jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali mengatakan dalam mengawal NKRI dibutuhkan lima komponen penting bangsa yaitu kiai dan ulama, intelektual, pengusaha, TNI/Polri, serta politisi.
Jadi kata As’ad Said Ali, kalau beragama tidak didukung dengan perjuangan politik, maka tak bisa menuju surga dengan baik. Karena itu, ujarya, politik dan agama itu satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
BACA JUGA: Bongkar THR ke Komisi VII DPR, KPK Cari Satu Bukti Lagi
"Jadi antara NU, Pancasila dan NKRI merupakan harga mati. Salah satu diantaranya tercederai, maka semua bisa hancur. Karena itu, politisi NU harus memperjuangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) NU yang diwariskan oleh para ulama," kata KH As’ad Said Ali, di sela-sela deklarasi Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama (ForsiNU), di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (4/12).
Untuk mencapai tujuan tersebut lanjutnya, politisi NU dibebaskan memilih partai politik sebagai alat perjuangan. Yang penting dalam jiwanya tetap NU dan dalam berpolitik jangan menggunakan kekuatan uang sebagai modal, melainkan dengan hati nurani.
BACA JUGA: Ini Resep Sehat Jusuf Kalla
Di tempat yang sama, kader Nahdlatul Ulama (NU) Hajjah Lily Khotijah Wahid yang kini bergabung dengan Partai Hanura membacakan naskah deklarasi ForsiNU "Dari NU untuk Indonesia".
"Para politisi NU merapatkan barisan di ForsiNU. ForsiNU diharapkan mampu memperjuangkan ideologi, visi, dan misi NU dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya melalui politisi yang ada di semua partai. Baik Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI. Karena pemutlakan satu alat perjuangan politik tidak dibenarkan," kata Lily Khotijah Wahid.
BACA JUGA: Luthfi Sebut Jaksa Tahu Fathanah Penipu
NU lanjutnya, tidak pernah lelah dalam mecintai dan mempertahankan NKRI sebelum merdeka sampai sekarang ini, dan tak lagi berada dalam satu wadah perjuangan politik, sebagaimana komitmen Khittah NU 1926. Dimana NU kembali sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyah dan berjarak dengan partai politik mana pun, dan NU keluar dengan slogan "Tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana".
Watak politik NU yang heterogen ujar Lily Khotijah Wahid, terus berlanjut dan membentuk karakter politik NU yang tidak pernah monolitik.
Mereka berjuang dari banyak tempat dan dengan berbagai alat, untuk kemudian bertemu di NU sebagai ruang pengkhidmatan melalui komitmen, partisipasi, dan sharing program. "Upaya untuk menghomogenkan kembali suara politik NU ternyata gagal," tegasnya.
Karena itu pemutlakan satu alat untuk perjuangan politik tidak dibenarkan, sebagaimana halnya pemutlakan tujuan perjuangan tidak dibenarkan dengan menggunakan semua alat (al-ghayah la tubarrirul washilah), bahwa partai adalah alat perjuangan, maka NU tidak perlu memutlakkan satu alat untuk mencapai tujuan perjuangannya.
"Kenyataan bahwa kader-kader NU tersebar ke berbagai partai politik dan mereka berkomitmen untuk ikut membesarkan NU dari banyak jalur merupakan fakta yang membesarkan hati," ungkapnya.
Mereka kata Lily, masuk dari berbagai pintu (min abwaabin mutafarriqah) untuk kemudian kembali ke rumah besar Nahdlatul Ulama. "Bertolak dari hal tersebut, maka para politisi NU dari berbagai partai berinisiatif membentuk ForsiNU. ForsiNU bertujuan membangun kebersamaan, meningkatkan kesalingpahaman, dan kerjasama strategis demi kebesaran dan kemasalahatan jam’iyyah NU," ujarnya.
Selain itu ForsiNU diharapkan menjadi jembatan emas yang menghubungkan seluruh kader NU lintas-partai ke dalam sinergi, koordinasi, dan kooperasi dalam rangka meningkatkan peran dan marwah politik kenegaraan, kerakyatan, dan kemanusiaan NU sebagai penjelamaan politik adiluhung (al-siyasah al-ulya), dan implementasi nyata Khittah NU 1926. Karena itu ForsiNU mendeklarasikan diri membentuk ForsiNU, imbuhnya.
Saat membacakan naskah deklarasi ForsiNU ‘Dari NU untuk Indonesia’, Lily Khotijah Wahid didampingi antara lain oleh inisiator ForsiNU A Effendy Choirie (Nasdem), A Mujib Rachmat (Golkar), Isa Muchsin (PPP), Abdul Kholiq Ahmad (PAN), M. Falakh (PDIP), dan Arfin Hakim (PKB). (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tunda Polwan Berjilbab, Kepemimpinan Sutarman Dipertanyakan
Redaktur : Tim Redaksi