BIN Jadi Koordinator Intelijen

Masuk Draf RUU agar Presiden Tak Kecolongan

Kamis, 28 Oktober 2010 – 07:36 WIB

JAKARTA - Lemahnya koordinasi antarbadan intelijen masih memprihatinkanHampir semua intitusi hukum dan keamanan memiliki unit tilik sandi itu

BACA JUGA: Hari Ini, Pemuda Pelopor 2010 Dinobatkan

Namun, mereka bekerja tidak terpadu sehingga tak efektif
Dalam pembahasan draf RUU Intelijen di DPR, akan dimasukkan skema penunjukan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator.

"BIN perlu payung hukum untuk mengoordinasi jajaran intelijen yang lain

BACA JUGA: Rekan Gayus Siap Bongkar Mafia Pajak

Sebab, masing-masing badan sekarang ini mempunyai undang-undang tersendiri," kata Ketua Fraksi PDIP di DPR Tjahjo Kumolo di Jakarta kemarin (27/10).

BIN merupakan lembaga di bawah kepresidenan yang bertujuan memberikan info langsung ke presiden
Selain itu, TNI, Polri, kejaksaan, serta intansi seperti bea cukai dan imigrasi mempunyai lembaga serupa

BACA JUGA: Toni Togar Rancang Serangan Bom

Bahkan, lembaga tersebut mempunyai jaringan di setiap kantor perwakilan di daerah.

Menjalankan skema BIN sebagai koordinator, tegas Tjahjo, tidak cukup hanya dengan keppresDiperlukan undang-undang yang lebih kuatMenurut dia, kendala terbesar intelijen di Indonesia ini adalah lemahnya jaringan koordinasi"Koordinasi intelijen yang dilakukan BIN dan poswil BIN di daerah sangat penting," tegasnya.

Berbagai institusi intelijen yang kini melekat di sejumlah kementerian diharapkan legawa menerima BIN sebagai koordinator"Egoisme sektoral intelijen harus dihilangkan," ujar anggota Komisi I?DPR yang juga Sekjen DPP PDIP itu.

Tjahjo menyebutkan, pengolahan dan analisis data intelijen ke depan harus berjalan lebih sistematisDengan demikian, penyajian informasi kepada presiden sebagai user bisa lebih akurat dan potensi kecolongan bisa ditekan.

Dia menambahkan, Komisi I DPR sedang menginventaris masalah dan menggali pendapat dari berbagai pihakSemua itu merupakan bagian dari pengayaan materi RUU Intelijen yang masuk prioritas untuk dibahas pada 2010 ini"Ancaman semakin kompleks, baik dari dalam negeri maupun luar negeri," ingat Tjahjo.

Direktur Program Imparsial Al Araf menentang usul tersebutMenurut dia, harus bisa dipisahkan antara lembaga yang mengerjakan fungsi serta tugas operasional dan lembaga yang melakukan koordinasiSebagai bagian dari institusi intelijen, BIN memiliki fungsi dan tugas operasional"Biarkan BIN menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, tidak perlu melakukan kerja koordinasi," ungkap alumnus HMI dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.

Dia menambahkan, BIN juga bukan institusi intelijen yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum (non-judicial system)Bila diposisikan sebagai koordinator, BIN akan menghadapi kesulitan untuk mengoordinasi intelijen di sejumlah institusi penegak hukumMisalnya, intelijen kejaksaan dan intelijen kepolisian.

Selain itu, lanjut dia, kalau memang ingin melakukan reformasi intelijen, BIN seharusnya berada di bawah salah satu departemenArtinya, BIN juga kurang pantas untuk punya fungsi koordinasi"Yang dibutuhkan pemerintah itu suatu lembaga koordinasi intelijen yang bersifat permanen seperti di Inggris, Amerika, dan Australia," tegas Al Araf.

Dia mengingatkan bahwa masih terdapat intelijen lain di IndonesiaDi antaranya, Badan Intelijen Strategis (Bais), intelijen militer yang melekat di komando teritorial, intelijen bea cukai, dan intelijen imigrasi.

Dia meyatakan bahwa RUU Intelijen bias kepentingan BINAda upaya untuk memperkuat positioning dan kewenangan BIN"Sekitar 70 persen pasal di dalamnya berbicara tentang BIN," tegasnya(pri/c5)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Lihat Mbah Marijan Pakai Batik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler