jpnn.com - Ketua Centra Initiative Al Araf mengatakan demokrasi di Indonesia masih rapuh dan kompleks, bahkan bisa maju ke depan ke arah yang lebih baik atau malah mundur ke belakang.
Hal itu disampaikan Al Araf dalam diskusi bertajuk "Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca-Keputusan Mahkamah Konstitusi" yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, di Malang, Jumat (10/11).
BACA JUGA: Tanggapan Gibran soal Putusan MK yang Dinilai Cacat Hukum
"Putusan MK terkait dengan batas usia capres cawapres dan pengesahan Undang-Undang ASN belakangan ini menjadi puncak gunung es dari kemunduran demokrasi di Indonesia," kata Al Araf dikutip dari siaran pers diskusi tersebut.
Dia menuturkan bahwa demokrasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang turun begitu saja, melainkan hasil perjuangan dari gerakan mahasiswa pada tahun 1998.
BACA JUGA: Putusan MKMK Mencopot Anwar Usman Bikin Pencalonan Gibran Cacat Hukum dan Etika
Reformasi pada tahun 1998 juga telah menyebabkan korban yang tidak sedikit dari kalangan aktivis dan mahasiswa, salah satunya berupa penghilangan orang atau mereka diculik oleh penguasa saat itu.
Menurut Al Araf, sebagian dari mereka yang hilang atau diculik pada saat itu juga belum ditemukan atau kembali sampai sekarang. "Negara atau kekuasaan diam, bergeming untuk mengembalikan mereka yang masih hilang sampai saat ini," ujar Al Araf.
BACA JUGA: Proyek APD Senilai Rp 3,03 Triliun di Kemenkes Dikorupsi, 5 Orang Dicekal KPK
Terbaru, dia mengaku sedih mendengar lagi-lagi intimidasi terhadap mahasiswa sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Itu terkait pengakuan Ketua BEM UI Melki Sedek Huang yang mengaku dia dan keluarga diintimidasi aparat.
"Korbannya adalah ketua BEM Universitas Indonesia. Dia curhat di depan publik menyatakan bahwa dirinya dan ibunya diintimidasi karena aktivitasnya yang mengkritisi putusan MK terkait batas usia capres-cawapres," tutur Al Araf.
Fakta itu baginya mengkhawatirkan, bahwa politik di Indonesia sedang menuju ke arah otoritarianisme. Terlebih publik bisa melihat bagaimana kekuasaan saat ini mengintervensi hukum.
"Mengintervensi Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan politik keluarganya,' ujar Al Araf.
Masih dalam forum itu, Daniel Alexander Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang menyebut putusan MK Nomor 90 terkait batas usia capres-cawapres tersebut cacat hukum dan sarat konflik kepentingan.
"MK tidak konsisten dengan perannya sebagai negative legislator, yaitu menguji undang-undang jika dinilai bertentangan dengan UUD 1945," ucapnya.
Daniel juga menilai Ketua MK yang baru dicopot, Anwar Usman terlibat konflik kepentingan karena terdapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang diuntungkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
"Sebelum amar putusan dibacakan, ketua MK bahkan memberikan keterangan di muka publik dengan nuansa condong untuk mengabulkan permohonan sebelum perkara diputuskan," tuturnya.
Atas dasar itu, Daniel menilai ketua MK tidak menjalankan fungsi kepemimpinan dan menegakkan hukum acara karena terbukti dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bahwa perbaikan permohonan Nomor 90 tersebut tidak ditandatangani oleh pemohon.
Selain itu, katanya, putusan MKMK jelas dan terang menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip independensi, prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan keseksamaan dalam mengargumentasikan putusan perkara tersebut.
"Karena argumentasi hukum atau pendapat hukum mahkamah tidak berkesesuaian dengan amar putusan MK," ujar Daniel.(fat/jpnn.com)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam