Besi Scrap Kurangi Ketergantungan Industri Baja Terhadap Bahan Baku Impor

Minggu, 11 Agustus 2019 – 05:25 WIB
Ilustrasi industri baja. Foto: Radar Surabaya/JPNN

jpnn.com, SURABAYA - Direktur Utama PT Optima Prima Metal Sinergi (OPMS) Meilyna Widjaja mengatakan, besi bekas kapal alias besi scrap bisa mengurangi ketergantungan industri baja terhadap bahan baku impor.

Sebab, besi-besi bekas itu pun bisa menjadi bahan baku baja. Dengan demikian, kebutuhan baja yang terus naik karena proyek pembangunan infrastruktur tidak berhenti juga akan bisa dicukupi dari dalam negeri.

BACA JUGA: Penyebab Utama Industri Baja Tidak Berdaya

’’Di Jatim, kapasitas pengolahan besi mencapai 2,4 juta ton per tahun. Itu menjadi peluang bagi OPMS,’’ kata Meilyna, Kamis (8/8).

BACA JUGA: Industri Percetakan Kejar Pertumbuhan 10 Persen

BACA JUGA: Deritamu, Krakatau Steel

Dengan memasok besi bekas ke industri baja, OPMS tidak hanya menggairahkan bisnisnya sendiri, tetapi juga menekan impor.

Meilyna menambahkan bahwa besi bekas itu juga membuat pengolahan besi menjadi baja lebih efisien.

BACA JUGA: Pengawasan SNI Tidak Ketat, Industri Baja Lokal Makin Tergerus

Sebab, membuat baja dari besi bekas lebih mudah ketimbang membuatnya dari bijih besi. Selain itu, juga lebih cepat.

Pasalnya, bijih-bijih besi harus didatangkan dari luar negeri. Pengirimannya pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Sebenarnya suplai besi bekas di Indonesia sangat besar. Sebab, jumlah kapal mangkrak di tanah air sangat banyak.

Kapal-kapal yang besinya bisa dimanfaatkan dalam pengolahan baja itu adalah armada yang tua.

Yakni, usia operasionalnya sudah lewat dan tidak dapat diasuransikan lagi.

’’Banyak kapal tua yang usianya di atas 25 tahun. Karena itu, bahan baku (baja) aman,” terang Meilyna.

Tahun ini OPMS menargetkan penjualan 24 ribu ton besi scrap. Meilyna optimistis target itu bisa tercapai pada akhir tahun.

Dia juga mengatakan sedang berusaha menambah kontrak pembelian kapal bekas demi mengamankan stok.

Kapal bekas yang menjadi sasaran OPMS adalah yang bobotnya 1.000 hingga 10.000 DWT (deadweight tonnage).

Data Indonesian National Shipowners Association (INSA) menunjukkan, pada 2016 ada lebih dari 24 ribu kapal di Indonesia.

Di antara jumlah tersebut, sebanyak 1.900 adalah kapal berbobot lebih dari 10 ribu DWT. (ell/c7/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kebijakan Donald Trump Membuat Fadli Zon Iri


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler