Beralih ke Energi Listrik, Harus Dipastikan Ketersediaan dan Keterjangkauan

Selasa, 26 Februari 2019 – 07:19 WIB
Ilustrasi motor listrik sespan Ural. Foto: Ural Motorcycle

jpnn.com, JAKARTA - Saat masyarakat belum memikirkan apakah sumber energi yang dipakainya berasal dari batubara, migas, ataukah bagian dari energi baru terbarukan (EBT). Yang penting, energinya harus tersedia dan terjangkau.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan akan ada sejumlah manfaat yang diperoleh masyarakat apabila nantinya pengalihan pola konsumsi ini terjadi. Misalnya saat terjadi migrasi ke mobil listrik.

BACA JUGA: Sulit Mencari Sumber Dana Pembangunan PLTU

“Manfaat langsung yang dirasakan konsumen, terutama karena yang digunakan energi listrik, termasuk energi bersih (clean energy). Ini dimungkinkan, mengingat ada sebagian masyarakat yang mulai sadar lingkungan. Maka di sini energi listrik menjadi pilihan, seperti halnya mobil listrik dan kompor listrik (induksi)," tuturnya, Selasa (26/2).

Ke depan pengalihan pola konsumsi energi masyarakat ke listrik akan terjadi. Namun yang penting lagi, kembali dua hal itu harus ada, yakni terkait ketersediaan dan keterjangkauan.

BACA JUGA: Janji Jokowi Terapkan Jurus Kurangi Ketergantungan pada Energi Fosil

Perubahan memang tidak bisa terjadi secara total dan cepat, melainkan secara bertahap. Namun, dengan adanya perpindahan pola konsumsi energi, akan ada penghematan.

Fahmy mencontohkan, pemerintah memberikan subsidi solar, lalu subsidinya dialihkan kepada mobil listrik, maka otomatis akan mengurangi subsidi solar. Juga, terjadi penghematan beban energi yang ditanggung APBN.

BACA JUGA: Satu Liter Lumpur Bledug Kuwu Hasilkan Energi Listrik 5 Jam

Selain itu, impor BBM akan jauh berkurang. Itu sebabnya pemerintah harus mendorong peralihan dari kendaraan yang menggunakan energi berbasis fuel kepada berbasis listrik, dan juga penggunaan kompor listrik (kompor induksi).

Pakar ketenagalistrikan dan Guru Besar FT-UI Profesor Iwa Garniwa mengemukakan hal senada. Misalnya penggunaan kompor listrik untuk memasak, manfaatnya lebih bersih (ramah lingkungan) dibandingkan menggunakan energi migas. Karena migas masih membakar dan menghasilkan emisi.

Sementara pembangkit listrik yang ada saat ini adalah PLTU yang lebih sedikit menggunakan batu bara dan sangat minim emisi yang diakibatkan.

Namun kalau ditinjau dari segi harga, apakah listrik lebih murah dengan harga yang ada sekarang, ia tidak bisa menjawab secara pasti. Lima tahun lalu ia melakukan riset memasak satu objek yang sama dengan gas dan listrik, memang lebih murah memakai listrik. Sekarang harga listrik sudah berbeda.

“Jika pemerintah memutuskan menaikkan atau menurunkan harga migas, bisa jadi harganya lebih mahal atau murah perbandingannya, antara memasak menggunakan bahan bakar migas atau listrik. Jadi penetapan harga itu relatif sifatnya,” papar anggota Panitia Akreditasi Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM ini.

Menurut pemerhati ekonomi makro dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, saat ini cadangan migas Indonesia tinggal tersisa 3,2 miliar barrel. Sedangkan di tahun 1980 masih mencapai 11,6 miliar barrel.

Akibat dahaga mengkonsumsi minyak bumi, saat ini status Indonesia sebagai netto eksportir minyak bumi, sudah berbalik menjadi negara netto importir minyak bumi. Karena itu minyak yang harganya relatif lebih mahal masih dibeli, sedangkan gas yang relatif harganya murah, sebagian besar juga diekspor.

Adapun cadangan gas Indonesia juga tidak tergolong melimpah, hanya 102,9 TCF atau mencapai 1,4 persen dari cadangan dunia. Mengutip data dari BP Statistical Review of World Energy, maka menurut Faisal yang saat ini menjadi Advisory Board pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA), perlu mengubah paradigma dari energi sebagai komoditi, menjadikan energi sebagai tulang punggung perekonomian, pembangunan nasional dan daerah.

Iwa yang juga Ketua Electrical Power and Energy Studies (EPES) UI dan Kepala Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Departemen Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, ini mengatakan, langkah apa yang harus ditempuh PLN dan pemerintah untuk mengkonversi pola konsumsi energi konsumen/masyarakat dari bahan migas ke energi listrik, maka terlebih dahulu, sistem PLN harus disiapkan untuk mendukung peralihan tersebut.

“Seandainya kondisi existing rumah di satu komplek rata-rata 1.300 watt. Maka kalau beralih ke kompor listrik yang 1000 watt, bisa jadi ketersediaan listrik di rumahnya berkurang, apalagi saat terjadi beban puncak.

Jadi sistem PLN harus dibangun, untuk mempersiapkan konversi pola konsumsi energi masyarakat dari migas ke listrik. Terutama PLN harus mengevaluasi struktur jaringannya kalau terjadi peningkatan beban puncak, sehingga harus jauh-jauh hari dipersiapkan.

"Selanjutnya jika hal tersebut sudah dilakukan, maka PLN dan pemerintah tinggal mensosialisasikan ke masyarakat, misalnya penggunaan listrik itu aman dan harganya terjangkau. Dengan demikian aspek sosialisasi menjadi lebih mudah,” tutur Iwa.

Terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, mengemukakan, penggunaan sejumlah perlengkapan berbasis listrik mulai dari kompor listrik, mobil dan motor listrik akan menjadikan konsumen memiliki pilihan dalam komoditas energi.

“Artinya apabila tersedia semakin banyak pilihan energi yang disediakan oleh negara, maka akan semakin efisien. Selain itu, dengan dengan adanya mobil listrik atau motor listrik, dari segi polusi, bisa menekan pengeluaran dari sisi bahan bakar," ujar dia.

Karena itu, pihaknya kembali menekankan, bagi masyarakat konsumen, mengubah pola hidup menjadi lebih banyak menggunakan listrik dibanding energi lainnya seperti minyak dan gas (migas yang berasal dari fosil), akan tergantung pada harga yang ditawarkan.

“Kalau harga jual tenaga listrik yang ditawarkan lebih murah, bagi masyarakat bisa saja menjadi alternatif pilihan. Tetapi sebaliknya kalau penawaran harganya mahal, akan sulit bagi masyarakat beralih pada listrik," kata Tulus.

"Pada akhirnya kita memang harus sepakat untuk mempertajam berbagai sumber alam yang dapat memberi kontribusi penguatan ekonomi Indonesia, sekaligus berarti meminimalisir berbagai hal, terutama pada pos-pos pengeluaran belanja negara, yang memiliki fungsi substistusi yang bersumber dari dalam negeri," sambung Executive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN (Persero) I Made Suprateka.

“Dengan demikian kita dapat melakukan bauran energi paling ekonomis, untuk menghasilkan sumber listrik yang sustain. Baik dalam hal kapasitas, ketersediaan dan juga harganya,” pungkasnya. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Riau jadi Target Eksplorasi Cadangan Energi Baru


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler