Bersepeda Melintasi Andalusia dan Mendaki Gunung Tertinggi Afrika Utara (2-Habis)

Senin, 16 Agustus 2010 – 08:08 WIB
Paimo Hertadimas.

Komunitas pencinta sepeda yang terhubung di dunia maya memudahkan para pesepeda jauh Indonesia saat berkelana ke luar negeriNamun, yang tak kalah membantu adalah solidaritas "orang awak" di luar negeri

BACA JUGA: Bermalam di Hutan, Dijaga Anjing Liar Hitam

Berikut lanjutan laporan PAIMO HERTADIMAS dari Rabat, Maroko.
 
- - - - - - -  
SALAH satu rute perjalanan yang mengesankan saya adalah antara Nantes dan Bordeaux (Prancis)
Ini sangat menyenangkan karena merupakan bagian jalur wisata "vino"

BACA JUGA: Buy Akur, Pencipta Lagu Keong Racun yang Tetap Hidup di Kontrakan

Melintasi daerah perkebunan anggur dan pusat-pusat pengolahan minuman anggur yang menjadikan Bordeaux terkenal ke seluruh dunia

 
Dalam lintasan tersebut, sering saya bermalam di keluarga komunitas para pesepeda jarak jauh yang saya kenal dari internet

BACA JUGA: Berkunjung ke Museum Perang di Vietnam dan Kamboja

Layaknya bermain puzzle, ada keasyikan tersendiri mencari dan menemukan alamat mereka, baik yang berada di kota maupun desa
 
Mereka menerima dengan baik kedatangan sayaAda rasa empati dan kekeluargaanSaya sendiri tidak habis pikir mengapa banyak orang Prancis yang senang melakukan perjalanan jauh dengan bersepedaSalah seorang yang saya kunjungi adalah keluarga dengan dua anak kecilKedua anaknya selalu diajak berkelana dengan mengendarai sepeda
 
Saat saya tinggal di rumahnya, keluarga tersebut dengan bangga menunjukkan koleksi buku-buku tentang para pesepeda jarak jauh yang mengajak buah hatinya melakukan kegiatanBahkan, beberapa di antara mereka berkeliling dunia.
 
Keramahtamahan juga datang dari  orang-orang Indonesia, khususnya perwakilan pejabat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di kota-kota yang saya lewatiMisalnya, saat saya sampai di  Lisabon, ibu kota Portugal, saya langsung mencari Wisma IndonesiaKedatangan saya disambut baik oleh Albert Matondang, duta besar RI untuk Portugal, dan para staf KBRI yang lainBahkan, saya langsung dijamu makan malam.
 
Kadang memang ada pengalaman yang tak menyenangkanDalam rute Salamanca-Ciudad Rodrigo (perbatasan Spanyol-Portugal), saya dihadang angin yang sangat kencang dari arah depan sehingga mengalami dehidrasiKarena itu, ketika menjumpai desa kecil StCecilia, saya meminta izin untuk berkemahOrang yang saya temui tidak mengerti bahasa InggrisDia memanggil beberapa remaja untuk membantuTernyata mereka pun tidak mengertiDengan bahasa tubuh, akhirnya saya diperbolehkan berkemah di luar lapangan futsal yang berpagar kawat
 
Saya rebahkan tubuh dalam tenda untuk mengurangi rasa penat, sementara para remaja bermain sepak bolaBersamaan dengan terbenamnya sang surya, saya terlelap hingga tengah malamTiba-tiba saya dikejutkan suara mengendap-endapSaya pikir orang akan mengandangkan kuda yang sejak sore merumput di sekitar tempat tersebutTapi, saya menjadi curiga karena mereka berbicara sambil berbisikBenar dugaan saya, para remaja melempari tenda dengan bongkahan tanah, lalu berteriak menakut-nakuti
 
Saya diam tidak bereaksiMereka pun pergi, tapi kemudian datang lagi dari arah lainDiam-diam saya bergerak mendahului untuk memberikan kejutan sehingga mereka berlari sambil membunyikan terompet yang sedianya digunakan untuk mengangguKejadian seperti itu bagian romantisme petualangan yang sering saya alami.
 
Tantangan lain yang saya hadapi adalah panasnya suhu dan panjangnya siang si Eropa saat iniMatahari baru terbenam sekitar pukul 21.30 sehingga waktu istirahat sangat kurangHal itu mengakibatkan saya sangat lambat bergerakKalau sebelumnya saya menargetkan sehari harus bisa mengayuh 100 kilometer atau lebih, kenyataannya sehari saya hanya mampu menempuh 80?90 kilometerHanya beberapa hari saya mampu melakukan sesuai target.
 
Saya menyebut perjalanan kali ini sebagai Trans-Andalucia Cycling Trip karena perjalanan ini banyak melewati Andalusia, wilayah otonomi khusus di bagian selatan Spanyol yang beribu kota SevillaDari sana saya melanjutkan perjalanan ke wilayah Maroko yang di masa lalu "selama delapan abad" pernah terhubung di bawah pemerintahan kekhalifahan Islam.
 
Setelah sampai di kota Sevilla dan rute keseluruhan wilayah Andalusia, saya menyeberangi Selat Gibraltar (Jabal Al Tarik) di Laut Mediterania yang memisahkan Spanyol dan Maroko (Afrika)Saya naik feri dari Algeciras (Spanyol) ke Ceuta di ujung Benua Afrika yang juga masih di bawah pemerintahan Spanyol
 
Pada Kamis (5/8), saat sepeda yang saya pacu hampir memasuki kota Tangier (Maroko),  saya disambut warga Indonesia, Pak Hadi Syarifuddin dan ibuSaya diberi tahu Pak Hadi bahwa warga Indonesia akan berkumpul di KBRI Rabat, ibu kota Maroko, untuk menyongsong hari ulang tahun ke-65 RIDia meminta saya segera memasuki kota RabatPadahal, jarak yang harus saya tempuh lagi lebih dari 350 kilometer.
 
Tantangan tersebut membuat saya menjadi terpacuMeski beban berat, pada hari terakhir saya mampu menempuh jarak lebih dari 125 kilometer dalam waktu kurang dari enam jamItu menjadi jarak terjauh dan tercepat yang pernah saya lakukan dalam perjalanan iniBerat memangTapi, saya puas!
 
Saya bangga ketika sampai di batas kota Rabat (7/8) sudah ditunggu sepuluh pembalap sepeda nasional Maroko dan ketua Federasi Sepeda Kerajaan MarokoSetelah itu, kami bergabung dengan Bapak Tosari Wijaya selaku duta besar RI dan para stafnyaSaat kami sampai di halaman KBRI, selawat badar dan marhaban berkumandang diiringi tetabuhan rebana bertalu-taluIni adalah akhir perjalanan bersepeda yang indah dan sangat mengharukan saya.
 
Meski perjalanan bersepeda sudah finis, misi saya sebetulnya belum selesaiSeperti yang terjadwal sejak berangkat, salah satu tempat yang menjadi obsesi saya di Maroko adalah Gunung Toubkal (Jabal Toubkal atau Jbel Toubkal) yang merupakan gunung tertinggi (4.167 meter di atas permukaan laut) di kawasan Pegunungan Atlas, Afrika UtaraTapi, karena beberapa kendala, saya pesimistis bisa mendaki gunung ituSalah satu penyebabnya adalah ransel yang tidak bisa saya ambil dari Kantor Pos Ceuta.
 
Namun, peluang itu akhirnya datang jugaPada Senin (9/8), dua hari setelah tiba di Rabat, saya bermaksud mengunjungi kota Marrakes dan Casablanca dengan diantar anggota PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Maroko, yaitu MSabiq Al Hadi, 25, dan Islahudin Fahmi, 18Dalam perjalanan menuju Marrakes dengan menggunakan kereta api selama hampir lima jam itulah, hasrat melakukan pendakian muncul lagiKebetulan saya sudah hafal luar kepala kota maupun rute yang bakal kami lalui
 
Setiba di Marrakes, kami bertiga makan malam di sebuah kafe di kawasan lapangan Jemaa el Fna (Jemaa el Fna Square), lalu mencari warung internet buat melengkapi data yang kami perlukanSetelah itu, kami bermalam di salah satu kamar kontrakan mahasiswa Indonesia di kota tersebutSebelum memejamkan mata, pikiran saya masih dipenuhi rencana apa yang harus dilakukan
 
Semua peralatan untuk pendakian ada di  RabatNamun, ada peluang di depan pelupuk mataTidak sekadar bonek (bondo nekat)Tapi, semua sudah saya perhitungkanDengan pemikiran, kalaupun tidak punya tenda, setidaknya bisa bermalam di hut (pondok pendaki)
 
Keesokan harinya, dengan menumpang taksi, kami menuju ImlilDari sana kami berjalan kaki sekitar enam jam sampai hut terakhir yang dinamai Refuse du Toubkal (3.207 meter)Kami berkemah dengan tenda sewaan dari hut dan menggunakan selimut tebal sebagai pengganti sleeping bagMalam itu hujan lebat diawali hujan esSuhu udara meluncur drastis ke kisaran 12 derajat CelsiusTapi, kami bertiga bertahan di dalam tenda, meringkuk dalam selimut.
 
Baru keesokan harinya kami bertiga melanjutkan pendakian ke puncak Jbel ToubkalWalaupun tertatih-tatih, akhirnya kami sampai juga di puncak gunung tersebutPemandangan alam yang menakjubkan dari puncak membayar seluruh jerih payah upaya pencapaiannyaBagi saya, Gunung Jbel Toubkal merupakan gunung ke-57 yang pernah saya dakiIni sekaligus gunung ketiga di Afrika yang pernah saya daki setelah Gunung Kilimanjaro (5.896 meter) dan Gunung Kenya atau Point Lenana (4.985 meter)
 
Kalau dulu saya mendaki Gunung Kilimanjaro sebagai gunung tertinggi di Benua Afrika dengan mengendarai/membawa sepeda hingga puncak (Uhuru Peak), kali ini tidakSebab, saya sadar sudah tidak muda lagi (umur Paimo 52 tahun, Red) dan setangguh duluNamun, saya tetap bangga bisa sampai di Maroko dengan mengayuh sepeda sejauh 3.538,5 kilometerIni bukan sekadar kekuatan dengkul, tapi juga semangat yang tinggi(c4/el)
  

*) Paimo Hertadimas, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kini bekerja sebagai perancang grafis di Bandung.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingin Melompat Jauh Seperti Kanguru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler