Senin kemarin waktu setempat, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas nama Belanda meminta maaf, karena telah memiliki peran historis dalam perbudakan, dan konsekuensi yang diakuinya masih berlanjut hingga hari ini.
"Hari ini saya meminta maaf," kata Rutte dalam pidato di gedung Arsip Nasional Belanda, yang juga disiarkan ke seluruh negeri.
BACA JUGA: Pengalaman Paling Mengerikan: Hawaii Airlines Alami Turbulensi, Puluhan Luka-luka
"Selama berabad-abad negara Belanda dan perwakilannya telah mengaktifkan dan menstimulasi perbudakan dan mendapat keuntungan darinya," tambahnya
"Benar bahwa tidak seorang pun yang hidup hari ini menanggung kesalahan pribadi atas perbudakan...(namun) negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan luar biasa yang telah dilakukan terhadap mereka yang diperbudak serta keturunan mereka."
BACA JUGA: Indonesia Terjeremus ke dalam Kerakusan, Tetapi Mayoritas Rakyatnya Miskin
Permintaan maaf muncul di tengah pertimbangan ulang yang lebih luas tentang masa lalu kolonial Belanda, termasuk upaya untuk mengembalikan karya seni yang dijarah, dan perjuangannya melawan rasisme saat ini.
Sejarawan memperkirakan pedagang Belanda mengirim lebih dari setengah juta orang Afrika yang diperbudak ke Amerika Selatan, kebanyakan ke Brasil dan Karibia, dan lebih banyak orang Asia yang diperbudak di Hindia Timur atau Indonesia sekarang.
BACA JUGA: Orang Indonesia Pencinta Timnas Argentina Rayakan Kemenangan di Buenos Aires
Banyak orang Belanda bangga dengan sejarah dan kehebatan angkatan laut negaranya dalam perdagangan.
Namun, anak-anak tidak banyak diajarkan soal peran dalam perdagangan budak yang dimainkan oleh Perusahaan Hindia Barat Belanda dan Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang menjadi sumber utama kekayaan nasional.Apa artinya untuk Indonesia?
Dr Abdul Wahid, akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan fokus penelitian sejarah sosial-ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara, kolonialisme, dan dekolonisasi mengatakan permintaan maaf ini adalah "niat baik yang perlu diapresiasi."
"Karena ini menunjukkan adanya perubahan persepsi mereka tentang masa lalunya."
"Dan bagi Indonesia, ini kesempatan untuk bisa memahami dan melihat secara kritis sejarah kita sendiri ... bahwa kolonialisme adalah sesuatu yang jahat dan merugikan Indonesia secara keseluruhan, dan kita menjadikan itu basis nasionalisme kita."
Namun, menurut Dr Abdul Wahid bagian sejarah itu perlu dilihat dari sisi yang lebih luas.
"Jangan sampai gara-gara kolonialisme, kita selalu menyalahkan Belanda untuk apa pun yang buruk yang ada di masyarakat, ... jangan lupa bahwa gara-gara kolonialisme itu sebenarnya nusantara disatukan menjadi satu 'political unit' yang namanya Hindia Belanda, yang kemudian kita teruskan menjadi Indonesia."
Selain itu, Dr Abdul Wahid menilai permohonan maaf jadi momentum bagi Indonesia untuk merefleksikannya.
"Kalau penjajah saja yang sedemikian lama melakukan pelanggaran hak asasi, katakanlah, pada akhirnya sekarang sampai ke tahap ini, kita sebagai bangsa juga harus bisa berbesar hati untuk mengakui apakah ada yang salah dalam sejarah kita dan ini tantangan yang besar untuk kita."
Ia menambahkan, permohonan maaf juga menjadi penting bagi Belanda sendiri, karena mereka sangat terbebani dengan sejarah mereka sendiri, sehingga mencoba membebaskan diri dari belenggu masa lalu tersebut.
Terkait dampak permohonan maaf ini terhadap perdebatan isu pengembalian barang-barang bersejarah yang dijarah Belanda, ia meminta Indonesia untuk memikirkannya dengan sangat serius.
"Kita juga harus kritis, jangan sampai pengembalian objek itu kemudian [seolah] mencuci bersih masa lalu mereka."
"Saya pribadi berpendapat, biarkan saja barang-barang itu ada di sana, yang dikembalikan mungkin tidak perlu semuanya karena susah dan akan bikin masalah yang baru juga ... biarkan di sana dan menjadi bagian monumen kolonialisme mereka."Tanggapan dari negara lain
Permintaan maaf yang disampaikan PM Rutte di Den Haag sempat mendapat tentangan dari kelompok-kelompok yang mengatakan permintaan maaf seharusnya dilakukan oleh Raja Willem-Alexander, di bekas koloni Suriname, pada 1 Juli 2023 atau peringatan 160 tahun abolisi Belanda di negara itu.
"Dibutuhkan dua orang untuk melakukannya supaya permintaan maaf bisa diterima," kata Roy Kaikusi Groenberg dari Yayasan Kehormatan dan Pemulihan, sebuah organisasi Afro-Suriname Belanda.
Dia merasa ada kesalahan, jika para aktivis yang merupakan keturunan budak sudah berjuang selama bertahun-tahun untuk mengubah diskusi nasional, tetapi tidak diajak berkonsultasi secara memadai.
Perdana Menteri Aruba, Evelyn Wever-Croes, mengatakan permintaan maaf disambut baik dan merupakan "titik balik dalam sejarah di dalam Kerajaan."
Namun, muncul pula kritik.
"Apa yang benar-benar hilang dari pidato [maaf] ini adalah tanggung jawab dan pertanggungjawaban," kata Armand Zunder, ketua Komisi Reparasi Nasional Suriname, meski pun dia juga mengakuinya sebagai "langkah maju".
"Jika Anda menyadari kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah Anda mengatakan 'saya bertanggung jawab untuk itu, kami bertanggung jawab untuk itu' .... saya memang berbicara tentang reparasi (ganti rugi)."
PM Rutte mengesampingkan uang ganti rugi pada konferensi pers pekan lalu, meski pemerintah Belanda menyiapkan dana pendidikan 200 juta euro.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingatkan PT Amman Mineral, Tokoh Sebut Sejarah Perang Sapugara Bisa Terulang