Biaya Interkoneksi, Perhitungan Ratio Off-net/On-net Dinilai Sudah Tepat

Senin, 29 Agustus 2016 – 09:50 WIB
Ilustrasi Foto: Jawa Pos Group/dok.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Belum lama ini Kemenkominfo menyampaikan hasil evaluasi berkala atas biaya interkoneksi untuk layanan selular dan telepon tetap turun sekitar 26 persen, dari semula Rp 251,- per menit menjadi Rp 204,- per menit. 

Perhitungan biaya interkoneksi ini menimbulkan perdebatan di kalangan industri TIK dan terbawa juga ke RDP-DPR. 

BACA JUGA: Penurunan Biaya Interkoneksi Berpihak ke Rakyat

Telkom group keberatan atas kebijakan ini karena beberapa hal yakni pola-nya simetris, dan kebijakan ini dinilai sebagai strategi untuk melemahkan BUMN. Bahkan muncul tudingan anti nasionalisme yang berkembang di dalam perdebatan ini. 

Diketahui, dalam Rapat Dengar Pendapat Terbuka dengan Komisi I DPR, para operator terbelah antara Telkom group (PT Telkom & PT Telkomsel) dan yang non telkom group. Menilai kondisi ini, tampaknya diperlukan kejelian dan ketelatenan menkominfo dalam menjelaskan kepada banyak pihak.

BACA JUGA: Pegadaian Target Pembiayaan Mikro Tumbuh 75 Persen

""Biaya interkoneksi jika merujuk aturan adalah biaya untuk menyambungkan dua jaringan yang ditanggung oleh operator yang membutuhkan interkoneksi. Berapa besaran biaya interkoneksi? Paling mudah dapat dilihat dari tarif panggilan ke sesama pelanggan (on-net)," ujar Nonot Harsono, Komisioner BRTI 2009 - 2015, dalam keterangannya, Senin (29/8).

Nonot mengatakan, ketika operator menentukan tarif on-net, pastilah sudah menghitung seluruh biaya jaringan, ditambah margin. Karena margin untuk tarif panggilan on-net biasanya tidak terlalu besar, dan jaringan yang dipakai sama, maka  besaran biaya interkoneksi tidak akan jauh dari tarif panggilan on-net tersebut.

BACA JUGA: Pengamat: Terlalu Dini Menyebut Tax Amnesty Gagal

"Menetapkan biaya interkoneksi yang tinggi sama saja dengan memaksa operator lain untuk membuat tarif panggilan off-net yang mahal. Hal ini berbahaya untuk kompetisi, bahkan bisa dianggap menghambat kompetisi. Yang paling dirugikan nantinya adalah pelanggan karena harus membayar tarif panggilan off-net yang mahal," sambungnya.

Sementara, Alexander Rusli, Presdir dan CEO Indosat Ooredoo yang juga mantan Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengatakan bahwa pemerintah harus jeli menghitung biaya interkoneksi. 

"Pemerintah harus jeli. Jika tarif interkoneksi antar operator tidak turun signifikan sesuai kelaziman global atau bahkan naik, maka hal ini akan mengakibatkan tarif retail dipastikan naik," kata Alex. 

Pria berkacamata yang kerap bergaya santai ini juga menyatakan bahwa SE Menteri Kominfo Chief RA, memuat dua hal penting. 

Selain memuat informasi tentang hasil evaluasi biaya interkoneksi yang turun 26 persen,  SE itu juga memuat ketentuan bahwa gap maksimum on-net dan off-net adalah 2,5-3 kali lipat.

Hal ini akan menjadikan tarif off-net yang dikenakan kpd pelanggan tidak bisa dibuat murah karena dibatasi oleh tarif interkoneksi yang tinggi. Jika tarif interkoneksi tinggi maka harga on-net retail akan otomatis juga naik karena harus mendekat kepada harga offnet.

"Hal ini berbahaya karena akan berpengaruh pada tarif retail secara nasional terutama di luar pulau jawa. Para operator harus jual rugi untuk dapat menurunkan tarif ke pelanggan jika batas off net masih tinggi," ujarnya. 

Sudah seyogyanya kebijakan interkoneksi berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya korporasi. Diharapkan negara hadir dalam memberikan kebijakan yang tepat dalam hal ini. 

Kebijakan yang akan dibesut tanggal 1 September mendatang ini tentu ditunggu oleh banyak pihak, terutama masyarakat dan industri telekomunikasi. (rl/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspadai Kedaulatan Jaringan Backbone Nasional!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler