jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto meminta penundaan pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) disikapi bijaksana dan dimanfaatkan untuk sosialisasi berkelanjutan kepada masyarakat.
Menurut dia, potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam RKUHP adalah hal yang wajar. Yang didibutuhkan sekarang adalah kesediaan melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi melalui rumusan RKUHP yang sudah ada di DPR saat ini.
BACA JUGA: Pencabutan Pasal 282 dari RUU KUHP Beri Angin Segar untuk Advokat
Dokumen RKUHP yang kini telah dihasilkan, menurut Marcus, telah melalui proses penyusunan yang sangat panjang dengan dinamika yang cukup alot.
Pemerintah dan DPR sempat menargetkan RKUHP tersebut sudah bisa disahkan jelang 17 Agustus tahun ini sehingga menjadi kado di peringatan hari kemerdekaan.
BACA JUGA: Jokowi Beri Perintah soal RKUHP, Mahfud MD: Masyarakat Sudah Paham
“Proses sosialisasi atas RKUHP mutlak diperlukan, bahkan setelah disahkan sebagai UU, penyuluhan hukum pidana yang baru tetap masih diperlukan,” kata dia dalam siaran persnya, Selasa (16/8).
Marcus optimistis Indonesia akan segera mempunyai KUHP baru dan menggantikan yang lama.
BACA JUGA: Mahfud Janjikan Pertemuan Segitiga dengan Dewan Pers dan Yasonna, Bahas RKUHP
Marcus menyebut dengan keseriusan pemerintah dan DPR melakukan sosialisasi, serta dengan kesediaan semua pihak memahami kepentingan besar yang ingin dilindungi melalui RKUHP saat ini, Indonesia akan segera bisa mengesahkannya menjadi KUHP hasil karya dan untuk bangsa sendiri.
“KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Belanda, dan sampai sekarang ini tidak ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia,” kata Marcus.
Dia mengatakan apabila ditinjau dari usianya, KUHP yang sekarang digunakan juga sudah terlalu tua, banyak hal sudah tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.
WvS diterapkan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1915, disusun oleh pemerintah Belanda pada 1881, dan merupakan konkordansi dari Code Penal Perancis 1791.
“Sebagai pemerintah kolonial, bukan tidak mungkin hukum yang dibawa dan diterapkan di negara jajahan mengandung misi-misi tertentu, yaitu untuk mengendalikan perlawanan masyarakat di negara jajahan kepada pemerintah kolonial,” ujar dia.
Kemudian, dilihat dari sistem nilai yang melatarbelakangi penyusunannya, WvS dibuat oleh masyarakat dengan latar belakang sistem sosial individualis dan liberalis.
Sedangkan masyarakat Indonesia adalah mono-dualis yang religius, yaitu masyarakat yang memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan bersifat religius.
“Jadi, banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan sistem nilai masyarakat kita,” kata Marcus.
Dokumen RKUHP yang telah dihasilkan saat ini, menurut Marcus, sudah bisa dilihat sebagai hasil maksimal dari proses panjang upaya Bangsa untuk mempunyai KUHP sendiri yang sudah dimulai sejak 1963.
Penundaan yang terjadi saat ini merupakan kearifan Presiden memperhatikan suara elemen masyarakat yang keberatan atas beberapa rumusan delik yang bisa dijembatani dengan sosialisasi yang baik.
“Para perancang dan pembentuk UU telah memikirkan dan mempertimbangan berbagai aspek yang akan terdampak dengan keberlakuan semua tindak pidana, maupun konsekuensi jika perbuatan termaksud tidak dirumuskan sebagai tindak pidana,” ujar dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Tertunda Lama, RKUHP Awalnya Mau Disahkan Sebelum 17 Agustus
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan