Berani Blokir Telegram, Pemerintah Harus Bisa Paksa Facebook dan Google

Rabu, 19 Juli 2017 – 21:42 WIB
Layanan aplikasi Telegram. Foto/ilustrasi: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah memblokir aplikasi Telegram. Alasannya, aplikasi penyedia layanan pengiriman pesan itu sering dimanfaatkan untuk propaganda terorisme dan radikalisme.

Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan, sebaiknya pemerintah melakukan sosialisasi jauh-jauh hari sebelum melakukan pemblokiran. Sebab, pasti banyak yang memanfaatkan Telegram untuk kepentingan ekonomi.

BACA JUGA: Mestinya, Pemblokiran Telegram Didahului Sosialisasi

“Pengguna Telegram ini jutaan dan cukup banyak meski belum sebanyak WhatsApp, BBM dan Line. Namun,  saya kira efeknya tetap ada terutama kepada mereka yang menggunakannya untuk bisnis,” katanya, Rabu (19/7).

Mantan pejabat Lembaga Sandi Negara itu menambahkan, Telegram memang seperti aplikasi lainnya yang bisa digunakan untuk hal positif maupun negatif. Namun, pembuat aplikasi buatan Rusia itu mestinya mengikuti aturan yang ada di Indonesia.

BACA JUGA: Kabar Baik dari Pemerintah soal Telegram

Pemblokiran terhadap  domain name system (DNS) sendiri efektif dilakukan sejak Senin (17/7). Namun, beberapa provider sudah melakukan blokir sejak Jumat lalu (14/7) untuk Telegram berbasis web, sementara aplikasi masih bisa digunakan.

“Di telegram kita bisa memakai fitur secret chat yang itu diduga banyak dipakai oleh para pelaku teror untuk berkomunikasi. Percakapan pada fitur secret chat memang tidak bisa diakses, bahkan oleh pihak telegram sekalipun,” katanya.
           
Pratama menduga fitur lain di telegram yaitu channel banyak digunakan propaganda terorisme, terutama gerakan ISIS. Telegram sendiri sebenarnya sudah banyak menerima laporan dan mereka telah memblokir lebih dari 3.500 channel yang berkaitan dengan ISIS dan masih akan terus bertambah.

BACA JUGA: Dulu Jual Mahal, Sekarang Telegram Minta Nego Dengan Pemerintah

Karena itu dialog antara pemerintah dan telegram sangat diperlukan untuk menyamakan visi memberantas teror di tanah air. Menurut Pratama, hal itu jadi pembelajaran penting bagi pemerintah untuk memaksa para penyedia layanan over the top (OTT) seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan Google agar mengikuti regulasi di tanah air.
           
“Sebenarnya secara umum komunikasi antara pemerintah dengan penyedia layanan OTT ini tidak selalu tentang keamanan, namun juga terkait model bisnis, pajak dan paling penting apakah menyerap tenaga kerja lokal. Jangan hanya kita ini jadi komoditi mereka saja,” paparnya.
           
Selain itu, dia juga menyarankan ke pemerintah agar serius membangun aplikasi lokal. Kasus pemblokiran Telegram seharusnya memacu pemerintah untuk mulai membangun aplikasi instant messaging lokal yang mudah digunakan dan akrab dengan kebiasaan orang Indonesia.

“Jangan sampai 10-20 tahun mendatang orang Indonesia malah tambah ketergantungannya pada aplikasi luar,” katanya.

Pratama menambahkan, ada baiknya pemerintah meniru langkah yang menyediakan media sosial lokal sebagai alternatif. Akibatnya jelas, pemerintah Tiongkok dengan mudah bisa menolak Google dan Facebook, karena enggan mengikuti regulasi di negara mereka.

Namun tentu sulit untuk meniru apa yang dilakukan Tiongkok. Sebab, Indonesia merupakan negara demokrasi. Selain itu, Indonesia juga belum siap dengan aplikasi alternatif untuk bermedia sosial dan aplikasi instant messaging yang bida diandalkan.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istana Tegaskan Pemblokiran Telegram demi Keamanan Negara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler