Sekapur Sirih untuk Double A

Sabtu, 22 Mei 2010 – 01:35 WIB
SAYA teringat sandiwara zaman duluPara pelakon kerap menangis terisak-isak di depan layar

BACA JUGA: Bukan One Man Show

Ternyata di belakang layar, usai memainkan lakon, mereka tertawa terbahak-bahak
"Dunia ini panggung sandiwara," kata rocker Ahmad Albar, dalam sebuah lagu lawas yang kini jarang terdengar.

"Teater" yang saya maksud - jika perumpamaan ini tepat - adalah menyangkut Sri Mulyani yang mundur sebagai Menteri Keuangan

BACA JUGA: Pak Sam Walikota Idaman

Syahdan, disebutkan karena ada transaksi politik antara pemerintah dengan partai anggota koalisi
Kira-kira, Sri tak dikehendaki lagi

BACA JUGA: Dikecil-kecilkan, Dibesar-besarkan

Namun Sri merasa dirinya 'menang', karena ia tak mau didikte oleh politik transaksional itu.

Begitulah, inti cerita Sri dalam kuliah umum di Ballroom Ritz-Carlton, Jakarta, Selasa (18/5) malam, yang ramai disiarkan media massaSiapa gerangan yang dimaksud Sri? Apakah Partai Golkar dan Presiden Yudhoyono, karena begitu Sri dipastikan menjadi orang Bank Dunia, Golkar pun "berbaikan" dengan Yudhoyono? Entahlah.

Bahkan, sesudah itu, Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi pun dibentuk, dan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian-nyaHehe, Sri pun menyebutnya sebagai "perkawinan politik".

Benar atau tidak, saya kira, kisah itu menjadi berharga bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan wakilnya, Anny Ratnawaty, yang dilantik Presiden, Kamis (20/5)Betapapun, jabatan menteri tak bisa lepas dari pentas politik.

Barangkali bolehlah disebut sebagai sekapur sirih dan seulas pinang untuk "Double A" - Mas Agus dan Mbak AnnySetidaknya sebelum keduanya kelak kerap berkunjung ke Senayan, ke gedung DPR RI.

Memang harus bisa dibedakan antara praktek dan teoriDalam teorinya, keberadaan DPR sebagai lembaga yang mengawasi pemerintahan tak bisa disesaliBukan hanya trias politica yang mengajarkan itu, namun bahkan tercantum jelas dalam perundang-undangan kitaNo way! Mutlak harus dijalankan.

Bahwa jika memang ada praktek yang menyalahi, katakanlah dalam kisruh dan follow-up kasus Bank Century, haruslah diletakkan pada proporsinyaKesalahan itu, apalagi sampai ada "kartel" dan Sri Mulyani menyebutnya sebagai "perkawinan poiitik", mesti dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiriArtinya, mestinya harus dibikin terang-benderang.

Sebaliknya, lembaga yang ada, dalam hal ini DPR, mestilah diperkuatTidak karena orang-seorang yang "menyalah" (jika memang benar), kemudian lembaga yang dikorbankan atau diperlemah.

Sayangnya, tidak ada klarifkasi dan verifikasi yang terbuka mengenai soal ituSehingga sehabis kuliah umum Sri Mulyani itu, ia hanya menjadi berita sesaat, kemudian lenyap bersama waktu.

Tak adanya klarifikasi, biasanya akan melahirkan gosip dan berbagai isu yang tidak terkonfirmasi dan tidak terpertanggungjawabkanLebih buruk lagi, tak mustahil akan terulang di masa depan, sehingga pengalaman kita berdemokrasi, dalam hal ini dalam hubungan pemerintah-DPR, menjadi jalan di tempat.

Repotnya, bagi Agus dan Anny, bagaimanapun akan selalu berhadapan dengan DPR dengan segenap konstelasi politik yang melatarbelakanginyaHampir mustahil, kedua pemimpin puncak Kementerian Keuangan itu hanya peduli kepada Presiden, tanpa memperhatikan interplay dengan DPR.

Lagipula, walaupun jabatan itu harus dilakoni secara profesional, konsisten dan sejenisnya, namun perundang-undangan mengharuskan (mereka) selalu bersentuhan dengan DPRBaik pada saat pengajuan RAPBN, APBN Perubahan, maupun berbagai kebijakan Kementerian Keuangan yang menyangkut kepentingan umum.

***
Barangkali, pengalaman menarik dari Alan Greenspan ketika bertugas sebagai Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS), patutlah dikutipkanIa membeberkannya dalam buku setebal 531 halaman bertajuk The Age of Turbulence.

Salah satunya menurut Greenspan, adalah dalam berhubungan dengan Presiden (Reagan, Bush, Clinton, Bush Jr) serta kaum politisi lainnya di kabinet atau di Kongres ASKerap sekali katanya, kaum politisi ingin terus membengkakkan anggaran dan sering kurang sabar menerima langkah pengetatan uang.

Ternyata, Greenspan mau tidak mau harus mampu "berpolitik", membujuk dan mempengaruhi kaum politisi, untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip keuangan demi kepentingan jangka pendekIa melakukan lobi politik, menjelaskan apa yang menjadi dasar kebijakannya, serta apa alasannya.

Barangkali di situlah salah satu kunci sukses Alan GreenspanIa bukan hanya seorang analis yang tekun di bidang moneter dan finansial, tetapi juga seorang aktor yang mampu meraba suhu politik dan mengenal dengan baik lika-liku politik yang harus dilaluinya.

Mas Agus dan Mbak Anny boleh konsisten dengan good governance dan prinsip keuangan yang sehat, akuntabel dan transparanTapi, jangan cepat-cepat merajuk dengan day to day politik di DPR, yang kadang kritis, kadang cerewet.

Kementerian Keuangan di seluruh jagat tak mungkin tak bersentuhan dengan politikLagipula, tak ada APBN tanpa DPRKonstitusi juga mengatur bahwa peran DPR, antara lain berfungsi melakukan checks and balances terhadap eksekutifKita hidup di negara demokrasi, bukan negara diktator.

Sebaliknya, anggota DPR dalam berhadapan dengan menteri kabinet, tak terkecuali Menteri Keuangan, justru sedang berhadapan dengan mitra kerjaAda kesetaraan yang egaliterBukan antara mahasiswa senior dengan mahasiswa baru dalam masa perpeloncoan di masa lalu - jika metafora ini cocok disebutkan.

Terlebih-lebih, jika sampai ada "kartel politik", tentu saja sangat disayangkanBiasanya jika sudah sekualitas "kartel", pastilah masyarakat akan dikorbankanSuatu hal yang niscaya dihentikan oleh elit politik dan pemerintahan.

Sebab jika tidak, maka kita membayangkan bahwa "sandiwara" akan terus berlangsung di pentas politik"Sandiwara" macam ini akan sangat mengorbankan kepentingan umumPublik sudah jemuJangan sampai publik kehilangan respek dan kepercayaan(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bertemu Satpol Tampan Sekali


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler