JIKA diamat-amati, beberapa partai politik (parpol) “besar” atau yang “merasa” besar sangat bersemangat keluar sebagai pemenang Pemilu atau Pemilihan Presiden (Pilpres)To be a winner, sebuah obsesi psikologis dan politis
BACA JUGA: Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Rentetan strategi yang matang dalam sebuah proses, kadang diabaikanBACA JUGA: Sejenak Ngobrol Letter of Credit
Tak sekali “lompatan besar” langsung menjadiTak heran jika yang “ditembak” adalah parpol yang dianggap menguasai pemerintahan, mungkin Partai Demokrat (PD), walau nyatanya di tubuh kabinet juga duduk Partai Golkar, PPP, PKB, PAN dan PKS
BACA JUGA: Sejenak Ngobrol Letter of Credit
Logikanya, seolah-olah menumbangkan PD otomatis menggantikannya di posisi puncakTak senaif itu, sudah barang tentu.Anehnya, sesama parpol yang duduk di kabinet pun saling “tembak-menembak”, sehingga front menjadi sangat rancuBahkan, parpol yang di tubuh kabinet pun “berbisik-bisik” dengan parpol oposisi, sehingga jangan-jangan ini adalah “jurus mabuk” yang try and error dan tidak konseptual.
Banyak kemungkinan bisa terjadiBisa saja PD semakin “pede” karena front yang dihadapinya terpecah-belahSemua partai menjadi rival, tetapi antarpartai yang menjadi rival itu menjadi rival sesamanya juga.
Jika mengingat ilmu perang China kuno, PD bisa tenang-tenang untuk sementara membiarkan para rivalnya saling bersaingSiapapun yang menang sudah pasti kehabisan tenaga, sehingga lebih mudah mengalahkannyaDi atas kertas, gampang, bukan?
Sayangnya, Pemilu tidak semirip kompetisi sepakbola yang melalui babak penyisihan, perempat final, semi final dan finalPemilu langsung memasuki final, sehingga PD tak bisa tinggal diamJadilah semua terjun ke final, semua membujuk rakyat pemilih agar memilih partainya.
Wow, ada 38 partai berebut suaraPertumbuhan jumlah partai lebih 50 persen (karena hanya 24 partai pada Pemilu 2004), sementara pertumbuhan pemilih normalnya hanya 10 persenPembagi lebih banyak dari yang dibagi, bagai piring yang semakin banyak tapi nasi bertambah sedikit saja, begitu kira-kiraApa gerangan yang akan terjadi?
Kendati pun para pakar politik bilang ada yang disebut parpol papan atas, para pemain lama dan papan bawah, pemain baru, tetapi sedikit banyaknya pendatang baru akan mempengaruhi keberadaan dan perolehan suara partai papan atasTidak seekstrim hukum Archimedes, bahwa jika sebuah benda dicelupkan ke dalam air, maka ia akan mengambil tempat sebesar volume batu itu.
Secara hukum alam, perolehan suara parpol papan atas akan berkurang dibanding Pemilu 2004, walau hitungan optimistisnya masih bertengger di “lima besar” dengan persentase suara yang menurunJika pun ada yang malah menaik dari hasil Pemilu 2004, barangkali ia juga bisa “mencuri” suara dari sesama partai papan atas.
Akan ada partai papan atas yang kehilangan suara lebih besarSelain diambil sedikit oleh partai baru, juga diambil lagi oleh sesama partai papan atasParpol mana gerangan? Sudah pasti partai yang loyalitas angotanya tidak kokoh, dan mudah beralih ke lain parpol karena kalkulasi yang biasanya pragmatis belaka.
Yang merepotkan, sistem pemilihan yang mengutamakan suara terbanyak yang diraih oleh calon anggota DPR dan DPRD, dan bukan lagi menurut daftar urut, akan membuat pamor partai sebagai mesin politik berkurangPamor figur menjadi lebih penting, sehingga sedikit banyaknya akan mengusik prediksi seperti yang baru saja dibeberkan.
Kaderisasi
Terlepas dari prediksi yang konvensional itu, bukan tidak mustahil akan terjadi kejutan-kejutanYang diduga namanya sudah lebih dulu berkibar, katakanlah politisi lama yang sudah duduk di parlemen pusat dan daerah serta mencalonkan diri lagi, tak mustahil dilampaui oleh para new comer, atau oleh calon yang kurang popular secara nasional, tapi dikenal di daerahnyaTak heran jika sesama calon separtai pun saling bersaing secara tajam.
Namun sebelum tiba pada ranking parpol “lima besar” (The Big Five), diawali dengan ranking sejenis “10 besar” (The Big Ten) anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan di IndonesiaDaftar 10 besar anggota DPR dari setiap daerah pemilihan itulah, yang kemudian menentukan, siapa parpol yang termasuk The Big Five pada Pemilu 2009.
The Big Ten – dalam terminologi barusan — adalah mewakili figur, bukan mewakili partai, meskipun mereka orang partaiBukan tak mustahil para The Big Ten itu berasal dari parpol papan atas yang selang-seling dengan parpol papan bawah pulaUrutan para The Big Ten bisa sangat acak serta tak selalu sesuai dengan apa yang dianggap selama ini sebagai parpol The Big FiveMaklum, yang dicontreng pencontreng adalah figur.
Kemungkinan-kemungkinan itu semakin menjadi faktor yang menentukan hasil Pemilu 2009 tentang susunan parpol The Big Five, yang bisa berbeda dengan The Big Five pada Pemilu 2004Di sinilah, berbagai kejutan kemungkinan terjadi dan konfirmasinya harus ditunggu dengan hati berdebar seusai perhitungan suara Pemilu 2009.
Jika kejutan-kejutan itu terjadi, maka tak mustahil figur anggota DPR dan DPRD akan diisi sebagian (bisa 50 persen atau berapalah) pemain baruArtinya, sebagian pemain lama yang sudah berpengalaman lima, 10 tahun atau lebih, akan tersingkirPengalaman, mau tak mau ada hubungan dengan mutu, sedikit atau banyakSehingga diprediksi bahwa pukul rata kualitas wakil rakyat semakin menurun, setidaknya karena sebagian belum berpengalaman.
Kendatipun masih hipotesa, degradasi kualitas itu terjadi diduga kuat karena sistem rekrutmen para calon angota legislatif di tubuh parpol kurang atau tidak selektifKeharusan adanya 30 persen calon perempuan membuktikan kaderisasi perempuan di tubuh parpol masih lemahJika kader perempuan sudah setara dengan lelaki, keharusan itu tak perlu ada.
Tak heran jika ada calon perempuan yang selama ini belum dikenal oleh publikBahkan, jika pun sudah dikenal, tetapi belum mempunyai pengalaman politik yang memadai untuk tampil sebagai calonPengalaman di bidang lain mungkin sudah adaSebutlah, misalnya para artis yang oke di bidangnyaTetapi bidang politik masih merupakan pentas baru yang butuh jam terbang dan berbagai adaptasi.
Para calon di parpol baru juga semakin menggelisahkanWalaupun mungkin ada yang sudah berpengalaman di partai lain, dan lalu bergabung dengan partai baru, setidaknya ia belum lolos seleksi di partai asalnyaMeski kadang ia tak lolos karena ada sesuatu yang salah di partai lama, walau persentasenya mungkin kecil sajaNah, calon baru di parpol baru tentu saja kian nihil pengalaman pula.
Tapi kaderisasi di partai papan atas pun patut dicurigaiApakah benar mereka sudah punya jenjang pendidikan pengkaderan dari tingkat basis, menengah, advance, senior, dan lengkap dengan korps instruktur, master of training, serta kurikulum dan syllabus yang konseptual? Jika sudah ada dan berjalan, barangkali, rekrutmen calon anggota parlemennya tak lagi memunculkan adanya istilah “mendadak caleg” yang fenomenal itu.
Jika hipotesa ini terbuktikan dengan hasil Pemilu 2009, maka program ke depan adalah melakukan konsolidasi partaiMungkin, seperti mendirikan partai baru, melengkapi infrastruktur, konsolidasi dana, kaderisasi, dan demikianlah berproses selama lima tahunTatkala Pemilu 2014 di ambang pintu, sudah tinggal ready for use! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Capres Siapa Cawapres
Redaktur : Tim Redaksi