Hibah Kekuasaan itu Mustahil

Senin, 31 Mei 2010 – 00:05 WIB

KEMALANGAN Yuddy Chrisnandi tak pantas dibandingkan dengan keberuntungan Anas UrbaningrumJika Anas meraih suara tertinggi dalam Kongres Demokrat, Yuddy, astaga, hanya meraih suara nol dari 538 suara Munas Golkar di Pekanbaru, Oktober 2009 lalu

BACA JUGA: Sekapur Sirih untuk Double A

Tapi benarkah Anas beruntung, dan bahwa regenerasi telah berlangsung di tubuh Partai Demokrat?

Semula banyak yang gembira dengan kemenangan Anas
Namun ketika kongres di Bandung itu juga memutuskan tentang Majelis Tinggi Partai Demokrat, kemenangan Anas terkesan sebagai “setengah hati.” Dengan kata lain, para sesepuh dan tokoh senior di Demokrat belum rela sepenuhnya orang-orang muda mengendalikan partai itu.

Bayangkan, jika Majelis Tinggi berwenang memilih calon presiden, calon partai koalisi, calon gubernur serta calon anggota DPR di tingkat pusat

BACA JUGA: Bukan One Man Show

Majelis Tinggi ini akan berangotakan sembilan yang diketuai oleh Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina DPP


Tak pelak, Majelis tinggi sangat sentral

BACA JUGA: Pak Sam Walikota Idaman

Bahkan bisa membatalkan hasil rapat pleno DPP Partai Demokrat.  Tak heran jika pakar politik Arbi Sanit menilai Anas hanya sekedar pelaksana administratifYang sesungguhnya memimpin partai adalah Yudhoyono.
 
Masalah partai politik kita dewasa ini tampaknya adalah soal ketidak percayaan generasi tua kepada anak-anak mudaKetua umum DPP Partai Golkar adalah Aburizal Bakrie yang berusia 63 tahunBedanya, wewenang para Dewan Pembina di Golkar tak semenentukan Majelis Tinggi di Demokrat

Golkar tak memerlukan wewenang absolute Dewan Pembina karena toh sang pemimpin adalah generasi tua yang membuat Yuddy malah hengkang ke Partai Hanura.

Gejala serupa tampak di PDIPSebelum dan sesudah Kongres di Bali pun, kekuasaan tertinggi partai berada di tangan ketua umum, dalam hal ini Megawati, yang sudah berumur 63 tahunGejala ini jangan-jangan idemdito dengan Partai Amanat Nasional yang dipimpin oleh Hatta Rajasa yang berumur 57 tahun dan Partai Hanura dipimpin oleh Wiranto, yang berusia 59 tahun.

Fenomena ini sesungguhnya membuat wajah partai politik kita sangat jauh kalah dengan awal ketampilan partai politik di IndonesiaBung Karno menjadi pemimpin PNI malah di usia 26 tahun, jauh lebih muda dibanding Budiman Sudjatmiko yang hingga kini belum bisa ikut duduk dalam struktur kepengurusan DPP PDIPBung Hatta dan Bung Syahrir pun memimpin partai di usia muda, dibanding Anas, 41 tahun dan Yuddy, 42 tahun.  

Ada apa gerangan dengan fenomena ini, sehingga orang-orang muda masih dianggap sekedar wayang kulit di tangan para dalang?

Mau tak mau kita harus berbicara mengapa seseorang terjun ke panggung politikDan jawaban paling empirik adalah karena setiap orang ingin mendudukui jabatan politik, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, anggota DPR-DPRD hingga bupati dan walikotaYes, kekuasaan lah yang menjadi niat dan tujuan.

***

Kekuasaan dan kekuasaan bukanlah sesuatu yang tabuDengan kekuasaan maka seeorang dapat mewujudkan mimpi-mimpi politiknya untuk  mensejahterakan rakyat, menegakkan keadilan dan kebenaranMeskipun ada juga yang sekedar memenuhi hasyrat pribadi, bahkan juga kehendak hendak membangun dinasti kekuasaan.

Namun semata berorientasi kekuasaan dan melupakan mengapa sebuah partai politik didirikan bisa  membuat ahistorisPada dasarnya partai politik didirikan adalah sebagai bentuk kedaulatan rakyatPartai politik berdiri tak bisa melepaskan diri dari kedaulatan yang berarti juga impian dan harapan rakyatTegasnya partai politik adalah perwujudan dari demokrasi, yang menampung hasyrat dan mimpi-mimpi rakyat.

Historis partai politik ini mengharuskan bahwa apapun putusan partai haruslah bottom upBukan top downSegala sesuatunya diputuskan berjenjang mulai dari tingkat paling bawah dan mendaki perlahan ke tingkat yang paling tinggiSayangnya, kehidupan partai macam ini hanya tinggal di atas kertas, jika pun masih ada yang mencantumkannya dalam AD dan ART partai.

Dalam prakteknya semangat demokrasi itu telah berubah menjadi budaya paternalistisPara DPC dan DPD yang hendak berangkat ke kongres selalu melihat gejala di tingkat elitMaklum, ini pula yang disosialisasikan para elit ke tingkat bawah yang kemudian melahirkan dukungan, boleh jadi karena faktor X, bisa saja oleh money politics atau pikiran pragmatis siapa yang  dominan di pusat kekuasaan partai politik.
 
Dengan pola macam itu, dipastikan tokoh-tokoh muda tak mempunyai mesin politik yang kuat karena tidak dibarengi oleh dana politik yang kuat pulaKekuatan gagasan semata rupanya tidak menggoda para peserta kongres yang kemungkinan besar lebih berpikir pragmatis dan transaksionalTak ayal, anak muda macam Yuddy dan Budiman menjadi marginal dan feriferal, apa boleh buat.

Jika demikian harus bagaimana, dong? “Sampai kapan  kami bersabar,” tulis Indra Jaya Piliang dalam kolomnya di Koran TEMPO beberapa hari laluIndra meradang dan menerjangSalah satu yang ditawarkannya adalah ajakan kepada DPP agar melakukan reshuffle kepengurusanJika dilakukan memang, “good” kata seorang kawanTapi mungkinkah?

Terus terang, saya tidak percaya para petinggi DPP mau melakukannyaTak mungkin kaum tua itu menyerahkan kekuasaan bagaikan “hibah kekuasaan” begitu saja kepada anak-anak muda sepotensial apapun merekaJangan-jangan mereka telah mempunyai rencana tersendiri, dan orang-orang muda yang dimaksud Indra boleh jadi tidak termasuk daftar.

Rencana “tersendiri” itu boleh jadi berbau “nepotism.” Memang sukar untuk mengatakannya secara terbuka, namun fenomena itu sedikitnya sudah mulai terbayang-bagi mereka yang secara jeli menyimak dunia persilatan di panggung politik kontemporer di negeri ini.

Jadi bagaimana, dong? Saya kira peluang itu harus diperjuangkan secara demokratis, jika “merampok” kekuasaan diangap ilegalToh jumlah orang muda yang berusia 17 tahun hingga 45 tahun di negeri ini sangat signifikan dan dominanSaya membayangkan jika gerakan generasi 17-45 tahun itu tampil di facebook atau witter, barangkali gegap gempitanya luar biasa.

Bargainingnya cukup besarJika perlu ajukan petisi, bahwa anak-anak muda tidak akan memilih partai itu dalam Pemilu, Pemilihan Presiden dan Pilkada  jika tak sudi melakukan reshuffleDicoba dululah, setidaknya ketika terbukti kita lega tatkala gerakan peduli dan cinta  Prita berhasil secara surprise.

Anggapan bahwa anak-anak muda itu apolitis justru menemukan peluangnya dengan gerakan iniMungkin mereka apolitis justru setelah kecewa dan putus asa melihat performance partai politik selama iniInilah peluangnya dan jangan ditunda lagi karena tak mustahil tertunda selamanya ketika pemegang kekuasaan politik melakukan konsolidasi untuk mempertahankan kekuasaannya(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dikecil-kecilkan, Dibesar-besarkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler