Bicara Keamanan Lingkungan, Centra Initiative Sentil Elite Politik

Minggu, 23 Juli 2023 – 22:43 WIB
Diskudi bertajuk "Keamanan Manusia (keamanan Lingkungan)" di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (23/7/2023). Foto: dok. Centra Initiative

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Centra Initiative Mohamad Hafids menyentil elite politik saat diskusi dan pemaparan hasil survei keamanan lingkungan di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Minggu (23/7).

Hafids mengatakan survei kerja sama Centra Initiative dengan Indopol Survey & Consulting terkait situasi keamanan lingkungan di Indonesia berangkat dari pentingnya melindungi keamanan manusia.

BACA JUGA: Centra Initiative: Revisi UU TNI Tidak Usah Dilanjutkan

Menurut dia, survei periode 5-11 Juni 2023 terhadap 1.280 responden di 38 provinsi itu untuk memberikan perhatian kepada para elite politik dan pemangku kepentingan terkait upaya menjaga lingkungan hidup Indonesia ke depan.

"Agenda penyelamatan lingkungan telah menjadi perhatian global, jangan sampai para politisi justru sibuk untuk meraup kekuasaan dan mencapai kemenangan pada 2024 saja, tetapi melupakan esensi dari perlindungan lingkungan yang merupakan bagian dari perlindungan keamanan manusia," ucap Hafids, dikutip dari siaran pers.

BACA JUGA: Bikin Gaduh, Oknum Bhabinkamtibmas Penimbun BBM Bersubsidi di Rohil Masuk Patsus

Hafid lantas mengungkap sejumlah temuan, antara lain soal polusi yang sering terjadi di wilayah tempat tinggal masyarakat, yaitu polusi udara (65,32%), polusi air (11,45%), polusi tanah (8,71%), dan polusi lainnya (14,52%).

Polisi itu terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat (51,85%), tidak ada peraturan pemerintah tentang pengelolaan polusi (14,60%), tidak ada penegakan aturan oleh pemerintah (13,15%), dan terdapat kegiatan pabrik/tambang di daerah tersebut (5%), sedangkan penyebab lainnya (15,40%).

BACA JUGA: Menteri LHK Siti Nurbaya Ajak Delegasi USAID Melepasliarkan Orang Utan di TNTP

Selain itu, mayoritas responden menyatakan di daerah tempat tinggalnya terjadi perubahan iklim (75,56%), tidak mengalami perubahan iklim (24,44%), suhu makin panas (45,14%), cuaca tidak menentu (38,63%),  kekeringan (6,83%), air makin langka/berkurang dan semakin sering banjir (4,16%).

Terkait sampah, responden menyatakan ada pengelolaan sampah umum (57,26%), tidak ada pengelolaan (42,74%). Lalu, soal kondisi sungai dinilai biasa/cukup (54,19%) bagus dan sangat bagus (32,58%), buruk dan sangat buruk (13,22%).

Penyebab buruknya kondisi sungai karena banyak sampah (kantong plastik, botol, dll) (64,63%), tercemar limbah kimia dari pabrik (14,63%), sungai rusak/ makin sempit akibat pemukiman dan pertambangan liar (7,93%), serta penyebab lainnya (4,88%).

"Centra Initiative menghitung rata-rata dari tiap dimensi dan indikator ke dalam Indeks Keamanan Lingkungan dengan capaian tertinggi adalah Kepulauan Riau (89.00) dan Maluku adalah yang terendah (42.00),' ucap Hafids.

Sementara itu, Kepala Bidang Kajian WALHI Puspa Dewy menilai hasil survei itu bisa menjadi pegangan dalam pengambilan kebijakan untuk menjadikan lingkungan hidup di Indonesia lebih baik.

Untuk itu, survei tersebut perlu ditinjau secara lebih utuh dengan data dan informasi lain. "Hal ini tergambar dari polusi asap, di Jambi masyarakatnya menyampaikan 100 persen karena mungkin kasus pembakaran hutan, atau misalnya Riau karena pengelolaan sampah," ujar Dewy.

Menurut dia, polusi udara punya implikasi terhadap penghidupan manusia, pada pernafasan, mobilitas, sumber daya ekonomi, dan pendapatan.

"Keamanan lingkungan akhirnya terkait dengan krisis; Ketika keamanan lingkungan tidak dilindungi, maka krisis akan terjadi," ucapnya.

Selain itu, kata Dewy, keamanan lingkungan juga dimaknai pembangunan hari ini berorientasi pada kehidupan dan sumber kehidupan yang terkait dengan lingkungan dan sumber daya alamnya.

Dewy menyebut penguasaan sumber daya alam di Indonesia erat kaitannya dengan lingkungan dan industri ekstraktif. Sebanyak 53 juta hektare lahan yang diberikan pengelolaannya, mayoritas untuk korporasi, terutama tambang dan sawit.

"Tidak kurang dari 50 persen dari luas daratan Indonesia diperuntukkan untuk izin tambang," tutur Dewy.

Hal itu kemudian terkait dengan bencana iklim yang sering terjadi. "Situasi-situasi ini memberikan dampak yang cukup serius pada intensitas bencana yang makin menguat dan bahkan dampaknya," tutur Dewy.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler