Awal Maret lalu, sebanyak 200 warga Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur menerima dua lembar surat dari Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN).
Halaman pertamanya merupakan undangan untuk membahas "pelanggaran pembangunan yang tidak berizin dan tidak sesuai dengan tata ruang IKN."
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Petani di Inggris Berdemo dengan Konvoi Traktor ke Pusat London
Sementara lembar kedua merupakan surat peringatan pertama bagi warga untuk mengosongkan rumah dalam waktu 7x24 jam.
"Saya kaget, tiba-tiba menerima undangan rapat di rest area IKN," ujar Adi, warga Sepaku yang meminta identitasnya dirahasiakan.
BACA JUGA: Bea Cukai Ngurah Rai & Balikpapan Perkuat Sinergi dengan Pelaku Usaha Lewat Ini
Meski menurut Adi rumah warga yang dimaksud belum digusur, ia mengatakan "kemungkinan akan terjadi penggusuran itu ada."
Dinamisator JATAM Kalimantan Timur, Mareta Sari mengatakan warga menolak karena undangan tersebut diterima warga pada tanggal 7 Maret siang, yang menyisakan waktu kurang dari 24 jam bagi warga sebelum kondisinya berlaku.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Israel Menyerang Lagi Dua Rumah Sakit di Gaza
"Mereka [OIKN] menyampaikan ada kesalahan teknis dan meminta kepada seluruh undangan untuk mengembalikan dua lembar kertas tersebut," katanya.
Tapi ada warga yang tetap ingin memegang suratnya untuk keperluan dokumentasi.
Kepala OIKN Bambang Susantono mengatakan pihaknya tidak melakukan penggusuran kepada warga di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, terkait proyek pembangunan IKN.
"Tidak ada penggusuran yang semena-mena," katanya pada Senin, 18 Maret lalu.
"Saya sebagai warga Sepaku, KTP saya dan istri sudah menjadi warga Sepaku, melihat mereka sebagai warga saya, sehingga kalau ada sesuatu yang tidak berpihak kepada mereka, pada tempatnyalah saya untuk memberikan ruang kepada mereka."'Tidak nyenyak tidur'
Meski belum ada tanda-tanda penggusuran, Adi yang sudah hampir 40 tahun tinggal di Sepaku mengatakan tetap mempersiapkan diri.
"Kami kemungkinan enggak akan pindah dari sini [Pemaluan], apapun yang terjadi," katanya.
"Orangtua kami lahir di Pemaluan, kami juga lahir di Pemaluan, maka itu bisa disebut pribumi."
Meski tidak menerima surat tersebut, Lisa, warga Pemaluan lainnya yang tinggal di kawasan Ring 1 IKN terus merasa khawatir.
Ia meminta agar identitasnya disamarkan karena adanya imbauan untuk tidak "bersuara berlebihan" oleh pihak otorita.
Menurutnya, perasaan yang sama juga dimiliki warga sekitar.
"Sampai detik ini pun mereka tidak nyenyak yang namanya tidur, makan pun juga enggak karuan karena memang ada warga yang beberapa rumahnya sudah kena dalam kawasan pembangunan IKN," katanya.
Lisa menuduh pihak otorita hanya mendatangi warga yang setuju agar rumahnya dirobohkan.
"Apakah mereka [yang tidak setuju] dikasih kesempatan untuk berbicara? … memang mereka dikasih kesempatan, bagi yang mau protes … silakan berhadapan dengan pengadilan, bahasanya begitu," katanya.
"[Tapi] berhadapan dengan pengadilan itu sudah sangat mengganggu warga."
"Warga ini, namanya orang kampung, buta akan hukum … ya mereka takut duluan … walaupun itu membela hak mereka sendiri, mereka punya kekuatan apa coba?"
Lisa mengatakan ia belum melihat tanda-tanda penggusuran seperti warga pada RT lainnya di Sepaku, tapi yakin jika ia akan mengalaminya.Warga tak tahu hak mereka
Pernyataan Kepala OIKN Bambang Susantono yang menolak dugaan penggusuran dianggap bertolak belakang dengan temuan JATAM Kaltim di lapangan.
Mareta mengatakan ini bukan pertama kalinya pihak OIKN dituduh melakukan usaha "penggusuran atau proses pengusiran" dalam berbagai wujud.
Salah satunya dengan melakukan pengukuran rumah warga secara sepihak "tanpa bertanya."
"Caranya adalah orang-orang proyek memasang patok-patok di rumah mereka," katanya.
"Bahkan ada rumah warga yang di kolong rumahnya langsung dipatok oleh petugas dari proyek."
Lainnya adalah dengan mengadakan "pertemuan terbatas" dengan warga, yang bukan "diinisiasi warga sendiri" serta tidak melibatkan warga perempuan, katanya.
"Tapi dari seluruh orang yang diundang itu tidak semuanya hadir, karena rata-rata mereka pekerja."
"Bagi perempuan terutama, itu enggak pernah dilibatkan, karena ada cap kalau ibu-ibu cerewet lah, banyak maunya lah, waktunya enggak fleksibel," katanya.
Mareta juga mengatakan pihak otorita juga mendatangi rumah-rumah warga untuk memberitahu jika tanah mereka akan dipakai untuk pembangunan intake untuk menyalurkan kebutuhan air di IKN.
Sementara itu bila warga menerima tawaran ganti-rugi, Mareta mengatakan pihak otorita akan menggunakan penghitungan properti warga, seperti rumah, tanah, kebun, yang jumlahnya dirata-ratakan.
"Masyarakat sudah enggak punya negosiasi lagi karena sebagian besar masyarakatnya sudah lansia, kemudian anak-anak mereka bekerja di luar," ujarnya
"Lalu mereka tidak tahu kalau sebenarnya mereka punya hak atau waktu untuk mengatakan 'enggak dulu, saya masih pikir-pikir' karena mereka [pihak otorita] datang hari per hari."Seruan agar lebih transparan
Amnesty International Indonesia menilai beredarnya surat dari OIKN tersebut "menandakan sempitnya ruang partisipasi masyarakat Sepaku."
"Ke mana perginya janji pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran?" ujar Direktur Eksekutif Usman Hamid.
"Memaksa mereka untuk meninggalkan tanah leluhur atau tanah yang sudah sejak lama didiami, memperlihatkan tindakan yang melanggar prinsip keadilan sosial dan absennya konsultasi bermakna."
Mareta mendesak agar pihak otorita lebih transparan dengan rencana tata ruang wilayah pembangunan IKN.
"[Tentang] sebenarnya kawasan-kawasan ini untuk apa dan bagaimana alokasi ruang yang diberikan sehingga masyarakat bisa tahu, membaca, melihat, memahami, dan mengambil keputusan," katanya.
Hal ini disetujui Adi yang merasa warga seperti dirinya "belum pernah terlibat langsung dalam hal apapun."
"Kami di sini kan orang pribumi nih, yang punya kampung," katanya.
"Masa iya sih orang-orang, teman-teman kita dari luar kota, dari luar pulau itu lebih dipedulikan daripada kami?"
Tapi jika tak ada pilihan lain, Adi mengatakan setuju untuk pindah ke lokasi lain asalkan warga sendiri yang memilih tempatnya.
Lisa mengatakan penolakan ini bukan soal uang dan nominal, namun karena para warga merasa "nyaman" dan "bangga" bisa tinggal di Pemaluan.
"Adanya IKN jangan sampai merusak, jangan sampai menghilangkan tempat tinggal kami, jangan sampai menghilangkan kampung kami."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perempuan Indonesia Dituduh Menipu Warga Australia untuk Investasi Vila di Bali