jpnn.com - JOGJA - Pemerintah Kota Jogja menempatkan penataan kawasan Malioboro sebagai program prioritas. Program itu bukan sekadar untuk mempercantik Malioboro, tetapi juga terkait dengan filosofi jalan utama di tengah-tengah Kota Jogja itu.
Melalui program itu, trotoar di Malioboro yang sebelumnya difungsikan sebagai tempat parkir sepeda motor dikembalikan untuk pejalan kaki. Hal itu penting untuk memperkuat keistimewaan Yogyakarta, sekaligus mengembalikan kenikmatan Malioboro.
BACA JUGA: Bogor Sudah Layak Jadi Provinsi Sendiri?
Ketua Dewan Kebudayaan Kota Jogja, Achmad Charris Zubair menyatakan, Jalan Malioboro sebagai bagian sumbu imajiner filosofi zaman dahulu harus menjadi ruang publik yang benar-benar nyaman. Baik untuk berjalan kaki, berekspresi kesenian, atau menjadi tempat diskusi.
”Bukan hanya menjadi kawasan pedestrian untuk jalan kaki semata. Malioboro merupakan bentuk dari slogan Jogjakarta berhati nyaman,” katanya seperti dikutip Radar Jogja.
BACA JUGA: Kebakaran, Ibu Berhasil Diselamatkan, Anaknya Tewas Terpanggang
Dia mengatakan, Malioboro bisa menjadi cermin Jogja yang pluralis. Sebab, semua orang bisa menikmati suasana Malioboro. ”Kenikmatan Malioboro sudah mulai hilang akhir-akhir ini,” tambahnya.
Menurutnya, kenikmatan interaksi sosial di Malioboro kalah oleh kepentingan ekonomi yang berkembang. Misalnya, untuk parkir, pedagang kali lima (PKL) dan aktivitas ekonomi lain.
BACA JUGA: Oalah! Lokasi Permainan Dingdong Disulap Jadi Arena Perjudian
Lebih lanjut Charris mengatakan, penataan itu tak hanya memberikan kenikmatan pejalan kaki di Malioboro. Kawasan semi pedestrian, lanjut dia, juga merupakan upaya untuk mengembalikan banyak sejarah di sana. Terutama, sebagai gambaran dari peran Belanda dengan Keraton. ”Masa lalu Malioboro merupakan bentuk dari persaingan peran Keraton dan Belanda,” jelasnya.
Dia menegaskan, ada narasi kisah sejarah dengan menjadikan Malioboro menjadi semi-pedestrian. Charris lantas menuturkan kisah pembangunan Loji Kebon atau Gedung Agung sebagai upaya Belanda menyaingi Keraton.
Selain itu ada Benteng Vredeburg yang menjadi bagian Belanda untuk mengimbangi Keraton ketika membangun Gedung Reksoboyo. Bahkan Gedung Malborough yang sekarang menjadi gedung DPRD DIY, kata Charris, dulunya dibangun untuk menyaingi Kepatihan.
”Ini akan semakin memperkokoh keistimewaan DIY. Kenapa DIY istimewa, masyarakat cukup mengunjungi Malioboro sudah bisa bercerita panjang lebar. Bukan sekadar foto di bawah papan tulisan Jalan Malioboro,” kelakarnya.(/eri/ila/ong/JPG/ara/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Pengakuan Dua Bocah Penjual 2 Kg Sabu saat Dikunjungi Kak Seto
Redaktur : Tim Redaksi