Video: What can migrants teach Australia about climate change adaptation? (ABC News)

 

BACA JUGA: Pembukaan Bioskop: Bahagia Bikin Sehat atau Justru Jadi Bahagia Karena Sehat?

Komunitas migran sudah terbiasa dengan keharusan beradaptasi di negara baru sebagai rumah baru mereka. Tapi seiring dengan ancaman iklim di Australia, mereka harus kembali beradaptasi. Ada pelajaran yang bisa diambil juga bagi seluruh warga di Australia.

Dalam Bahasa Inggris | Dalam Bahasa Mandarin

BACA JUGA: Australia dan Selandia Baru Cukup Berhasil Menangani COVID-19, tetapi Harus Membayar Mahal

 

BACA JUGA: Selain Pandemi COVID-19, Indonesia Juga Harus Antisipasi Ancaman Perubahan Iklim

Di rumah keluarga Yang di kawasan Balarat, plastik adalah musuh utama.

Lu Yang mengatakan anak-anak mereka meminta agar mengurangi pengurangan plastik saat membungkus bekal makan siang mereka.

Keluarga Yang semakin sadar soal penggunaan plastik, termasuk mertua Lu yang tinggal di sebuah motel milik keluarga Yang. Video: Lu Yang (ABC News)

 

Saat Lu pertama kali datang ke Australia dari China di tahun 2007, ia tidak terlalu mengenal hal-hal yang bisa berdampak pada lingkungan.

"Hal pertama yang saya pelajari di sini adalah memilah sampah dan mendaur ulang," ujar Lu.

"Ada tempat sampah berwarna kuning, hijau, dan hitam, saya belajar dari tetangga bagaimana melakukannya."

"Sekarang setelah anak-anak pulang ke rumah dari sekolah, mereka menceritakan belajar soal menjaga lingkungan … dan mengajak kami untuk tidak membungkus bekal makan siang dengan plastik."

Photo: Lu Yang, back right, with her family in Ballarat. (ABC News: Kai Feng)

 

Seperti kebanyakan keluarga di Australia, keluarga Yang juga tahu jika mengurangi sampah plastik tidak berdampak langsung pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Tapi mereka melakukan hal lain untuk mengurangi emisi tersebut.

"Saya pernah merancang panel listrik tenaga surya, jadi saya paham apa itu energi hijau dan bisa membantu pengeluaran uang. Kita sekarang pakai 100 panel tenaga surya di atap kami," ujar Zhouxin Cai, suami dari Lu.

Ia mengaku telah mengeluarkan sekitar AU$30.000 atau lebih dari Rp300 juta. Dengan potongan harga listrik dari pemerintah bagi pengguna panel surya, ia mendapat keuntungan.

"Saya biasanya bayar listrik AU$1.600 [lebih dari Rp16 juta] per bulan, tapi sekarang hanya bayar AU$300 [lebih dari Rp3 juta] per bulan," ujarnya.

Zhouxin berharap bisa menutup biaya pembuatan panel listrik tersebut dalam beberapa tahun ke depan.

Photo: Solar panels cover the roof of the family's Ballarat motel. (ABC News: Kai Feng)

 

Hari ini, China adalah negara 'superpower' dari sisi ekonomi dan politik, yang dalam beberapa tahun ke depan malah akan jadi negara yang menggunakan energi terbarukan.

China masih menjadi negara pembuang gas rumah kaca terbesar di dunia, sekitar 10.06 gigaton di tahun 2018 — satu gigaton sama dengan satu miliar ton — menurut data Agen Energi Internasional.

Tapi China juga adalah investor untuk energi terbarukan, dengan nilai US$S90.1 miliar pada tahun lalu, menurut dewan penasihat energi terbarukan di PBB.

Tentunya ini menjadi hal yang sangat berbeda dibandingkan puluhan tahun lalu, dimana kesinambungan tidak pernah bagian dari kehidupan apalagi pilihan China.

Ibu dari Zhouxin, Xiuying Chen, pernah mengalaminya.

Ia dibesarkan di Nanjing, sebelah barat Shanghai, pada tahun 1950-an, sebuah era yang sangat miskin.

Akibat penjajahan Jepang dan perang sipil di tahun 1949, saat itu China nyaris tak punya sumber daya.

Di akhir 1950-an, puluhan juta warga China meninggal dan disebut di sejarah sebagai 'Great Chinese Famine'.

Photo: The streets of 1950s China. (Supplied: John Hamilton)

 

"Saya selalu lapar karena tidak ada makanan cukup," ujar Xiuying.

"Kadang tidak ada aliran listrik di siang hari, cuma menyala di malam hari."

Keinginan untuk berkesinambungan mulai muncul dan mengantarkannya ke Australia. Photo: Xiuying Chen in her verdant Ballarat garden. (ABC News: Kai Feng)

 

"Di musim panas, kita membesarkan puluhan ayam," kata Xiuying.

"Saya membuat kompos dari kotoran ayam dan rumput-rumputan untuk dijadikan pupuk tanaman sayuran, dan mereka tumbuh dengan baik."

Membatasi sampah di rumah menjadi kebiasaan yang ia turunkan pada cucu-cucunya.

"Saat cucu saya tidak habis makan, misalnya saat makan roti tapi tidak makan pinggirannya, saya mengajarkan mereka jangan buang makanan … atau saya makan sisanya." Cara berbicara kepada orang tua soal perubahan iklim

Manjot Kaur, masih muda, pintar, dan penuh semangat, sering menggelar aksi unjuk rasa damai soal perubahan iklim bersama para pelajar yang juga pernah menjadi tajuk utama di media-media Australia.

Mahasiswi University of Sydney dan salah satu penyelenggara Australia's School Strike 4 Climate protests ini secara rutin datang ke kota Sydney dari rumahnya di kawasan Mudgee, sekitar tiga setengah jam menyetir, atau kadang aktif juga secara 'online'.

Photo: Manjot Kaur at Sydney's Clovelly beach. (ABC News: Brendan Esposito)

  Photo: She is an undergraduate student in politics and international relations. (ABC News: Brendan Esposito)

 

Hingga orangtuanya yang berasal dari India mendengarkan wawancara Manjot di sebuah radio lokal soal masalah lingkungan.

Aktivitas politiknya mungkin mengesankan bagi banyak orangtua, tapi ia mengaku jika orangtuanya sempat khawatir karena Pemerintah Australia memberikan peringatan soal demo yang digelar pelajar.

"Mereka sama sekali tidak menyetujui saya untuk berbicara menentang Pemerintah Federal," ujar Manjot.

Mereka dibesarkan dengan rasa ketakutan pada pemerintah dan mereka selalu khawatir soal saya."

"Saat saya pertama kali datang ke unjuk rasa, saya harus telepon dan SMS mereka setiap beberapa menit, jadi mereka tahu saya baik-baik saja."

Photo: Ms Kaur spent a lot of her time commuting to climate protests when she was a teenager. (Supplied)

 

Tapi daripada membantah orangtuanya, Manjot malah memanfaatkan kesempatan ini untuk membicarakan masalah perubahan iklim dengan mereka.

"Mereka tahu soal perubahan iklim cuma dari saya seorang, padahal mereka pernah mengalaminya sendiri," ujar Manjot.

Ia mengatakan menemukan adanya keterkaitan dengan apa yang dialami orangtuanya saat tinggal di pedesaan di India: antara musim hujan yang telat, hujan lebat, hasil panen yang tak bisa diandalkan dengan perubahan iklim.

"Sebagai anak migran, kita punya peranan penting untuk membantu orangtua, baik itu membantu mereka memahami surat-surat dari pemerintah atau memesan makanan fish and chips," ujarnya.

"Tapi dengan perubahan iklim, ada dua sistem pengetahuan dalam waktu bersamaan."

Saat ini orangtua Manjot bisa beradaptasi dengan isu perubahan iklim, termasuk membeli kendaraan berbahan bakar hibrida dan memasang panel tenaga surya di rumah mereka.

Meski sekarang orangtua Manjot mendukungnya sebagai aktivis, tapi mereka tetap takut dan khawatir, apalagi identitasnya sering membuatnya berada dalam situasi sulit.

Video: Manjot Kaur (ABC News)

 

"Secara pribadi saya mendapat serangan rasis dan misoginis di jejaring sosial," ujarnya.

"Semua yang dilakukan kita sebagai orang bukan kulit putih seolah menjadi cerminan apa yang terjadi di seluruh komunitas kita."

"Pergi berunjuk rasa dan risiko ditangkap bagi kami yang imigran sangatlah berbeda jika dilakukan orang kulit putih."

Sadar soal lingkungan tanpa menyadarinya

Ying Zhang adalah seorang epidemiolog di University of Sydney yang meneliti hubungan iklim dengan kesehatan, khususnya di negara-negara Asia Pasifik.

Ia mengatakan banyak migran dari negara-negara dengan sumber daya miskin justru membawa kebiasaan mereka, seperti menanam sendiri sayuran atau mendaur ulang, yang membantu mengurangi jejak karbon.

Bisa jadi juga gaya hidup ini terpengaruh oleh akun-akun Instagram atau memang sudah secara naluriah untuk mau hidup secara berkesinambungan.

"Mereka punya hubungan dekat dengan lingkungan, mungkin lebih peduli soal sumber daya alam dan telah menjalani kehidupan yang menggunakan energi lebih efisien dibandingkan warga Australia lainnya," ujar Dr Zhang.

Kim Nguyen, seorang pemilik toko roti asal Vietnam di Melbourne sudah menanam sayuran organik di kebun komunitas di perumahannnya dan membuat acar dari sisa-sisa sayuran yang tidak digunakan.

Photo: Melbourne bakery owner Kim Nguyen regularly harvests produce from this community garden. (ABC News: Natasya Salim)

 

Kim juga mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, karena membantu juga pengurangan emisi dengan menghindari pembelian makanan yang perlu didatangkan dari jauh.

Menanam sendiri bahan makanan dan mengurangi jumlah makanan yang dibuang sangat membantu mengurangi emisi.

Panel antar pemerintah soal perubahan iklim di PBB (IPCC) telah meminta negara-negara untuk mengatasi pembuangan makanan sebagai salah satu cara mengurangi emisi global.

Membuang makanan bisa memproduksi gas metan, dengan kekuatan 28 kali lebih besar dibandingkan gas efek rumah kaca yang dihasilkan ratusan tahun.

Sebuah studi oleh University of Melbourne di tahun 2016 memperkirakan sampah makanan di negara Victoria menghasilkan 2,5 juta gas rumah kaca setiap tahunnya dan 60 persen dari jumlah ini terjadi bahkan sebelum makanan sampai ke pelanggan.

Tapi alasan-alasan ini bukan menjadi satu-satunya mengapa Kim menanam bahan makanannya sendiri.

Sebelumnya ia tidak tahu sama sekali soal jika apa yang dilakukannya malah berdampak baik pada lingkungan.

Video: Kim Nguyen (ABC News)

 

"Saya hanya ingin menanam sayuran organik untuk keluarga sendiri," ujar Kim.

"Saya rasa kalau kita menanam sendiri, akan lebih sehat juga untuk keluarga."

"Saat menanam, kita hanya mengambil jumlah sesuai yang dibutuhkan, kalau di toko mereka menjualnya terlalu banyak."

Tak ada satu pun yang aman dari bencana alam

Bagi sebagian migran di Australia, gagasan jika perubahan iklim berdampak pada keselamatan dan kemakmuran di Australia mungkin terdengar asing, terutama mereka yang bermigrasi dengan alasan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Termasuk bagi ibu dari Dr Zhang yang pindah dari China ke Australia untuk alasan kesehatan.

"Dia pikir Australia sudah melakukannya, karena ini adalah negara maju dan dia bertanya, 'mengapa kita harus peduli soal lingkungan?'" tanya Dr Zhang.

Kota-kota besar di Australia memang jarang tertutup kabut asap seperti di kota-kota industri lainnya di dunia, tapi langit yang cerah biru tidak menutup bukti jika Australia adalah salah satu negara dengan penghasil polusi per kapita terbesar.

Salah satu negara lainnya adalah Bangladesh.

Abdul Bhuiyan dari Sydney adalah migran asal Bangladesh yang pindah ke Australia di tahun 2008 untuk "kabur" dari bencana alam di negaranya. Photo: Abdul Bhuiyan in his Sydney garden. (ABC News: Richard Hoskins)

 

Bangladesh, yang berada dekat kawasan Sungai Gangga, sangat rentan pada badai tropis dan banjir.

Diperkirakan di tahun 2050, kota-kota besar di Bangladesh akan menjadi yang pertama di dunia mengalami gelombang panas dengan kondisi berbahaya meski berlindung di tempat teduh. Hal ini bisa terjadi jika gas efek rumah kaca terus berlanjut di tingkat saat ini, menurut model iklim dari pusat penelitian Woods Hole Research Centre.

Model iklim juga menunjukkan kawasan Asia Selatan akan mengalami lebih banyak bencana alam, sementara benua Australia akan mengalami kekeringan, kepanasan, dan lebih banyak kebakaran hutan.

Photo: The Ganges River delta seen from space. (NASA Johnson)

 

Prediksi ini sudah disadari Abdul saat kebakaran hutan Australia tahun lalu, yang menewaskan 30 orang, membakar jutaan hektar lahan hutan dan tiga miliar hewan yang diperkirakan mati atau mengungsi.

"Kebakaran hutan di tahun 2019-2020 tak akan pernah terlupakan. Seperti sebuah bom waktu," ujarnya.

"Keluarga saya selalu menelepon untuk mengecek saya baik-baik saja. Gambar kobaran api sangat menakutkan dan membuat mereka khawatir."

Photo: Last year's bushfire season had a number of fires that generated their own weather systems. (Supplied: DELWP Gippsland)

  Photo: This bushfire in East Gippsland, Victoria, saw more than 800,000 hectares of bushland burnt. (AAP: DELWP Gippsland)

  Photo: Almost 3 billion animals were estimated to have died or been displaced in the last bushfire season. (ABC News: James Carmody)

  Photo: Bushfire smoke from Australia's east coast cloaked parts of New Zealand in smog over summer. (Joshua Stevens/NASA EOSDIS/LANCE/GIBS/Worldview)

 

Di New South Wales, hutan yang terbakar mencapai 5,4 juta hektar, atau setara dengan luas negara Denmark atau Belanda.

Keadaan diperparah dengan situasi di New South Wales menjelang musim panas dengan temuan Biro Meteorologi Australia yang menyatakan kurangnya curah hujan, kekeringan, dan suhu cuaca rata-rata yang meningkat.

Tahun lalu Australia mencatat suhu cuaca terpanas, setelah sebelumnya terjadi di musim panas 2018-2019.

Kebun milik Abdul seluas 600 meter persegi terdampak karena suhu cuaca ini, dengan biasanya cabai dan labu bisa bertahan dan tumbuh subur, kini menghilang.

Photo: Mr Bhuiyan's lemons survived the heat. (ABC News: Richard Hoskins)

  Photo: Last summer's record heat deformed Mr Bhuiyan's chilli crop. (ABC News: Richard Hoskins)

  Photo: These were some of the chillies that just survived. (ABC News: Richard Hoskins)

 

Ia mengatakan banyak teman-temannya yang berasal dari kawasan Asia Selatan juga merasa jika Australia akan aman dari bencana alam, tapi pandangan mereka kini berubah.

"Saat mereka pindah ke Australia, kita pikir kita akan selamat dari kejadian alam yang ekstrim," ujar Abdul.

"Tapi setelah menyaksikannya sendiri kekeringan dan kebakaran hutan tahun lalu, kita sadar tak ada satu pun yang aman dari dampak perubahan cuaca."

"Ini bukan masalah di satu negara saja … dan kita tidak bisa menghindarinya." 'Butuh aksi dari semua warga'

Photo: Dr Zhang says Australia's ethnic minorities are more susceptible to climate change's deadly consequences. (ABC News: Brendan Esposito)

 

Penelitian Dr Zhang dari University of Sydney sudah menunjukkan risiko kalangan migran di tengah perubahan iklim, yang bisa berdampak fatal.

"Kita melihat banyak orang meninggal karena suhu cuaca terlalu panas. Gelombang panas di Australia membunuh orang dibandingkan bencana alam lainnya," jelasnya.

"Jika kita bandingkan kematian dan jumlah orang yang masuk rumah sakit karena gelombang panas, maka mereka yang berisiko lebih tinggi adalah komunitas migran."

"Pemerintah Federal Australia saat ini tidak sadar betapa pentingnya perubahan iklim pada seluruh warga, ekonomi, kesinambungan secara keseluruhan."

Secara sejarah, Australia mendapat skor rendah dalam menanggapi perubahan iklim, misalnya saja dalam laporan terkini dari PBB, UNICEF, dan Laporan Lancet, Australia berada di rangking 174 dalam indeks kesinambungan.

Di indeks performa perubahan iklim tahun ini, sebuah laporan tahunan soal pengurangan emisi dengan melihat 61 negara yang bertanggung jawab terhadap 90 persen emisi gas rumah kaca, Australia berada di peringkat 56, hanya satu peringkat di atas Iran.

Tapi juru bicara untuk Menteri Energi dan Pengurangan Emisi Australia menolak laporan tersebut dan mengatakan laporan itu "mengabaikan fakta dan statistik".

"Perjanjian Paris 2030 dengan target mengurangi emisi hingga 26-28 persen dibandingkan 2005, per kapita, lebih ambisius dibandingkan yang ditargetkan negara-negara Eropa, Jerman, Kanada, Selandia Baru, Jepang," ujarnya.

Juru bicara tersebut juga mengutip data Bloomberg yang mengatakan Australia sudah berinvestasi hingga AU$7,7 miliar untuk proyek energi berkesinambungan, yang melebihi Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang.

Emisi yang dihasilkan Australia mencapai puncaknya di tahun 2007 dan berkurang dengan pajak karbon yang digagas Partai Buruh yang berkuasa, tapi kemudian dihapuskan di era Perdana Menteri Tony Abbott.

Sejak 2015, total emisi Australia telah meningkat dan tahun lalu proyeksi yang dilakukan Pemerintah Australia sendiri menemukan jika mereka tidak akan memenuhi pengurangan emisi di tahun 2030 nanti.

Untuk memenuhi target, Pemerintah Australia kini berencana untuk menggunakan kredit dari skema Kyoto yang diadaptasi di tahun 1997, artinya Australia hanya bisa mengurangi emisi hingga 16 persen di tahun 2030.

Tak ada negara lain yang menggunakan sistem kredit dari Kyoto dan ini tidak diakui juga dalam Perjanjian Paris.

Bagi aktivis lingkungan seperti Manjot, pemerintah "tidak boleh melepaskan diri dari tanggung jawab" dalam hal pengurangan emisi.

"Bukan jadi tanggung jawab keluarga saya untuk melakukan apa yang harusnya dilakukan," ujarnya.

"Kalau warga yang diminta tanggung jawab itu adalah semua narasi Eurosentris yang membebaskan perusahaan bakar fosil dan pemerintah dari tanggung jawab mereka."

"Kita butuh suara dari para imigran, kita butuh suara dari komunitas Asia Selatan, karena kitalah yang pernah merasakan dampak perubahan iklim di negara kita sebelumnya." Photo: Ms Kaur says governments and corporations shouldn't rely on individuals alone to reduce global warming. (ABC News: Brendan Esposito)

 

Di tahun 2017, laporan dari lembaga Climate Accountability Institute (CAI) menemukan 100 perusahaan, kebanyakan di sektor batu bara dan minyak, bertanggung jawab atas 71 persen emisi gas rumah kaca sejak tahun 1988.

Beberapa warga di Australia mungkin tidak begitu paham dengan rincian seperti ini, tapi tidak membuat mereka berhenti mencoba membuat perbedaan dengan cara yang mereka bisa, seperti yang dilakukan keluarga Yang di Ballarat.

Sebagai penerima manfaat dari skema potongan pemerintah untuk panel listrik tenaga surya di negara bagian Victoria, keluarga Yang meminta agar pemerintah "mendorong produk-produk yang ilmiah, hemat energi dan efisien".

Tetapi seperti yang diamati para pakar, telah adanya perang kebijakan perubahan iklim di Australia, karenanya solusi dari pemerintah mungkin akan lama tercapai, apalagi setelah tak adanya lagi Jaminan Energi Nasional

"Kami memiliki lebih banyak bukti untuk membuktikan dampak kesehatan, ekonomi, dan lingkungan dari perubahan iklim di seluruh dunia," kata Dr Zhang.

"Kita butuh aksi dari seluruh pihak."

Untuk menunjukkan aksinya keluarga Yang tidak berniat untuk berunjuk rasa.

Apa yang mereka lakukan adalah seperti yang juga sudah dilakukan oleh jutaan migran di Australia sebelumnya, yakni kerja keras untuk hidup mereka sendiri dan menjadikan Australia sebagai rumah yang lebih baik.

 

 

Credits Editor: Ian Burrows dan Christina Zhou Produksi: Alan Weedon Penasihat: Tim Leslie Tambahan liputan: Jason Fang dan Kai Feng Foto dan video: Brendan Esposito, Sean Mantesso, Jarrod Fankhauser, Natasya Salim, Richard Hoskins, dan Kai Feng  

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kaum Muda Jadi Tumpuan Lingkungan Hidup Indonesia di Tengah Perubahan Iklim

Berita Terkait