Rudianto.
Rudianto pun langsung kembali ke rumah untuk mengambil dompet. Sekembalinya ke RS, dia menarik uang Rp 5 juta di ATM. Namun, pihak admin tidak menerima, sehingga Debora tidak bisa masuk ruang PICU.
Orang tua Debora sudah mencoba mencari rumah sakit lain. Namun, ruang PICU-nya sudah penuh. Untuk menutupi kekurangan pembayaran DP, orang tua Debora mendapat bantuan Rp 2 juta.
Rudianto menyatakan, uang Rp 2 juta itu digunakan untuk membayar biaya lab, karena telah diminta oleh pihak RS. "Saya bayar Rp 1,7 juta untuk cek lab," ujarnya.
Henny menjelaskan, pihak RS meminta uang Rp 11 juta supaya Debora bisa masuk ruang PICU. Namun, dia hanya memegang Rp 5 juta dan berjanji akan segera melunasi pada siang hari. Meski begitu, pihak RS tidak menerimanya.
Setelah itu, ada rencana untuk memindahkan ke RS Koja. Henny sudah bicara dengan dokter jaga bernama Ivan. Dokter menjelaskan bahwa hasil lab Debora terkait saturasi oksigen sudah baik, sehingga bisa dipindahkan.
Namun, dengan muka panik, suster kemudian mendatangi Dokter Ivan. Ternyata, keadaan Debora kritis. Dokter pun langsung melakukan penanganan.
Saat itu, Henny memegang tangan sang anak yang sudah dingin. Dokter menyatakan, Debora masih bernafas, namun tidak ada detak jantung. "Saya mau anak saya kembali. Tuhan tolong jangan ambil anak saya," kata Henny.
Akan tetapi Tuhan berkata lain. Nyawa Debora tidak tertolong. "Dokter bilang 'Bu, anak ibu udah enggak ada," sambung Henny.
Setelah anaknya meninggal, orang tua Debora mengadukan peristiwa itu ke KPAI. Mereka didampingi oleh pihak kuasa hukum, Birgaldo Sinaga.
"Tujuan supaya enggak ada anak-anak lain mengalami seperti saya. Saya berharap anak-anak ini haknya tidak didiskriminasi. Saya rasa ini (KPAI) tempat yang tepat," ungkap Henny. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPAI Desak Penyedia Ojek Online Perketat Seleksi Pengemudi
Redaktur & Reporter : Gilang Sonar