jpnn.com - SEJAK 1979 gaya hidup masyarakat Tiongkok berubah drastis. Penduduk Negeri Panda yang terbiasa tumbuh dalam lingkungan keluarga besar kini harus membiasakan diri hidup dalam keluarga kecil. Ya, kebijakan satu anak telah menciptakan generasi baru yang lebih ''sepi.''
"Di jalanan kota terpampang banyak spanduk dan selebaran dalam warna menarik yang menganjurkan warga agar memiliki seorang anak saja. Sebagai gantinya, masyarakat diimbau beternak lebih banyak babi," ujar Fan Shi San, seorang fotografer Tiongkok yang juga anak semata wayang, kepada BBC Jumat lalu (22/11). Menurut dia, kebijakan satu anak itu telah mengubah cara pandang masyarakat.
BACA JUGA: Kebijakan Satu Anak di Tiongkok yang Mulai Direvisi
Sebagai anak tunggal, Fan tidak pernah tahu rasanya memiliki saudara kandung. Sebab, dia sama sekali tidak memiliki kakak atau adik. Keluarga yang dirinya miliki hanyalah orang tuanya. Karena itu, sebagai seniman, Fan suka menggunakan teknik fotografi untuk "menghadirkan" kakak atau adik bayangan dalam potret. Pekan ini dia menjalankan misi fotografinya terhadap anak-anak semata wayang di Provinsi Gansu.
Bagi Fan dan generasinya, kakak atau adik hadir dalam bentuk sepupu. Sebab, meski anak tunggal, mereka tetap memiliki saudara dari kakak atau adik kandung orang tua mereka. Sebelum 1979, keluarga Tiongkok biasanya memiliki minimal empat orang anak. Dengan demikian, generasi orang tua Fan masih menghasilkan sepupu-sepupu bagi anak-anak tunggal mereka.
BACA JUGA: Boeing Dreamliner Bermasalah Lagi
Generasi anak tunggal Tiongkok yang lahir pasca diterapkannya kebijakan satu anak pada 1979 itu menarik perhatian Vanessa Fong. Sosiolog dari Amherst College yang terletak di Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat (AS), tersebut melakukan survei tahunan kepada anak-anak yang lahir pasca 1979. Sejak 1997 sampai sekarang, dia mengamati sekitar 2.237 anak tunggal Tiongkok.
Setiap tahun Fong mewawancarai sekitar 600 sampai 1.300 anak tunggal. "Untuk mengawali percakapan, saya selalu bertanya tentang kakak atau adik kepada mereka. Biasanya mereka akan secara otomatis menjawab jumlah sepupu yang mereka miliki. Dalam pemahaman mereka, sepupu itulah kakak dan adik mereka," ungkap pakar ilmu sosiologi tersebut.
BACA JUGA: Murid Bau, Guru Surati Wali
Sebagaimana Fong, Fan menangkap fenomena yang sama. Yakni, anak-anak tunggal Tiongkok tidak memahami kehidupan sebagai anak yang memiliki saudara kandung.
Di sisi lain, sebagai satu-satunya tumpuan orang tua, anak-anak tunggal Tiongkok memiliki beban yang jauh lebih besar. Sebab, mau tidak mau, mereka harus menjadi anak yan SEJAK 1979 gaya hidup masyarakat Tiongkok berubah drastis. Penduduk Negeri Panda yang terbiasa tumbuh dalam lingkungan keluarga besar kini harus membiasakan diri hidup dalam keluarga kecil. Ya, kebijakan satu anak telah menciptakan generasi baru yang lebih "sepi".
"Di jalanan kota terpampang banyak spanduk dan selebaran dalam warna menarik yang menganjurkan warga agar memiliki seorang anak saja. Sebagai gantinya, masyarakat diimbau beternak lebih banyak babi," ujar Fan Shi San, seorang fotografer Tiongkok yang juga anak semata wayang, kepada BBC Jumat lalu (22/11). Menurut dia, kebijakan satu anak itu telah mengubah cara pandang masyarakat.
Sebagai anak tunggal, Fan tidak pernah tahu rasanya memiliki saudara kandung. Sebab, dia sama sekali tidak memiliki kakak atau adik. Keluarga yang dirinya miliki hanyalah orang tuanya. Karena itu, sebagai seniman, Fan suka menggunakan teknik fotografi untuk "menghadirkan" kakak atau adik bayangan dalam potret. Pekan ini dia menjalankan misi fotografinya terhadap anak-anak semata wayang di Provinsi Gansu.
Bagi Fan dan generasinya, kakak atau adik hadir dalam bentuk sepupu. Sebab, meski anak tunggal, mereka tetap memiliki saudara dari kakak atau adik kandung orang tua mereka. Sebelum 1979, keluarga Tiongkok biasanya memiliki minimal empat orang anak. Dengan demikian, generasi orang tua Fan masih menghasilkan sepupu-sepupu bagi anak-anak tunggal mereka.
Generasi anak tunggal Tiongkok yang lahir pasca diterapkannya kebijakan satu anak pada 1979 itu menarik perhatian Vanessa Fong. Sosiolog dari Amherst College yang terletak di Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat (AS), tersebut melakukan survei tahunan kepada anak-anak yang lahir pasca 1979. Sejak 1997 sampai sekarang, dia mengamati sekitar 2.237 anak tunggal Tiongkok.
Setiap tahun Fong mewawancarai sekitar 600 sampai 1.300 anak tunggal. "Untuk mengawali percakapan, saya selalu bertanya tentang kakak atau adik kepada mereka. Biasanya mereka akan secara otomatis menjawab jumlah sepupu yang mereka miliki. Dalam pemahaman mereka, sepupu itulah kakak dan adik mereka," ungkap pakar ilmu sosiologi tersebut.
Sebagaimana Fong, Fan menangkap fenomena yang sama. Yakni, anak-anak tunggal Tiongkok tidak memahami kehidupan sebagai anak yang memiliki saudara kandung.
Di sisi lain, sebagai satu-satunya tumpuan orang tua, anak-anak tunggal Tiongkok memiliki beban yang jauh lebih besar. Sebab, mau tidak mau, mereka harus menjadi anak yang sukses. Meski demikian, mereka nyaris tidak memiliki daya saing karena terbiasa mendapat apa pun dengan mudah, tanpa harus bersaing dengan kakak atau adiknya.
"Andai saja orang tua saya punya anak selain saya, mereka tidak akan terlalu berfokus kepada saya. Artinya, saya bisa meraih cita-cita saya yang lain dan tidak harus tinggal di kota ini," ucap Ge Yang. Gadis 32 tahun itu menyatakan terpaksa bertahan di Kota Beijing dan bekerja sebagai sales di salah satu pabrik farmasi. Padahal, sebenarnya dia ingin bekerja di bidang pariwisata.
"Sebagai anak satu-satunya, saya punya tanggung jawab penuh untuk menjaga dan merawat orang tua saya. Karena itu, saya tidak bisa meninggalkan kota ini dan harus terus bersama-sama dengan mereka," ungkapnya. Meski begitu, dirinya merasa kehidupan sebagai anak tunggal sangat menyenangkan. Terutama karena dia bisa memperoleh apa pun yang diinginkan.
Karena itu, sebagai produk generasi anak tunggal, Ge pun memilih untuk tidak menambah momongan. Padahal, Tiongkok bakal melonggarkan kebijakan tersebut dan mengizinkan keluarga memiliki lebih dari seorang anak.
"Saya rasa, kami tidak akan sanggup membiayai dua anak. Memiliki seorang anak jauh lebih praktis dan ekonomis," kata ibu seorang putri tersebut. (BBC/hep/c14/dos)g sukses. Meski demikian, mereka nyaris tidak memiliki daya saing karena terbiasa mendapat apa pun dengan mudah, tanpa harus bersaing dengan kakak atau adiknya.
"Andai saja orang tua saya punya anak selain saya, mereka tidak akan terlalu berfokus kepada saya. Artinya, saya bisa meraih cita-cita saya yang lain dan tidak harus tinggal di kota ini," ucap Ge Yang. Gadis 32 tahun itu menyatakan terpaksa bertahan di Kota Beijing dan bekerja sebagai sales di salah satu pabrik farmasi. Padahal, sebenarnya dia ingin bekerja di bidang pariwisata.
"Sebagai anak satu-satunya, saya punya tanggung jawab penuh untuk menjaga dan merawat orang tua saya. Karena itu, saya tidak bisa meninggalkan kota ini dan harus terus bersama-sama dengan mereka," ungkapnya. Meski begitu, dirinya merasa kehidupan sebagai anak tunggal sangat menyenangkan. Terutama karena dia bisa memperoleh apa pun yang diinginkan.
Karena itu, sebagai produk generasi anak tunggal, Ge pun memilih untuk tidak menambah momongan. Padahal, Tiongkok bakal melonggarkan kebijakan tersebut dan mengizinkan keluarga memiliki lebih dari seorang anak.
"Saya rasa, kami tidak akan sanggup membiayai dua anak. Memiliki seorang anak jauh lebih praktis dan ekonomis," kata ibu seorang putri tersebut. (BBC/hep/c14/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bocah Suriah Jadi Target Sniper
Redaktur : Tim Redaksi