Pak Sam Walikota Idaman

Kamis, 29 April 2010 – 23:55 WIB

Lelaki separo baya itu saban hari mengitari sejumlah rumah di kawasan rumah warga tempatku tinggal di Medan, Sumatera UtaraSetiap Pak Sam lewat, begitulah warga, khususnya kaum ibu memanggilnya, maka para “kaum Hawa” itu pun bergegas mengumpulkan sampah dapur, yang kemudian diboyong Pak Sam

BACA JUGA: Dikecil-kecilkan, Dibesar-besarkan

Begitulah, bertahun-tahun Pak Sam menjadi tokoh yang disenangi penduduk


Pak Sam itu disayang warga karena ia melayani warga dengan tulus

BACA JUGA: Bertemu Satpol Tampan Sekali

Walau yang sering berurusan dengan Pak Sam adalah istri saya, tetapi diam-diam saya merasa seorang Walikota harus seperti Pak Sam.Maklum, hari-hari ini, berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara, saya kira juga di Jawa, Sulawesi dan daerah lain di Tanah Air sedang sibuk menyongsong Pemilihan Kepala Daerah alias Pilkada
Siapakah gerangan yang pantas dipilih menjadi Kepala Daerah?

Saya kira yang paling penting adalah jika seorang kandidat punya potensi besar untuk melayani masyarakat, seperti halnya Pak Sam, pemungut sampah rumah di kawasan tempatku tinggal itu

BACA JUGA: Masa Senja Partai Banteng

Bukan yang berpotensi besar untuk memerintah seperti Tuan Besar“Jejak-jejak” pelayan itu sebetulnya dapat dilihat seberapa jauh dana APBD yang dialokasikan untuk melayani langsung masyarakatTermasuk juga investasi swastaFaktanya, pembangunan SD masih kalah dengan bangunan plasa pusat perbelanjaan yang mewahPadahal SD itu investasi jangka panjang bagi terciptanya sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan

Pemerintah Daerah (Pemda) sejak era reformasi kurang suka membangun perumahan rakyat miskinPlasa memang menyumbang pendapatan daerahSementara SD dibiarkan lapuk, seperti bertebaran di seluruh Tanah AirTragisBangunan SD macam itu tak terpakai jika hujan turun lebat, dan anak-anak berlibur secara tak resmiIronisnya perhatian Pemda kepada pasar tradisi pun minim, sehingga makin ditinggalkan pembeli karena tak terawat, tak bersih dan kotorPadahal, pasar tradisi itu lebih romanticAda tawar menawarSementara mal dan plasa sudah main tariff harga yang dipatok tak mengenal tawar menawar

Pusat belanja mewah itu, maaf, secara tak langsung menyuburkan individualisme dan mental konsumtifJika pun ada perang diskon yang menggoda, sesungguhnya harga awalnya dikatrol dulu baru diberi diskon besarSeorang teman punya cerita lebih seruTak mau menyebut nama plasanya, tapi ia tahu persis bahkan pernah berurusan dengan polisiLetaknya di pinggiran kotaIa prihatin sering Om-Om “berburu” Anak Baru Gede alias ABG yang masih duduk di SMUBiasalahKarena pengaruh budaya konsumtif, para ABG itu ingin berbaju cantik atau punya HP keluaran terbaru, tapi tak punya duit

Nah, inilah yang menjadi “mangsa” para Om ituAda yang kemudian kehilangan virginitasnya di sebuah hotelKawan saya itu tahu karena rupanya lagi sedang transaksi itu, seorang polisi mendengarnya sehingga di boyong ke kantor polisi

JEMPUT BOLA

Pelayanan Pemda itulah yang selalu di hati masyarakatPos Yandu misalnya kini hanya sekedar tempat imunisasi massalMestinya juga untuk pelayanan gizi balita, reproduksi kaum ibu bahkan bisa menjadi forum penampung kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)Mungkin karena gratis, kini fungsinya merosotSangat menjengkelkanKalau gratis mengapa pelayanannya buruk? Padahal, sebetulnya tidak gratisTapi disubsidi pemerintahJika pun rakyat tak membayar, sebetulnya telah dibayar melalui APBN atau APBD karena disubsidiIstilah gratis itu menyesatkan

Saya kita, program pendidikan-KTP-Kesehatan gratis, dalam pengertian yang benar, yakni disubsidi, dan bukan gratis begitu sajaWalau seolah gratis, meski sebetulnya disubsidi, maka pelayannya harus primaKTP gratis, pelayananya juga harus cepatJika perlu diantar langsung ke rumah wargaPrinsip pelayanan Pemda, termasuk Pemerintahan Provinsi dan Negara adalah tema besar yang harus diemban seorang kandidat walikota, bupati dan gubernurSebagai pelayan, kedudukan Pemda berada di bawah rakyat, karena memang rakyat lah yang memilih WalikotaJangan dibalik

Sebaliknya, gaji dan fasilitas  Walikota dan aparat Pemko dibayar dengan pajak-pajak rakyatAdil, bukan?  Jika boleh menyebut yang membedakan kandidat yang melayani dan memerintah, memang akan tampak pada contoh-contoh yang telah dibeberkan.  Memang tak mudah mengubah paradigm dari memerintah ke melayani tersebutIbaratnya dari danau masuk ke lautSatunya tawar lainnya asin

Tapi tipe ideal Kepala Daerah di era reformasi ini mestinya demikianMisalnya, sudi melakukan “jeput bola” yakni dengan langsung mendatangi warga tanpa menunggu mereka harus mengeluh dan bahkan berunjuk-rasaSaya berpikir mengapa para Kepala Daerah itu tak menggelar Forum Warga sekali sebulan dengan tema dan lokasi yang berbeda? Kadang dengan pedagang pasar tradisi dan pedagang kakilimaKali yang lain dengan sopir dan pemilik angkutan kota dan sebagainyaTermasuk juga dengan kaum buruh, dan berbagai pihak yang selama ini dimarjinalkan

Ada pun Satpol PP harus jadi teman rakyatBukan lembaga yang ditakutiSeragamnya ditukar dengan pakaian sipil biasaAtau malah tak perlu berseragamTak perlu pula pakai sepatu laras seperti tentara sajaSudah bukan zamannyaDengan demikian paradigm Pak Sam ada di mana-mana di jajaran PemdaParadigma pelayan harus menjadi gaya Pemda yang baru, yang Kepala Daerahnya terpilih dalam Pilkada

Tentang Pak Sam, masih ada cerita istri sayaPak Sam juga menjadi ahli waris wargaJika ada sarapan pagi dan lauk pauk warga selalu berlomba memberikannya kepada Pak SamBahkan juga baju-baju anggota keluarga  diberikan juga kepada Pak SamBukan sebagai sogokan, tetapi apreasiasi betapa mulianya tugas dan kewajiban Pak Sam

Jika paradigm Pak Sam diterapkan di berbagai Pemda, saya terbayang masyarakat akan menghormati PemdaAkan respekMemberi partisipasi aktifPemda yang demikian adalah idaman rakyat yang selama ini terpendam dan dipendam oleh rezim Orde BaruTabik! **

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bak Antara Kucing dan Tikus


Redaktur : Auri Jaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler