Bertemu Ishi Michiko, Survivor Pengeboman Hiroshima

Bukan Berkubang dengan Luka Lama, tapi untuk Obati Kangen

Jumat, 07 Agustus 2015 – 21:12 WIB
Ishi Michiko dan Brianika Irawati Foto: Brianika/Jawa Pos

jpnn.com - Hari-hari Ishi Michiko kini tetap banyak dihabiskan di sekitar monumen yang selalu membawanya kembali ke kenangan kelam akibat bom atom 70 tahun silam. Berikut laporan wartawan Jawa Pos BRIANIKA IRAWATI yang baru kembali dari Hiroshima.

Laporan BRIANIKA IRAWATI, Hiroshima

BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (3-Habis)

ISHI Michiko berdiri tegap dengan mata terarah ke bekas gedung parlemen di Hiroshima, Jepang, yang terawat, tapi terlihat rapuh tersebut. Sesekali perempuan 77 tahun itu melepas kacamata, lantas mengusap air mata yang tak tertahan jatuh dengan sapu tangan.

Sudah 70 tahun lewat, tapi bekas gedung parlemen tersebut selalu saja memantik kenangan yang tak pernah tergerus oleh waktu. ”Setiap melihat gedung itu, saya langsung mengingat semuanya. Dentuman yang sangat keras, diikuti teriakan meronta, tangisan histeris, dan orang-orang yang berlari panik ke sana kemari menyelamatkan diri,” kata Michiko kepada Jawa Pos yang menemuinya Minggu lalu (2/8).

BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (2)

Kenangan kelam yang tak pernah meninggalkan Michiko itu persisnya terjadi pada 6 Agustus pagi, sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Dengan latar belakang Perang Dunia II, Hiroshima luluh lantak dihajar Little Boy, bom berinti uranium yang ditembakkan dari pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat.

Dua hari berselang, giliran Nagasaki yang mengalami nasib serupa. Di Hiroshima saja, sekitar 140 ribu dari total 340 ribu penduduk kota ketika itu tewas menjadi korban bom yang menghasilkan gelombang panas sampai 4 ribu derajat tersebut.

BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (1)

Michiko mengingat, pada pagi jahanam itu dirinya tengah bermain bersama saudara perempuannya di rumah yang terletak tak jauh dari gedung parlemen. Tiba-tiba dentuman yang sangat keras terdengar.

Kontan Michiko yang saat itu baru berusia tujuh tahun menangis, meronta, dan meminta pertolongan. Kondisi lingkungan di sekitarnya yang semula tenang langsung berubah kacau. Yang dia tahu kemudian, dia sudah digendong tetangga depan rumah tinggalnya dan dibawa lari menuju tempat yang aman. Saat dalam gendongan, mata Michiko sempat melihat ke atas: langit memerah penuh kobaran api.

Tangis Michiko semakin keras. Dia merasa sangat takut. Takut akan terjadi ledakan lagi, takut tentang bagaimana keadaan keluarga, dan takut akan nasib dia selanjutnya. Pelukannya pun semakin erat dalam gendongan. Tangannya melingkar ke leher si tetangga yang dia sudah lupa namanya itu sekaligus menyembunyikan wajah dalam pelukan.

Bertumpu pada kesaksian enam survivor seperti Michiko, jurnalis John Hersey menggambarkan dengan sangat hidup kondisi di Hiroshima sebelum dan sesudah pengeboman itu di majalah New Yorker edisi 31 Agustus 1946. Karya Hersey yang diberi titel ”Hiroshima” tersebut semula direncanakan untuk ditampilkan secara berseri dalam empat edisi. Tapi, William Shawn, asisten redaktur yang menugasi Hersey ketika itu, berhasil membujuk Harold Ross, pendiri New Yorker, untuk menampilkannya dalam satu edisi sekaligus.

Keputusan New Yorker tersebut bermuara pada lahirnya karya jurnalistik yang dianggap pionir jurnalisme sastrawi, yakni gaya penulisan jurnalistik yang mengadopsi gaya penulisan fiksi. ”Hiroshima” lantas dibukukan dan terjual sekitar tiga juta kopi sampai kini.

Sebagaimana ”Hiroshima” juga menggambarkan perjuangan para survivor mencari orang-orang tercinta, yang pertama dilakukan Michiko begitu sampai di tempat aman ialah mencari kabar tentang ayah-ibu dan saudara perempuannya.

Sekali mencari tidak menemukan, dua kali juga berakhir nihil. Tapi, dia tidak patah semangat. Ditanamkannya kuat-kuat harapan dalam benak bahwa keluarganya bakal kembali berkumpul bersama. Sampai kemudian datanglah kabar itu: seluruh anggota keluarganya menjadi korban tewas pengeboman.

”Saya menangis sejadi-jadinya, tapi orang sekeliling saya memberikan semangat. Kamu harus terus hidup,” ujarnya mengenang.

Akhirnya, memang itulah yang dia lakukan: meneruskan hidup. Dengan peristiwa kelam itu tak pernah beranjak dari kenangan, Michiko tumbuh bersama keluarga yang mengadopsi, menikah, dan memiliki tiga orang anak.

”Suami saya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Anak saya sudah berkeluarga semua. Kini saya turut membantu merawat cucu-cucu saya,” ucap pemfavorit sushi tersebut.

Tempat tinggalnya sekarang juga tetap tak jauh dari gedung parlemen yang kini berubah menjadi destinasi wisata tersebut. Mungkin itulah cara dia berdamai dengan masa lalu.

Hampir setiap hari dia meluangkan waktu untuk berjalan-jalan ke sana. Bukan untuk terus berkubang dengan luka lama, tapi justru sebagai pengobat rasa kangen. ”Saya memang suka jalan-jalan di tempat ini. Ini satu-satunya bekas gedung yang masih tersisa sampai kini akibat pengeboman dulu,” ucapnya.

Hiroshima yang terletak di Pulau Honshu kini dihuni sekitar 1,1 juta jiwa. Gedung parlemen tadi menjadi pengingat penting bahwa ibu kota Prefektur Hiroshima tersebut adalah kota pertama di dunia yang dihajar nuklir.

Di sekitar gedung itu beberapa monumen didirikan. Persis di depannya, misalnya, ada sebuah monumen pintu masuk jembatan. Jembatan yang bernama Motoyasu tersebut dulu juga menjadi korban Little Boy. ”Setiap hari jumlah pengunjung sampai seribu lebih. Kalau akhir pekan sampai dua kali lipat,” terang Mito Kosei, seorang pemandu wisata di gedung itu.

Persis di sebelah kanan monumen sisa pilar jembatan, juga ada jembatan baru yang dibangun pemerintah Jepang pada 1992. Menyeberanginya, pengunjung dapat menemukan monumen berwarna hijau keabuan.

Monumen setinggi 4 meter tersebut memiliki dua pantung, laki-laki dan perempuan, di puncaknya. Mito menyatakan, monumen itu merupakan pengingat banyaknya korban anak- anak akibat kebiadaban 70 tahun silam tersebut.

Tercatat, ada 3.500 sekolah yang hancur saat itu. Sebagai penghormatan, seniman Hideki Yukawa membuat karya instalasi berupa seribu burung kertas. Sebuah simbol doa agar para korban mendapatkan tempat di surga.

Di sanalah kini hari-hari Michiko banyak dihabiskan. Mengenang, menangis, tapi masih bisa tersenyum sebagai tanda syukur karena meski pernah kehilangan keluarga, dia masih diberi kesempatan memiliki keluarga baru. ”Semoga tak ada lagi kengerian seperti yang pernah saya alami di Hiroshima,” harapnya. (*/c9/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jeffry Antono, Pendiri Sekolah Khusus Pembuatan Sepatu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler