Berita Terbaru soal Penderita Gangguan Jiwa Boleh Menyoblos

Kamis, 29 November 2018 – 09:07 WIB
Warga menggunakan hak pilihnya. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, PONTIANAK - Sebanyak 87 pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) kota Singkawang, Kalbar, dipastikan tidak bisa menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2019.

Di Kalbar ada dua RSJ. Yaitu RSJ Kota Pontianak dan RSJ Kota Singkawang. "KPU Kota Pontianak dan Kota Singkawang telah melakukan koordinasi,” ungkap Ketua KPU Kalbar Ramdan seperti diberitakan Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Waketum Gerindra Tuding Jokowi Mau Pamer Tol Jelang Pemilu

Namun baru data dari RSJ Kota Singkawang yang didapat. Sedangkan RSJ Kota Pontianak masih dilakukan pendataan.

"Terkait 87 orang yang tidak dapat mengikuti Pilkada merupakan surat dikeluarkan RSJ Singkawang. Atas rekomendasi mereka dianggap tidak dapat mencoblos saat pemilu nanti," jelasnya.

BACA JUGA: Pemilu 2019: Satu Pemilih Butuh Waktu 11 Menit di TPS

Undang-Undang Pemilu sebenarnya menyebutkan, bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah, wajib masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Asalkan bukan TNI dan Polri, warga negera tak dicabut hak politiknya.

Dengan kata lain, penyandang disabilitas dan penderita gangguan jiwa juga memiliki hak suara. Namun untuk ODGJ mutlak ditetapkan atas rekomendasi RSJ.

BACA JUGA: Presiden Jokowi: Kita Blakblakan Saja, Memang Selesai kok

“Penetapan dari mereka yang mengalami gangguan jiwa atau disabilitas merupakan kewenangan dari masing-masing RSJ, termasuk kategori siapa saja yang berhak mencoblos saat Pemilu 2019,” tuturnya.

Bahwa sesuai UU Pemilu, penderita gangguan jiwa yang diperkenankan mencoblos harus disertai surat keterangan dokter pihak RSJ.

"Jika terdapat surat keterangan dari peserta disabilitas yang akan mengikuti Pilkada, maka orang tersebut berhak memilih," jelas Ramdan.

Terpisah, KPU Kota Pontianak menggelar rapat koordinasi terkait pemilih ODGJ, Selasa (27/11). Kegiatan di kantor KPU Kota Pontianak ini dilakukan lantaran ODGJ boleh mencoblos jadi polemik dan banyak orang bertanya ketentuannya. Mengingat ini kebijakan baru.

"Kalau berbicara peraturan pemilu dari tahun 1955 pada pemilu yang pertama, tidak ada pengecualian terhadap ODGJ," sebut Komisioner KPU Pontianak Deni Nuliadi usai Rakor yang turut dihadiri Bawaslu, pihak RSJ dan perwakilan partai politik di Pontianak.

Dijelaskannya, sejak pemilu 1955 hingga 2014, kriteria orang yang bisa terdaftar sebagai pemilih hanya mencantumkan WNI berumur 17 tahun atau lebih. Jika belum 17 tahun, tapi sudah menikah boleh masuk dalam daftar pemilih. Dalam hal ini tidak ada pengecualian terhadap ODGJ. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, barulah mulai ada tentang pengecualian tersebut.

"Nah, terhadap pengecualian itu, ODGJ atau hilang ingatan oleh beberapa LSM dan perorangan di Jakarta melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

Mengapa ada yang melakukan judicial review? Dijelaskan Deni, alasannya bahwa ODGJ luas dan ada kriterianya. Orang dengan auto phobia misalnya takut ketinggian, itu juga termasuk ODGJ. Apakah hak pilihnya akan hilang juga? "Orang misalnya mengidap gangguan kecemasan apakah hilang hak pilihnya, ini kan tidak jelas," ucapnya.

Pasal yang ada akhirnya diajukan judicial review di MK. Kemudian MK mengeluarkan putusan nomor 135 Tahun 2016 terhadap gugatan tersebut. Namun putusan MK mengabulkan sebagian. Artinya, masih memperkenankan ODGJ mencoblos.

“Tapi yang tidak diperkenankan adalah orang dengan gangguan jiwa permanen. Kalau yang temporer diperkenankan," paparnya.

Selain itu, kata Deni, dalam bahasa kedokteran jiwa diklasifikasikan ada gangguan jiwa ringan dan berat. Penderita gangguan jiwa berat, tentunya tidak bisa. "Tapi ada penjelasan, sepanjang ada keterangan dari dokter yang menyatakan orang itu mengalami gangguan jiwa," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya akan melakukan pendataan. Jangan sampai ODGJ berat masuk dalam daftar pemilih. Sebaliknya, ODGJ ringan dimasukan dalam daftar pemilih. “Masak orang dengan auto phobia takut ketinggian lantas kehilangan hak pilih," lugasnya.

Dijelaskan dia, jumlah ODGJ di RSJ Kota Pontianak terdapat seratusan pasien rawat inap. Dari jumlah itu, ada yang mengalami gangguan jiwa berat dan ringan.

Deni juga berharap pihak RSJ memberikan data pasien rawat jalan. Diklasifikasikan juga penderita gangguan jiwa berat dan ringan. Namun ternyata terkait data pasien ini ada kode etiknya.

"Ini yang akan kita bicarakan, karena kita menjamin hak pilih warga dan membuat DPT jadi bersih," kata Deni. Sebenarnya lanjut dia, pada pemilu 2014 pasien di RSJ dilakukan pendataan. Malah ada proses sosialisasi.

Ditambahkan Komisioner Bawaslu Kota Pontianak Irwan Manik Radja, pihaknya bersama-sama KPU akan berkoordinasi dengan RSJ untuk meminta data ODGJ. Tujuannya untuk memastikan apakah penghuni di RSJ Kota Pontianak sudah masuk DPT atau belum. "Kita kan tugasnya menjaga hak pilih, jadi kita akan cek lagi," ujarnya.

Jika sudah masuk dalam DPT, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk menggunakan hak pilih, pihaknya akan merekomendasikan KPU mencoretnya. "Jika belum masuk dan bisa menggunakan hak pilih, kami rekomendasikan untuk masuk,” tutup Irwan.

Sementara Humas RSJ Kota Pontianak, Arpan menjelaskan, dalam pertemuan kemarin KPU meminta pihaknya untuk memilah data pasien ODGJ ringan dan berat. Begitu juga untuk yang rawat jalan.

“Kalau untuk rawat inap, jumlah pasti belum tahu, angka kasarnya seratusan,” jelasnya.

Dijelaskan dia, memang ada dua kategori ODGJ. Yaitu ringan dan berat. Di RSJ, pengkategoriannya dilakukan dengan diagnosa. “Sedangkan untuk melihat kategori ringan dan berat dilakukan psikiater,” tuntas Arpan.(riz/lid)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Djarot Ajak Kader PDIP di Bawah Tonjolkan Politik Berbudaya


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler