Berkebutuhan Khusus, Remaja Pembunuh Ini Tetap Harus Dipidana

Jumat, 14 Oktober 2016 – 08:30 WIB
Ilustrasi. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - SURABAYA –Jaksa Kejaksaan Negeri Surabaya memastikan akan tetap menghukum  AR, tersangka pembunuhan Ni Made Prabawanti Gowinda Dewadatta alias Kadek meski terkendala latar belakangnya.

Selama ini AR disebut memiliki latar belakang ''unik''.

BACA JUGA: Sabu-sabu di Tangan, Menangis, Jongkok dan Berdoa di Depan Polisi

Dia bukan saja mantan narapidana (napi) kasus melarikan anak di bawah umur.

Remaja 17 tahun itu juga disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK) ketika masa kanak-kanak.

BACA JUGA: Aoow! Aa Gatot Balas Gigitan Reza Artamevia

Meski demikian, jaksa memastikan tetap bisa menuntutnya di pengadilan.

"Dulu saat kasus melarikan anak di bawah umur bisa dipidana. Logikanya, yang sekarang juga bisa," kata Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi.

Selama tidak ada faktor pembenar dan pemaaf, ucap Didik, kejaksaan tetap menuntut pidana sesuai perbuatannya.

Yakni, pidana penjara maksimal selama 7,5 tahun.

Kejaksaan tidak ingin salah langkah dalam menangani kasus yang menarik perhatian tersebut. Apalagi, selama ini AR juga terlihat seperti remaja lainnya.

 Dia bebas pergi ke mana-mana tanpa pengawasan. Bahkan, dia berani melarikan Kadek ke luar kota.

BACA JUGA: Guru Apaan Ini? Teganya Mencabuli Siswi

Termasuk berani melakukan hubungan badan layaknya orang pada umumnya.

"Kalau melihat seperti itu, bagaimana dia bisa disebut berkebutuhan khusus?" tanya Didik.

Jaksa asal Bojonegoro tersebut berjanji memproses hukum kasus itu secara objektif.

Yakni, tetap memperhatikan keterangan para saksi dan korban serta mengakomodasi kepentingan mereka sesuai dengan fakta.

 "Kami tunggu berkas dari polisi dulu," ungkapnya.

Rekam jejak AR sebagai anak berkebutuhan khusus tersebut terlihat dari surat penelitian kemasyarakatan (litmas) pada 2013.

Ketika itu AR tersandung kasus melarikan anak di bawah umur.

Saat itu keluarga AR menyebutkan bahwa AR memiliki kekurangan. Mereka juga menyatakan IQ AR lemah.

AR dinilai lambat dalam belajar. Hal itu dibuktikan dari nilai-nilai sekolah AR yang kurang memuaskan.

"Keluarganya dulu memberikan banyak berkas kepada kami," ucap Ainur Rosyida, pembimbing kemasyarakatan (PK) yang menangani AR pada kasus perdananya, kemarin (13/10).

Berkas yang dimaksud mulai hasil tes IQ, nilai pelajaran sekolah, sampai hasil pemeriksaan dari psikolog.

Hanya, Ainur sudah tidak memegang berkas litmas perkara pada tiga tahun silam tersebut. Kini berkas litmas kasus lawas itu sudah tersimpan di gudang.

Tetapi, Ainur masih ingat soal pernyataan dan bukti yang disodorkan keluarga AR. Intinya, pihak keluarga menerangkan keadaan AR yang kurang normal saat kecil.

AR merupakan anak yang cukup emosional. Namun, jika tidak dalam keadaan emosi, dia termasuk anak yang mudah diajak berkomunikasi dengan lebih dahulu didekati secara perlahan dan tenang.

Meski AR memiliki latar belakang berkebutuhan khusus, bukti tentang keadaan psikologi terbaru belum ada.

Dadang Bagoes Prihantono, salah seorang guru pendamping khusus (GPK) yang pernah pendamping AR saat duduk di bangku SD, mengisahkan bahwa anak didik yang pernah dia bimbing selama dua tahun tersebut tergolong pendiam.

Dadang menjelaskan, saat masuk SDN Klampis 1, AR memang termasuk siswa berkebutuhan khusus (ABK).

Menurut data assessment dari psikolog, AR memiliki hambatan pada perilaku. Emosinya juga meledak-ledak.

Di SDN Klampis 1, AR merupakan siswa pindahan dari salah satu sekolah di Kota Mamuju, Sulawesi Barat.

AR baru masuk sebagai siswa SDN Klampis 1 saat kelas III.

"Waktu mendaftar, yang mengantarkannya bukan orang tua, melainkan nenek dan saudaranya," tuturnya.

Dadang mengungkapkan, selama menjadi siswa, AR memang terlihat superior. Sebab, AR memiliki

postur yang lebih tinggi daripada teman sekelasnya. Itu yang membuat AR cukup disegani siswa lainnya.

"Anaknya memang tinggi, besar, putih, dan ganteng," katanya kepada Jawa Pos kemarin (13/10).

Selama di sekolah, Dadang menyatakan bahwa AR memang beberapa kali terlibat pertengkaran dengan siswa lain.

Meski sudah dilerai, terkadang AR tetap bertengkar kembali jika ada kesempatan. AR akan terus membalas orang yang pernah menyakitinya.

"Sikapnya bisa dikatakan memang pendendam," ungkapnya.

Sementara itu, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Shinto Bina Gunawan Silitonga mengatakan bahwa AR merupakan anak sulung di antara tiga bersaudara. Sejak kecil dia kerap mengalami kekerasan fisik dari sang ayah. Dipukul, ditendang, dimaki, hingga dikurung di dalam kamar menjadi makanan sehari-hari AR sejak kecil.

Hal tersebut ditambah dengan perceraian ayah dan ibunya. Sejak orang tuanya berpisah, AR hidup bersama neneknya di daerah Keputih Gang 1. ''Tidak ada yang membimbing. Dia tumbuh jadi sosok pendiam yang menyimpan dendam,'' jelasnya.

Shinto menyatakan sempat kaget dengan kesadisan AR ketika menghabisi Kadek. Dalam rekonstruksi yang telah digelar polisi di lahan kosong Jalan Kertajaya Indah Regency terungkap bahwa AR tetap menyiksa korban meski sudah tewas.

 ''Tetap diinjak, disiksa mayatnya. Sadis benar,'' katanya.

Bahkan, saking tidak percayanya, berkali-kali Shinto mengulang pertanyaan yang sama kepada AR. Yakni, apakah AR yakin bahwa korban sudah tewas saat diinjak-injak dan disiksa olehnya. ''Jawabannya yakin. Saya kaget, umur 17 tahun sudah punya sifat sadis seperti itu. Pasti ada sesuatu yang salah dengan psikisnya,'' terang Shinto.

Karena itu, Shinto tidak sabar menunggu hasil tes kejiwaan dari Polda Jatim terhadap AR. Rencananya, hasil tes kejiwaan AR diterima polisi besok. ''Tapi, hanya lisan hasilnya. Data tertulis sebulan lagi baru terbit,'' lanjutnya.(may/rid/elo/c20/c7/git/flo/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengin Anaknya jadi Bidan PTT, PNS Tertipu Calo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler