jpnn.com - Ekspedisi Pamalayu bukan penaklukan Jawa atas Sumatera. Utusan Singosari ke Dharmasraya membawa Amoghapasa sebagai lambang persahabatan.
Wenri Wanhar - Sumatera
Angin membawa kelana ke Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Di hulu Sungai Batanghari ini, tapak-tapak reruntuhan negeri tua berserak di mana-mana. Kejayaan masa lalu masih bersisa.
BACA JUGA: Siswa Paling tak Suka Mapel Sejarah Dipaparkan Guru, Lantas Disuruh Menghafal
Dharmasraya lama sekali terlupakan. Padahal, menyilau riwayat tambo, dari sinilah Adityawarman bergerak ke pedalaman Minangkabau menegakkan Pagaruyung. Ditinjau secara ilmu arkeologi, di sini pula ditemukan prasasti batu bersurat yang ada rajahan kata Suwarnabhumi, nama beken Sumatera pada masa lampau.
“Saya kan orang sini. Jujur saja, baru lima belas tahun ini saya mendengar kata Dharmasraya…” kata Arjuna, sekondan lama yang mengajak JPNN tualang ke negerinya. Hal senada juga disampaikan kebanyakan orang Dharmasraya.
BACA JUGA: Lasenas ke-17 di Medan, Cara Kreatif agar Siswa Tidak Melupakan Sejarah
Padahal, arca Amoghapasa yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta, sebagai barang bukti sejarah Ekspedisi Pamalayu tentang Jawa (Kerajaan Singosari) menaklukkan Sumatera, yang selama ini digadang-gadang “ilmu pengetahuan resmi”, dibawa ilmuwan kolonial dari negeri ini.
Sejarah Kerajaan Dharmasraya benar-benar terlupakan. Jangankan oleh rakyat kebanyakan, Tuanku Rajo Dipati--pemuka adat setempat--sendiri mengakui, “sebelum pemekaran Kabupaten Sijunjung Sawahlunto lima belas tahun lalu, tak pernah mendengar kata Dharmasraya.”
Wajar. Masa kejayaan Dharmasraya berada nun jauh di kelampauan. Berabad-abad yang silam.
Musim telah berganti. Hari baru tiba. Para cerdik pandai yang didaulat merumuskan pembentukan kabupaten baru di Sumatera Barat berhasil membangkit batang tarandam.
Entah angin apa. Agaknya, karena waktunya memang sudah tiba. Nama Dharmasraya mencuat. Niniak mamak bersuara bulat. Dicapailah kata sepakat.
Sejak diresmikan jadi nama kabupaten, pada 7 Januari 2004, Dharmasraya kembali dikenal. Kerajaan negeri emas kembali bersilau.
BACA JUGA: Saat Ditemukan, Candi ini Menginspirasi Belanda Membuat Kapal, Eh...Ditenggelamkan Nazi
“Mambalia’an siriah ka gagangnyo, pinang ka tampuaknyo. Kok lai bungo ka jadi putiak, putiak ka jadi buah,” kata Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan pemangku gelar pusako Maharaja Diraja, dalam beberapa kali perjumpaan belakangan hari ini.
Angin pengembaraan menjemput kisah nan lamo kali ini, rupanya mempertemukan dengan Bambang Budi Utomo, ilmuwan dari Pusat Penelitan Arkeologi Nasional, Sabtu, 6 Juli 2019. Bersama tim-nya, dia sedang melakukan eskavasi di Awang Maombiak, Siguntur, Dharmasraya.
“Dari Dharmasraya ini, ada sejarah Indonesia yang perlu diluruskan tentang Pamalayu,” kata Mas Tomi—demikian arkeolog papan atas Indonesia ini karib disapa.
“Kalau dulu, disebut penaklukan Singosari atas Melayu. Padahal faktanya tidak begitu. Dari data arkeologi yang kita punya, ada pengiriman arca Amoghapasa. Di lapik itu jelas bunyinya, di situ sama sekali tidak menyebutkan penaklukan. Malahan penyerahan hadiah.”
Mas Tomi sudah meneliti reruntuhan negeri tua Dharmasraya sejak 1980-an, semasa wilayah itu masih dalam lingkup Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
“Pertama kali saya penelitian di Padang Roco. Lalu ke Pulau Sawah, dan Awang Maombiak,” sambungnya.
Batu Bersurat Amoghapasa
Mari membaca ulang Amoghapasa, bukti arkeologi yang dijadikan sumber sejarah oleh para perawi Ekspedisi Pamalayu…
Saat ini, Amoghapasa disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.198-6469.
Entah siapa pula yang memulai, mereka bersemangat sekali mengisahkan bahwa Ekspedisi Pamalayu adalah serangan Jawa ke Melayu.
Kalau menyerang, kenapa yang dibawa Amoghapasa? Mengingat dalam ajaran Dharma Buddha, Amoghapasa perlambang kasih sayang.
“Amoghapasa merupakan satu dari enam perwujudan Awalokiteswara yang melambangkan belas kasih dan panduan menuju kebaikan…dianggap sebagai emanasi Bhodisatwa Maitreya atau Ksitigarbha, yang juga merupakan emanasi Buddha Wairocana,” sebagaimana dilansir dari Indonesiana, situs kebudayaan milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang diampuh Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Apalagi, di sekeliling padmasana lapik batu yang dijadikan alas Amoghapasatertera tulisan:
swasti sakawarsatita, 1208, bhadrawada masa, tithi pratipada suklapaksa, mawulu, wage, wrhaspati wara, madangkungan, grahacara nairitistha
(Bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Badrawada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu wage, hari Kamis, Wuku Mada?kungan, letak raja bintang di baratdaya)
waisaka naksasatra, cakra (dewata, ma)ndala, subha yoga, kuwera parbesa, kinstughna muhurtta, kanyarasi
(Belum ada yang menerjemahkan)
i nan tatkala paduka bharala aryyamoghapasa lokeswara. Caturdasatmika saptaratnasahita, diantuk dari bhumi jawa ka swarnnabhumi diprasatistha di dharma raya
(tatkala itulah arca paduka Amoghapasa lokeswara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata di bawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi, supaya ditegakkan di Dharmmasraya)
akanpunya sri wiswarupa kumara, prakaranang dititah paduka sri maharajadhiraja sri krtanagara wikrama dharmmotunggadewa mangiringkan paduka bharala, rakryan mahamantri dyah adwayabhahma, rakryan srikan dyah sugatabrahma, muan samgat payangan hang dipangkaradasa, rakryan damung pu wira kunang punyeni yogja dianumodananjaleh saka praja di bhumi malayu, brahmana ksatrya waisya sudra, a ryyamaddhyat, sri maharaja srimat tribhuwanaraja mauliwarmma dewa pramukha
(sebagai hadiah Sri Wiswarupa Kumara. Untuk tujuan tersebut paduka Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa memerintahkan rakryan maha-mantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma dan samagat payanan han Dipankaradasa, rakryan damun Pu Wira untuk menghantarkan p?duka Amoghapasa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahma?a, ksatrya, waisa, sudra dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanar?ja Mauliwarmmadewa)
Prof. Slamet Muljana dalam buku Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumiada mengisyaratkan bahwa lapik batu alas Amoghapasa semacam surat pengantar mengiringi persembahan dari Kerajaan Singosari untuk Kerajaan Dharmasraya.
Lapik batu itu disimpan di Meseum Nasional Jakarta, dengan nomor inventaris D.198-6468.
Para perawi sejarah boleh saja tak bersuara bulat.
Prof. Slamet Muljana berpendapat, rombongan Singosari dipimpin Adwayabrahma.
Dikatakannya pula, persembahan itu hadiah dari Wiswarupakurama untuk Mauliawarmadewa.
Lain tukang cerita, lain pula kisahnya.
Ada juga yang mengisahkan, Wiswarupakurama tiada bukan merupakan anak lelaki Kertanegara. Dia ke Dharma Raya diutus ayahnya.
Yang pasti--lepas dari siapa sebenarnya pimpinan rombongan yang mengantar seserahan dari Singosari ke Dharma Raya—penanggalan pengiriman Amoghapasa atau Ekspedisi Pamalayu, bila dikonversi ke almanak masehi tepat pada tanggal 22 Agustus 1286.
Begitulah bukti sejarah. Apa yang lebih nyata dari yang ditengok nampak, dipegang terasa?
Maka mulai kini, narasi Ekspedisi Pamalayu versi Jawa menaklukkan Sumatera tak usah direproduksi lagi. Yang sudah ya sudah. Kita maafkan kekeliruan yang lama itu. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penjara Sesak, Warga Binaan Ditempatkan di Kamar Mandi dan Toilet
Redaktur & Reporter : Wenri