jpnn.com, JAKARTA - Visi besar Indonesia Emas 2045 kini menjadi tantangan utama bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dengan target ambisius pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun, realitas menunjukkan jalan yang masih panjang.
BACA JUGA: Ini Prestasi Prof Widodo Ekatjahajana Sebelum Mundur dari Bursa Dirjen Imigrasi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 hanya menyentuh angka 5,05%, jauh dari harapan.
Ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, ditambah daya saing yang tertinggal dari negara-negara seperti Singapura dan Thailand, menjadi pekerjaan rumah besar.
BACA JUGA: Prof Widodo: Pers Sudah Paham Perannya Melawan Musuh Bersama
Tantangan struktural, seperti deindustrialisasi dini, semakin memperburuk situasi.
Data menunjukkan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus merosot sejak 2011.
BACA JUGA: Prof Widodo Sebut Jamur Ini Berpotensi Lawan Corona, Siap Diuji Klinis
Provinsi industri utama seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten menghadapi hambatan berupa tingginya biaya tenaga kerja, mahalnya bahan baku, dan kebijakan perpajakan yang dinilai kurang mendukung.
Digitalisasi menjadi salah satu solusi potensial untuk menghadapi tantangan ini.
Proyeksi menunjukkan ekonomi digital Indonesia dapat mencapai nilai USD 90 miliar pada 2024, tumbuh 13% dibanding tahun sebelumnya.
Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) generatif juga mulai diterapkan, khususnya di sektor pertanian dan industri, untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong transformasi pemerintahan.
Namun, digitalisasi bukanlah jawaban tunggal. Reformasi birokrasi yang menyeluruh, efisiensi anggaran, dan peningkatan tata kelola menjadi kunci menciptakan iklim investasi yang sehat.
Pendidikan berkualitas juga harus menjadi prioritas untuk mencetak sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing di tingkat global.
Di sisi fiskal, Indonesia menghadapi tantangan berat. Rasio pajak terhadap PDB diproyeksikan stagnan di angka 10,2% pada 2024, sementara beban pembayaran bunga utang semakin menyedot ruang fiskal.
Situasi ini berdampak pada belanja produktif, seperti pembangunan infrastruktur dan pengembangan sektor sosial.
Perlambatan konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi, juga menambah tekanan.
Forum Indonesia Business, Economic, Social, and Technology Trends (BEST) Outlook 2025 hadir sebagai ajang strategis untuk mencari solusi nyata.
Forum ini menjadi wadah diskusi lintas sektor yang mengangkat tema penguatan daya saing nasional, akselerasi transformasi digital, dan upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Rektor Universitas Brawijaya Malang Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc., menyoroti urgensi langkah konkret untuk mencegah dampak negatif dari deindustrialisasi dini.
"Sejak 2011, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus turun. Ini mengindikasikan perlunya kebijakan yang mendukung, terutama untuk provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten," ungkapnya, Minggu (1/12).
Dia juga menekankan pentingnya digitalisasi sebagai katalis perubahan.
Teknologi digital harus dioptimalkan, baik di sektor industri maupun pertanian, untuk mendongkrak produktivitas.
"Reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pendidikan juga menjadi kunci utama dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045," sambung Prof. Widodo.
Dengan kolaborasi lintas sektor, momentum BEST Outlook 2025 diharapkan menjadi pijakan awal untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Jika dimanfaatkan secara optimal, visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, melainkan realitas yang dapat dicapai. (esy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... BRI Microfinance Outlook 2024, Teten Masduki Apresiasi Inovasi Pembiayaan UMKM
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Mesyia Muhammad