Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan

Jumat, 03 April 2009 – 21:20 WIB

Kampanye PEMILU 2009 yang dimobilisasi, dan bukan partisipasi, sebentar lagi tinggal kenanganTidak ada lagi arus lalulintas yang macet dan menjengkelkan

BACA JUGA: Sejenak Ngobrol Letter of Credit

Kadang panggung hiburan pun menjadi ajang perkelahian dan goyang seronok penyanyi  justru disaksikan anak-anak di bawah umur
Tapi begitu lagu pop atau dangdut usai, orasi para politikus ditinggalkan mereka tadi yang heboh berjoget

BACA JUGA: Sejenak Ngobrol Letter of Credit



Kita berhak kecewa karena gaya kampanye Pemilu 1999, 2004 dan 2009 masih belum beranjak ke forum dialogis
Agak susah untuk membedakan mana yang menjual program dan mana yang menjual janji

BACA JUGA: Siapa Capres Siapa Cawapres

Belum lagi yang menyindir dan mengiritik rival dan pesaingnya, kadang terdengar mirip menyerang pribadi.  Salahkah yang dilakukan sejumlah partai itu? Toh sudah telanjurLagi pula menyesali apa yang justru disukai rakyat, misalnya panggung hiburan itu, keterlaluan jugaBolehlah sekali lima tahun bergoyang-ria, dan apalagi ada dana transpor, minuman mineral gratis hingga nasi bungkus

Jika hendak dikriteriakan ada kampanye yang bergaya entertainment yang maunya enak dipandang mata dan didengar telingaNamun ada juga yang mengarah kepada pencerdasan bangsa, walau minoritas dan baru aromanya saja dan kehadirannya belum dominan dalam Pemilu 2009

Pola entertainment agaknya setara dengan budaya pop, diwarnai musik rock, yang ditandai dengan juru kampanye bersorak sorai di atas panggungLalu, disambut deruman sepeda motor ketika konvoi massa partai di jalan rayaAda juga yang pop, karena bahkan SBY, Mega, Tifatul Sembiring pun tak luput menyanyi di pentas kampanye

Fenomena itu, jangan-jangan adalah pilihan yang cerdas, walau belum tentu mencerdaskanKampanye model begitulah yang justru digemari rakyatSekedar membikin ramai arena kampanye, memang berhasilTetapi apakah telah mencerdaskan kesadaran politik rakyat sebagai tujuan yang substansial, agaknya masih jauh panggang dari api

Mirip dengan panggung bioskop, orang pun lebih banyak yang menyukai film sejenis, maaf, yang mempertontonkan “paha-dada” daripada film sejenis “Daun di Atas Bantal” karya Garin Nugroho bertahun-tahun lalu

Polarisasi gaya kampanye itu, mau tak mau menunjukkan kekurang-seriusan terhadap hal-hal yang ideal, substansial dan besar, misalnya tentang cita-cita sebuah bangsaPublik lebih tertarik jika yang dibicarakan adalah soal-soal mikro, misalnya tentang kebutuhan bahan pokok, dan bahkan yang lebih instan seperti nasi bungkus dan dana transpor

                                       ***
Kampanye Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru masih menyisakan gaya yang bermutuPelbagai politikus yang pada masa Jepang dan revolusi pisik sudah terlibat dengan pergerakan bangsa, masih turun ke panggung kampanyeMereka adalah generasi ketiga setelah Bung Karno dan Bung Hatta, wakil generasi keduaGenerasi pertama adalah yang seangkatan dengan pendiri Budi Oetomo, Muhamamdiyah, seperti KH Agus Salim, HOS Tjokroaminoto hingga KH Ahmad Dahlan

Tokoh bermutu masih berkampanye pada Pemilu 1971Ada Isnaeni dari PNI, KH Saichu dan Idham Chalid dari NU, Kasman Singadimejo dan Prawoto dari Parmusi, Adam Malik dari Partai MurbaWalau harus dicatat bahwa “bulldozer” Mendagri Amir Mahmud yang memenangkan Golkar secara tidak fair pun menjadi fenomena Pemilu di masa Orde Baru hingga 1997 laluMaklum, kala itu dikenal istilah ABG, ABRI-Birokrasi dan Golkar, sebuah trio politik rezim Orde Baru

Berbeda dengan Pemilu 1955, Pemilu pertama di Indonesia yang masih memiliki tokoh bangsa sekaligus politikus dari generasi keduaAda MNatsir dan Mohamad Roem dari Masyumi, DN Aidit dari PKI, Hasyim Ashari dari NU, bahkan Burhanuddin Harahap, Sjahrir dan berbagai tokoh yang tak diragukan lagi kualitasnyaBarangkali, hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang tak terjun ke pentas kampanye

Mereka umumnya adalah generasi terdidik yang diproduk oleh pengaruh politik etis Belanda yang memungkinkan kaum kaum pribumi mengecap pendidikan barat yang belakangan menjadi pesemaian intelektual baru IndonesiaSejahat-licik apapun Belanda, produk pendidikan mereka telah menjadi embrional dari kawah candradimuka yang melahirkan pemimpin Indonesia

Pendidikan Belanda juga lebih mengutamakan intelektualisme ketimbang menjadi kaum pedagangTak heran jika produk pendidikan saat itu telah melahirkan pemimpin yang tidak rakus kepada materiDari iklim seperti itulah muncul pemimpin yang cerdas, intelek, nasionalistis dan merakyatBung Hatta dan Sjahrir sempat studi di Eropa sehingga pikiran modern pun berembus ke Indonesia

Jika pun berbeda pendapat, seperti di BPUPKI dan PPKI, misalnya tentang dasar negara, apakah berdasarkan Islam atau nasional, sangat melukiskan betapa bermutunya pemimpin saat ituBeda pendapat selalu dengan argumentasi yang rasionalUsai berdebat sampai ke ubun-ubun, toh masih bisa sama makan siang seraya bersenda gurau penuh keakraban

                                       ***

Toh Pemilu 1955 bukannya tanpa celaPemilu yang mengantarkan Indonesia ke era demokrasi dan kabinet parlementer itu mengakibatkan kabinet jatuh bangunEuforia bangkit bersama KKN yang dilukiskan Mochtar Lubis dalam novel Senja di JakartaBung Karno menyudahi segalanya dengan Dekrit 5 Juli 1959Konstituante dibubarkan, berikut Masyumi dan PSIIndonesia masuk ke era Demokrasi Terpimpin, jika tak dikatakan diktator

Orde Baru muncul mengoreksi Orde LamaPanglima tak lagi politik, tapi ekonomi yang disuarakan GolkarSemenjak itu materi menjadi tema, dan orang pun berlomba-lomba, bahkan memunculkan konglomerasi yang memang dibangun rezim Orde BaruPertumbuhan bagus, walau jurang kaya miskin pun menganga lebarPembangunan ditopang utang luar negeri, bahkan  tak bisa menyangga krisis ekonomi 1997-1998, dan Orde Baru pun ribuh bagaikan istana pasir.

Transisi tibaTernyata dalam kampanye sejak 1999 hingga 2009, kesadaran akan demokrasi politik dan ekonomi yang strategis tapi butuh waktu dan proses tak menarik hati publikYang dipuja adalah proses yang instan, yang serta merta mengubah nasib, dan inilah yang menggejala dalam perpolitikan Tanah AirBahkan sampai ada anggota DPR yang konon mencari dana kampanye dengan cara korupsi

Barangkali, ini adalah potret zamanMungkin, sekaligus menyatatkan “pekerjaan rumah” pemimpin terpilih pada Pemilu dan Pilpres 2009Tampaknya harus dipriotaskan sektor pendidikan yang menyahuti masalah bangsaTerpenting adalah pendidikan perekonomian yang berfilosofi berdiri di atas kaki sendiri

Perekonomian mestilah didasari demokratisasi ekonomi dan politikBukan semata mengejar pertumbuhan, tetapi justru dikuasai oleh modal asingTetapi perekonomian yang dikuasai oleh anak bangsa sendiriSekedar ilustrasi, BUMN kita nyaris 100% berasal dari nasionalisasi perusahaan asing di awal kemerdekaan dan pada 1950-anKok, malah  diprivatisasi dan sebagian sahamnya menjadi milik asing?

Hanya dengan perekonomian yang mandiri Indonesia lebih mungkin memakmurkan rakyat ketimbang tergantung kepada modal asingPencapaian pendapatan perkapita US$ 5000, dan sekarang baru sekitar US$ 2000, hanya dimungkinkan dengan perekonomian yang demokratis terhadap bangsa sendiri dan bukannya kepada modal asing

Misalkan, pendapatan per kapita sudah mencapai US$ 5000, barangkali gaya kampanye yang dimobilisasi berganti dengan gaya yang partisipatif pada Pemilu 2014Itupun jika pemimpin terpilih pada 2009 ini mulai meletakkan dasar ke arah perekonomian ala pasal 33 UUD 1945 ituBukan ke arah perekonomian neoliberalisme yang justru sudah bangkrut di Amerika Serikat**

BACA ARTIKEL LAINNYA... Koalisi Parpol Terubuk dan Puyu-Puyu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler