jpnn.com, MAKASSAR - Badan Intelijen Negara (BIN) tengah gencar melakukan dialog publik untuk menjaring masukan dan memberikan pemahaman tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Kegiatan kali ini digelar di Claro Hotel, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (30/9) yang dihadiri peserta secara online dan offline.
BACA JUGA: Dialog Terbuka di 5 Kampus, Kanwilkumham DKI Jelaskan Pasal Krusial di RKUHP
Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Tata Laksana BIN Gede Agung Patra W mengatakan RKUHP merupakan upaya pemerintah untuk menyusun ulang KUHP lama (rekodifikasi) peninggalan Belanda.
KUHP baru nanti diharapkan dapat membawa harmonisasi perkembangan hukum pidana yang bersifat universal berdasarkan asas Pancasila.
BACA JUGA: Guru Besar Universitas Pancasila Ingatkan Soal RKUHP, Begini
"Dengan disahkannya nanti KUHP baru, maka asas bernegara (Pancasila) itu akan dikomunikasikan sedemikian rupa,” kata Agung dalam siaran persnya, Jumat.
BIN berkomitmen terus menyosialisasikan dan menjaring partisipasi publik (public hiring) agar RKUHP dapat disahkan DPR dan diterima masyarakat. Komitmen ini sesuai amanah Presiden Joko Widodo pada 6 Agustus 2022.
BACA JUGA: Sosialisasi Mutlak Diperlukan Sebelum RKUHP Disahkan
"Kami akan terus mengupayakan sosialisasi agar kesadaran masyarakat terbentuk bahwa RKUHP hasil pembahasan panjang pemerintah dan DPR ini merupakan upaya pembaruan hukum nasional,” terang Agung.
Dialog publik ini menghadirkan tiga narasumber yakni Guru Besar Hukum Universitas Negeri Semarang Benny Riyanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, serta Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih.
Benny Riyanto mengatakan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku di Indonesia hingga saat ini jelas tidak mengikuti perkembangan norma dan budaya bangsa.
Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum karena berbahasa asli Belanda dan tidak memiliki terjemahan resmi Indonesia.
Menurut Benny, KUHP lama merupakan wetboek van strafrecht atau KUHP Kolonial dan disusun dengan orientasi keadilan retributif atau keadilan pembalasan.
Padahal, pidana modern telah beralih kepada keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif.
"Oleh karena itu para ahli hukum kita sepakat untuk segera melakukan pembaharuan KUHP yang sudah ada yaitu melalui RKUHP yang ada saat ini," imbuhnya.
Prof Harkristuti menyebutkan terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 218, 219, 220 dengan ancaman pidana 3,5 tahun, sebetulnya merupakan delik aduan dan tidak bertujuan untuk membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
"Pertama kebebasan berekspresi itu diatur dalam konstitusi, dan kemudian kami juga sudah merumuskannya yang sekarang juga sudah ada di RKUHP,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Yenti Garnasih menyebut terdapat sejumlah keunggulan RKUHP.
Pertama, RKUHP sebagai pedoman pemidanaan yang mengatur kewajiban hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, RKUHP menjadi pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana serta penentuan sanksi pidana dengan mengumpulkan pendapat para ahli.
Ketiga, hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, segi keadilan dan kemanusiaan.
"Rasa yang timbul bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas semoga tidak terjadi lagi, karena dari apa yang unggul tadi ada dorongan untuk restoratif justice terutama pidana ringan tidak usah masuk penjara,” ujar dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Survei LPI: Kepala BIN Budi Gunawan Tokoh Paling Berpengaruh
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan