Biarkan Tumbuh, Lalu Berguguran?

Sabtu, 05 Juni 2010 – 01:01 WIB

PEMILU 2014 masih jauhNamun partai politik sudah mulai memasang kuda-kuda

BACA JUGA: Hibah Kekuasaan itu Mustahil

Partai Golongan Karya pun semakin nyaring menyuarakan peningkatan parliamentary threshold  atau ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi 5 persen.

Alasan yan terdengar dari Partai Beringin ini adalah perlunya semangat konsolidasi demokrasi
Terdengar abstrak

BACA JUGA: Sekapur Sirih untuk Double A

Mungkin seperti kata Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya, Idrus Marham, bahwa sudah masanya merevisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Idrus mengatakan, salah satu konsekuensi konsolidasi demokrasi adalah penyederhanaan partai-partai politik
"Ketika bicara UU Parpol, tidak bicara yang administratif tapi kualitatif

BACA JUGA: Bukan One Man Show

Setelah itu, akan ada korelasi antara tuntutan masyarakat untuk parpol yang berkualitas," kata Idrus.

Menurutnya, praktik yang dijalankan saat ini rancuSistem presidensiil dipadu dengan multipartai"Kalau sepakat presidensiil, harus ada penyederhanaan partaiBaru sebanding," ujarnya.

Tak ayal, menurut Idrus penentuan angka electoral threshold dan parliamentary threshold (PT) merupakan konsekuensi dari konsep demokrasi yang dibangunDari satu sisi, Idrus benarSistem multipartai membuat perolehan suara dalam Pemilu terpecah-pecah sehingga tidak ada single majorityAkibatnya, seperti pada pengalaman Pemilu 1999, 2004 dan 2009, koalisi pun muncul  sebagai keniscayaan

Nah, pada koalisi baik di parlemen dan eksekutif itulah yang memungkin terintervensinya system presidensialBagaimana pun sebelum berkoalisi, selalu ada bargaining politik yang langsung tak langsung seperti mereduksi hak prerogative presiden.

Ketua DPP Partai Persatuan Pembanbgunan, Lukman Hakim Saifuddin, mempertanyakan besaran 5 persen tersebutMenurutnya, apakah batasan angka itu berlaku untuk DPR saja atau juga berlaku untuk DPRD Kabupaten/Kota?

Lagi pula dengan PT terlalu besar akan semakin sedikit parpol duduk di parlemen, dan akan menimbulkan kartel serta oligarkhi partai politikJika angka PT dinaikkan, menurutnya, 3 persen merupakan angka kenaikan maksimal.

Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra menolak wacana menaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari 2,5 persen menjadi 5 persenKetua Umum Partai Gerindra Suhardi mengatakan, peningkatan persentase ambang batas akan menyebabkan banyaknya suara pemilih yang hilang.

Pada Pemilu 2009, sekitar 18 juta suara pemilih sia-sia karena partai yang dipilihnya tidak lolos ke SenayanGerindra ingin bertahan di 2,5 persenDalilnya, bahwa hak berserikat dan berkumpul  dilindungi Undang-Undang Dasar (1945)Bahkan jika kita hitung-hitung dengan PT 5%, maka suara yang hilang itu akan mencapai 36 jutaan suara, jumlah yang tak kecilPadahal, demokrasi pada hakikatnya adalah suara rakyat.

Memang pembatasan jumlah partai politik akan memiskinkan pertarungan pemikiran dan konseptualSetelah PT, nanti syarat calon presiden juga naikMaka, akan sedikit yang bisa beradu konsepDan kita akan kehilangan calon yang berkualitasPadahal calon potensial tidak harus dari partai besar.

Tetapi alasan kehilangan suara rakyat itu bisa diverifikasiBahkan sebenarnya tidak hilang karena sudah digunakan untuk menghitung perolehan suara sebuah partai atau kandidat anggota parlemenBahwa belum mempunyai jumlah tertentu sehingga tak meraih kursi adalah akibat sajaApa bedanya dengan suara rakyat yang memenuhi syarat meraih kursi juga telah digunakan, bukan?

Contoh lebih ekstrim adalah terpilihnya seorang presiden membuktikan bahwa suara rakyat telah bermanfaatBahwa jika suara rakyat yang memilih kandidat presiden yang kalah tak berarti sia-sia menurut demokrasi.

Syarat PT lebih tinggi juga tidak berkorelasi secara langsung dan tak langsung terhadap mutu calon presidenBahwa hanya partai dengan perolehan suara sekian persen saja yang berhak mencalonkan presiden, adalah penghargaan kepada suara terbanyak.

Lagi pula kualitas para kandidat presiden tidak tergantung kepada banyak tidaknya calon presidenTetapi lebih kepada bagaimana mekanisme sebuah partai mencalonkan presidenTidak harus memilih ketua umumnya, tetapi juga harus berani merekrut tokoh bangsa yang dinilai berkualitas, walaupun bukan kader partainya, dan inilah yang belum berjalan selama ini.

Jika penyederhanan partai tinggal wacana saja, maka yang muncul adalah kepentingan politik antarpartai berkoalisiPolitik kepentingan selalu bermuara kepada kekuasaan, bukan pembelaan kepada rakrat, yang menjadi king maker dalam sistem pemilihan langsung.

Paling telak lagi adalah jangan sampai seperti pernah dilukiskan Bung Hatta dalam bukunya, “Lampau dan Datang” (1956): “Tiap-tiap golongan berkejar-kejar mencari rejekiGolongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan.”

Kita ingat lagi ketika Mochtar Lubis menulis novel "Senja di Jakarta" yang melukiskan bagaimana banyak "oknum" tokoh partai yang duduk di tubuh kekuasaan pada era parlementer terlibat dalam kasus korupsi, yang bahkan terulang pula di era reformasi ini.

Nah, problem pada era demokrasi parlementer sama saja dengan era reformasi yang kabinet presidensial, yakni terlalu banyaknya jumlah partai politikFenomena ini agaknya yang meniscayakan penyederhanaan jumlah partai, dan pada suatu hari tampillah system dua partai seperti di AS.

Boleh jadi, Pemilu demi Pemilu akan membuat penyederhanaan partai muncul secara alami, dan bukan dengan pola represi ala Orde BaruDimulai 5% PT pada Pemilu 2014 dan kian membesar pada Pemilu-Pemilu berikutnya

Wajah partai yang ideal itu masih cita-citaJangankan untuk menjadi calon presiden, untuk menjadi calon gubernur, bupati dan walikota saja masih ditentukan oleh DPP sebuah partaiMaaf, sangat feodalistik, yang memang selaras dengan kosmologi patron client yang paternalistik di Indonesia.

Ada kawan bercandaBiarkanlah jumlah partai tumbuh bak jamur di musim hujanIa analogikan dengan jumlah media yang berkecambah di awal era reformasiToh, publik akan menyeleksinya, dan yang tak mempertahankan  mutu pasti berguguranKedengarannya demokratisTetapi bukankah terlalu mahal, berisiko berat bagi bangsa kita? (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Sam Walikota Idaman


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler