Siapa Capres Siapa Cawapres

Selasa, 24 Maret 2009 – 06:12 WIB

SEMUA hendak menjadi Calon Presiden (capres)Lalu siapa Calon Wakil Presiden (Cawapres)-nya? Ini, membingungkan

BACA JUGA: Koalisi Parpol Terubuk dan Puyu-Puyu

Tak mungkin dua capres dalam suatu koalisi antarpartai, bukan? Namun sikap yang sengaja diambangkan untuk sementara itu adalah strategi elegan dari para negosiator yang sedang memainkan berbagai seni kemungkinan di panggung politik.

Jika kita ulang rekaman berita televisi, belum ada yang sudi hati memilih posisi cawapres
Alasannya, yang penting melakukan komunikasi politik lebih dulu

BACA JUGA: Pemilu 1955: Catatan Masa Bocah

Misalnya, berbagai komunike tentang Pemilu  yang bersih, jujur dan adil
Juga menyepakati terciptanya kabinet presidensial yang kuat karena disangga oleh parlemen yang kuat

BACA JUGA: Membaca Prabowo, Membaca Peluang

Kita terbayang, sebuah koalisi yang menguasai eksekutif dan parlemen, yang mungkin nyaris mendekati single majority ala Orde Baru.

Adapun tentang posisi “pres dan wapres” sama-sama sepakat menunggu hasil Pemilu LegislatifIbarat bisnis, cari modal dululahTapi tetap saja sukar terbayangkan, sekiranya koalisi Golkar-PDIP-PPP disekapati juga, mungkinkah Megawati mau menjadi cawapres sekiranya perolehan suara Golkar lebih signifikan dibanding PDIP?

Pengandaian yang sama juga bisa ditujukan kepada Golkar, yakni relakah Jusuf “JK” Kalla menjadi cawapres jika suara partainya lebih besar dibanding PDIP, dan sekiranya berkenan, jika demikian mengapa harus “cerai” dengan SBY jika toh tetap menjadi cawapres?

Jika ditengok kembali ke belakang, sebetulnya ketiga partai ini, Golkar-PDIP dan Partai Demokrat (PD) sama-sama pernah berkoalisi pada Pemilu 2004Kita ingat Koalisi Kebangsaan (KK) yang terdiri dari Golkar, PDIP, PPP dan Partai Damai Sejahtera (PDS) sama-sama mengusung duet Megawati-Hasyim Mudjadi.

Demikian juga Koalisi Kerakyatan yang diusung oleh PD, PBB dan PKP plus “Kelompok Pembaruan” Golkar yang digerakkan oleh JK, Marzuki Darusman, Muladi, Fahmi Idris, Priyo Budi Santoso dan Burhanuddin Napitupulu yang mencalonkan duet Susilo “SBY” Bambang Yudjoyono-JK.  Belakangan juga bergabung PKS, PAN dan lainnyaHasilnya, duet SBY-JK memenangkan pertarungan.

Bedanya, sekarang Golkar dan PDIP saling mendekat, walaupun belum ada tanda-tanda bahwa adanya sejenis “Kelompok Pembaruan” Golkar seperti menjelang Pilpres 2004 yang “menyeberang” ke kubu SBY.

Belum ada tanda-tanda, bukan berarti kemungkinan itu tidak akan adaDunia politik toh bisa bergeser dalam sekejab mataWalaupun sejauh yang tampak secara nyata, Srisultan HB X, Akbar Tandjung, Agung Laksono, dan Surya Paloh tetap konsisten dalam garis perjuangan GolkarTapi keempat tokoh partai Beringin ini tak bisa diangap remeh.

Memang, Srisultan juga sudah berkali-kali bertemu dengan MegaAkbar Tandjung juga bersafari ke berbagai acara politik, dan malah mulai diwacanakan tak mustahil merapat ke SBYSurya Paloh juga memasang iklan satu halaman di beberapa suratkabar agar Golkar tetap berjayaAgung Laksono belum tahu, tetapi tak berarti tidak ada.

Beragam Duet

Berandai-andai membaca peta politik, mirip meramal final Piara Eropa atau Piala DuniaMeleset bisa saja, namanya juga prediksi, tetapi setidaknya ikut berpartisipasi mengisi pencerdasan bangsa dalam menyimak percaturan politik yang sudah mulai riuh rendah.

Jika Golkar-PDIP jadi berkoalisi, dan misalkan suara PDIP lebih besar dibanding Golkar pada Pemilu 2009, maka capresnya adalah MegawatiCawapresnya, baiklah bukan JK karena sudah digadang-gadangkan sebagai capres (tunggal) GolkarDiduga kuat tak mustahil, Surya Paloh tampil sebagai cawapres, tentu saja jika DPP Golkar memutuskan demikian.

Paloh lebih berpeluang dibanding Akbar, karena mantan bos Golkar ini praktis tak berada di jajaran DPP atau Dewan Penasehat jika tak disebut di luar sirclePaloh juga lebih “di dalam” dibanding Srisultan yang rajin  bermanuver ke luar kandang Beringin.

Golkar (atau JK) “melobi” PDIP pun bisa diduga karena Srisultan sudah duluan mendeklarasikan diri menjadi capres dan lebih dulu bertemu dengan Mega.  Jika Mega-Srisultan menjadi, maka JK yang telanjur disusulkan para DPD Golkar menjadi capres, rasanya tak mungkin “balik kanan” kembali ke duet SBY-JKWalupun, mana ada yang tak mungkin di dunia politikBagaimana pastinya, ya, wallahualam!

Jika suara Golkar lebih besar, maka JK jadi capres dan Mega akan mengajukan salah seorang kadernya menjadi cawapresSiapa? Boleh jadi Pramono Anung atau bahkan Puan MaharaniTak mungkin JK memilih cawapres dari Golkar juga, karena terang saja PDIP ogah.

Dua di antara kemungkinan duet yang sudah dibeberkan, yakni Mega-Paloh atau JK-Puan Maharani (Paramono Anung) rasanya tak setangguh jika duet Mega-JK atau JK-Mega yang ditampilkanDua alternatif terakhir ini bisa mengimbangi jika SBY memilih pasangannya adalah AkbarHarus dihitung pula, duet SBY-Akbar sedikit banyaknya akan memecah massa pemilih GolkarJika SBY memilih Hidayat Nurwahid, juga duet tangguh berhubung basis massa PKS yang solid.

Hanya Satu

Di luar kemungkinan itu, masih ada alternatif capres-cawapres dari anak bangsa lainnyaSebutlah, Rizal Ramli, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutiyoso, Marwah Daud dan lainnya yang juga sudah bermanuver, yang jamak saja menjelang Pemilu dan Pilpres 2009Partai pengusung juga tersedia dalam 38 partai, peserta Pemilu.

Alternatif yang disebut terakhir ini tak bisa dianggap enteng, karena baik Pemilu dan Pilpres berlangsung dengan system pemilihan langsungRakyat pemilihlah yang menjadi King Maker, meskipun berbagai hasil jajak pendapat sudah berseliweran.

Kelebihan tokoh alternatif ini setidaknya budaya masyarakat bisa saja sudah bosan dengan tokoh yang itu ke itu juga sehingga meletikkan keinginan tampilnya tokoh baru.

Toh, tokoh lama, dan apalagi calon yang incumbent, adalah posisi yang diuntungkan karena budaya masyarakat juga rada gamang jika harus memasuki ketidak-pastianCalon incumbent pun tinggal mengemas teknik kampanye yang jitu dengan mengeksplorasi pembangunan yang sudah berjalan.

Siapa yang menjadi apa (capres dan cawapres) memang ikut menentukan menang tidaknya duet tersebutKarena itu, ego antarcalon mestilah dihilangkan demi kepentingan yang lebih besarPula posisi cawapres dan wapres bukanlah posisi yang buruk, mengingat wapres seperti halnya presiden hanya satu orang saja di republik ini.

Merasa diri lebih pantas dari lainnya kadang bisa melenyapkan segalanyaSyahdan, filsafat orangtua di masa silam yang jauh menyindir, bahwa tidak sama Anda, tidak sama saya, biarlah sama orang lain saja, kedengarannya seperti bahasa orang yang terlukaPadahal, bahasa politik meski kadang setajam pisau tidak harus dibawa ke hati.

Menganggap orang lain lebih pantas bisa melahirkan respek, dan jika fakta perolehan suara Pemilu DPR menunjukkan lain, maka yang dianggap pantas tak mustahil bilang “monggo, Anda yang number one.” Tapi fatsoen politik macam itu hanya ditemukan di antara para negarawan berjiwa besarTapi, ah, ibarat Piala Dunia, si kulit bundar masih mungkin bergulir kian kemari(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler