jpnn.com - Petronela Nahak selama sembilan tahun bekerja di negeri jiran, tak sekali pun dia menikmati hasilnya. Beruntung, dia berhasil dipulangkan dan majikannya bersedia membayar hak-haknya.
BAYU PUTRA, Belu
BACA JUGA: Begini Jadinya ketika Gajah Masuk Sekolah
Tangis ibu dan anak itu pecah begitu berjumpa di pintu kedatangan penumpang Bandara A.A. Bere Tallo Atambua, NTT.
Nela, begitu Petronela biasa disapa, langsung memeluk erat sang bunda, Tresia Sose, yang tidak disangka bakal menjemputnya di bandara.
BACA JUGA: TKW Sakit Dipulangkan ke Indonesia
Adalah Yanti Belak, aktivis human trafficking di Atambua, Kabupaten Belu, yang juga mantan tenaga kerja Indonesia (TKI), yang membawa Tresia ke bandara untuk menjemput Nela.
Tresia tinggal di Dusun Lokome, Desa Asumanu, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu. Jaraknya hampir 40 km dari bandara.
BACA JUGA: Malaysia Minta Indonesia Tak Moratorium Pengiriman Pekerja
Dari depan kediamannya, tampak sebuah sungai di dasar lembah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste.
Jumat siang (2/3) itu, mereka tidak langsung pulang ke dusun. Dari bandara, Yanti membawa Tresia dan Nela ke rumah salah seorang rekannya, Herman Seran, untuk beristirahat. Keesokannya barulah mereka kembali ke rumah.
Ketika Jawa Pos datang di rumah Tresia Rabu (7/3) pekan lalu, Nela menyambut dengan hangat. Rambutnya tidak lagi panjang seperti sebelum merantau. ’’Begitu sampai di Malaysia, rambutnya memang langsung dipangkas,’’ tutur Yanti.
Rumah yang dikelilingi ladang jagung itu begitu sederhana. Luasnya sekitar 30 meter persegi. Atapnya dari seng dan dindingnya dari pelepah sagu.
Lantainya masih berupa tanah yang dibuat lebih tinggi sejengkal dari halaman rumah. Di salah satu sudut rumah, ada tempat tidur beserta kasur pegas yang tampak masih baru. Kasurnya pun masih terbungkus plastik, belum dibuka.
Di sudut lainnya, terdapat lemari yang juga baru, setinggi 2 meter. Rupanya, Yanti-lah yang meminta Nela belanja perabotan.
’’Saya bilang ke dia, kamu sekarang sudah punya uang. Maka, kamu harus nikmati hasil kerja kerasmu,’’ lanjut perempuan 41 tahun itu.
Nela merupakan salah seorang TKW asal Kabupaten Malaka, NTT, yang mendapat pengalaman tidak menyenangkan selama di Malaysia. Dia ingat betul, pada 28 Mei 2009, berangkat ke negeri jiran itu.
’’Saya termotivasi karena melihat tetangga yang baru pulang dari Malaysia,’’ tutur Nela sembari menyajikan kopi.
Dia pun berusaha mencari tahu sendiri hingga akhirnya bertemu dengan perusahaan penyalur TKW. Gadis kelahiran 5 Mei 1984 itu lalu nekat berangkat ke Jakarta, tempat penyalur TKW.
Dari situ, dia mendapat gambaran bahwa di Malaysia akan bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan bayaran RM 550 (sekitar Rp 1.938.500) per bulan. Gajinya dijanjikan naik setelah beberapa tahun.
Nama Nela pun diganti. Sebenarnya, nama asli Nela adalah Petronela Maleno. Demi bekerja menjadi TKW, dia terpaksa setuju namanya diubah menjadi Petronela Nahak alias Ida Nahak.
Dia bekerja di Penang, di rumah seorang warga Malaysia bernama Tan Ing In. ’’Saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjaga toko makanan anjing,’’ lanjut Nela.
Dua tahun pertama, Nela diberi tahu bahwa gajinya ditransfer ke rekening. Namun, Nela sendiri tidak pernah memegang buku tabungannya.
Begitu pula tujuh tahun sisanya, sang majikan hanya memberi tahu bahwa gajinya sudah ditransfer ke rekening.
Yanti menuturkan, muncul dugaan bahwa gaji Nela dua tahun pertama ditransfer ke rekening penyalur.
Menurut Yanti, itu aneh karena biasanya penyalur hanya mendapatkan gaji TKW paling lama enam bulan pertama.
Dia masih mencari tahu kebenarannya. Untuk saat ini, hitungan gaji yang harus dibayarkan adalah selama tujuh tahun.
Menurut Nela, selama bekerja di rumah majikannya yang berlantai empat itu, dia diperlakukan dengan baik. Majikannya tidak berlaku kasar, membelikan dia pakaian, dan dia mendapat libur pada Minggu.
Namun, libur yang dimaksud adalah bebas dari tugas menjaga toko karena tutup. Pekerjaan rumah tetap dikerjakan. ’’Paling saya main dengan anak-anak majikan,’’ ucapnya, lantas tertawa kecil.
Selama sembilan tahun bekerja, dia sama sekali tidak pernah keluar rumah. Dia hanya mondar-mandir dari rumah ke toko makanan anjing di bagian depan rumah.
’’Sesekali ke supermarket kalau diajak majikan,’’ terang anak ketiga di antara tujuh bersaudara itu. Dia juga tidak pernah memegang uang karena rekening tabungannya dipegang majikan.
Begitu pula alat komunikasi. Selama sembilan tahun Nela benar-benar putus kontak dengan keluarganya.
Tidak pernah sekali pun dia menelepon ayah dan ibunya yang telah bercerai. Dia memang dilarang untuk memiliki ponsel.
Puncaknya terjadi kala Nela mengajukan cuti selama satu bulan pada Agustus 2017 karena sudah terlampau rindu kepada keluarga. Sayang, majikannya tidak meluluskan permintaan tersebut.
Dia pun tidak bisa berbuat banyak karena semua dokumen juga dipegang majikan. Dokumen itu digunakan majikannya untuk mengurus perpanjangan masa tinggal Nela.
Dalam kondisi tersebut, dia mendapat kawan seorang petugas kebersihan RS di dekat rumah majikannya. Perempuan, yang sebut saja bernama Indah, itu berkali-kali mencoba berkomunikasi dengan Nela secara sembunyi-sembunyi.
Biasanya, Indah sengaja lewat di jalan belakang rumah dan mencoba berkomunikasi dengan Nela lewat jendela.
Dari situlah, Nela curhat bahwa dirinya tidak diizinkan cuti dan pulang oleh majikannya. Dia juga bercerita tidak pernah keluar rumah dan memegang uang.
Indah sempat menyarankan Nela untuk melapor ke kepolisian setempat, tetapi tidak kunjung ada kesempatan.
Akhirnya, muncul ide dari Indah untuk memotretnya secara diam-diam. Skenarionya, dia akan memotret Nela saat menutup toko yang memang berlokasi tepat di sudut jalan.
Lewat ponselnya, Indah lalu mengunggah foto Nela di media sosial sehingga menjadi viral.
Dari situlah, seorang pastor asal Batam yang biasa menangani TKW bermasalah, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, mendapatkan info tentang Nela.
Dia lalu berupaya memulangkan Nela dengan menghubungi Kementerian Luar Negeri dan KJRI di Penang.
Dia juga terhubung dengan Yanti melalui organisasi J-Ruk di Kupang yang concern pada TKI bermasalah asal NTT. Yanti tanggap dengan mengupayakan alamat orang tua Nela.
Akhir Februari lalu, Nela berhasil dibebaskan dari majikannya. Sang majikan membenarkan bahwa dirinya tidak mengizinkan Nela cuti. Namun, alasannya dinilai KJRI terlalu dibuat-buat. Sang majikan lalu dibawa ke kepolisian setempat.
Hasilnya, sang majikan didenda dan diwajibkan membayar seluruh hak Nela yang setelah dihitung bernilai RM 68.500 atau sekitar Rp 241,4 juta.
Menjelang kepulangannya, Nela terlebih dahulu mengambil haknya RM 1.000. Sang majikan berjanji melunasi sisa hak Nela dalam tiga tahap.
Tiba di rumah bukan berarti Nela bebas dari gangguan. Mendadak, salah seorang tetangganya yang menurut Yanti berprofesi guru bertamu ke rumah Nela dan ibunya.
Nela tidak kenal dengan sang tetangga yang rumahnya berjarak sekitar 2 km dari kediamannya itu.
Namun, sejak Nela pulang, dia selalu bertamu dan menanyakan soal pekerjaan maupun uang yang didapatkan Nela.
’’Semalam itu dia menginap di sini,’’ ujar Yanti. Rencananya, dia melaporkan sang tetangga ke dinas pendidikan setempat agar diberi sanksi.
Akhirnya, atas saran Yanti, Nela memutuskan untuk tidak langsung mencairkan uangnya. Dia khawatir menyimpan uang di rumah akan mengundang aksi kejahatan.
’’Rencananya, uang itu akan saya buat memperbaiki rumah,’’ tutur Nela. Rumah sederhana tersebut akan dibongkar dan dibangun dengan tembok batu. Kemudian, Nela berniat membuka toko kelontong di halaman rumahnya.
Yang jelas, bermodal hasil kerjanya, gadis yang hanya lulus SD itu akan melanjutkan hidupnya di Indonesia.
Apa pun yang terjadi, dia kapok dan tidak ingin lagi menjadi pekerja migran. ’’Sudah cukup. Saya tidak mau lagi kembali ke Malaysia,’’ ucapnya.
Nela merupakan satu dari sekitar 200 ribu TKI asal NTT yang merantau ke berbagai negara. ’’Bisa saja lebih banyak karena yang ilegal tentu tidak terdata,’’ tutur Cecilia Kusuma, biarawati asal Atambua yang juga aktivis buruh migran.
Sejak 2004, ada sekitar 2.000 TKI yang nyaris menjadi korban human trafficking, tetapi berhasil digagalkan.
Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang mencatat, sejak 2013–2017, ada 192 kasus kematian pekerja migran asal NTT.
Dari jumlah tersebut, hanya 31 orang yang memiliki dokumen. Sisanya tidak berdokumen. Sepanjang Januari–Februari, ada 11 kasus kematian pekerja migran asal NTT.
Sebagian besar pekerja migran yang meninggal itu berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hampir separonya atau sekitar 45 persen meninggal karena sakit. Atau ada yang terungkap menjadi korban penganiayaan seperti Adelina Lisao.
Di Malaysia, majikan Adelina tinggal hanya beberapa blok dari rumah majikan Nela. Selebihnya, ada yang meninggal akibat kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, tenggelam saat berada di kapal, hingga menjadi korban pembunuhan. (*/c6/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Malaysia Bagi-Bagi Duit Jelang Pemilu, Mirip BLT
Redaktur & Reporter : Soetomo